I (Don't) Love My Boss (Part II)
Pak Arya memang tidak berubah
menjadi lebih manusiawi kepadaku sejak kejadian aku pingsan itu. Dia masih
tetap menyebalkan dan selalu membuatku ingin melemparinya dengan keyboard di
atas meja kerjaku. Tapi dia memang sedikit berbeda akhir-akhir ini. Aku rasa dia
diserang sindrom pra nikah sehingga entah kenapa tanpa sengaja aku sering
melihatnya sedang memperhatikan aku. Dan jika aku berhasil menangkap basah
dirinya, dia langsung berjalan ke arahku dan sok menanyakan hasil kerjaku.
Masalahnya dalam sehari bisa lebih dari 5 kali aku memergokinya tengah menatapku
sehingga lebih dari 5 kali juga dia terus menerus mengecek pekerjaanku.
“Bagaimana kondisimu? Masih
sakit?” tanya Pak Arya tiba-tiba saat aku sedang duduk di kantin sambil
melamun. Desember baru saja dua pertiga lewat dan hujan sedang rajin
menghampiri sudut jendela kantin.
Aku terkejut. Refleks aku melirik
jam tanganku. Aman. Jam istirahat belum selesai sehingga dia tak punya alasan
untuk memarahiku karena berlama-lama duduk di kantin. Lebih baik begini
daripada aku harus duduk berlama-lama di dalam kubikel dan selalu mendapat
tumpukan kertas yang dikirim dari ruangannya.
“Baik pak. Sudah mendingan, tidak
demam lagi.” Lagian kalau demam aku pasti
tidak akan masuk kantor.
“Baguslah” dia menarik kursi di
depanku dan duduk di atasnya. Tiba-tiba saja selera minum kopiku hilang.
“Kau jangan terlalu banyak minum
kopi. Ibu kantin bilang setiap hari kau selalu memesan kopi. Mirip bapak-bapak
saja”
Aku menyeringai. Kenapa dia
bahkan bertambah menyebalkan ketika sedang berada di kantin? Kenapa pula dia
merasa perlu bertanya pada ibu kantin minuman apa yang aku pesan setiap
harinya?
“Tania…” gumamnya
Oh tidak, jangan Tania lagi.
Semoga jam istirahat segera berakhir.
“Tania…kami mungkin tidak jadi
menikah”
Aku nyaris menyemburkan kopi yang
tengah aku teguk ke wajah Pak Arya saat mendengar perkataannya barusan. Tapi
untunglah aku dapat mengendalikannya sehingga tidak terjadi bencana besar di
kantin. Aku pasti akan dipecatnya dengan segera meski laporanku belum selesai.
“Kenapa?” hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Aku tidak suka wanita yang doyan
belanja” jawabnya enteng “dan memang sejak awal aku tidak begitu tertarik
padanya. Penampilannya memang mengingatkan aku dengan seseorang. Tapi ternyata
mereka berbeda.”
“Lah, trus gaun pengantinnya?
Cincin kawinnya?” seruku cemas “semua itu kan harganya mahal”.
Dia tersenyum “kamu itu aneh ya.
Bukannya peduli dengan perasaanku dan Tania tapi malah lebih peduli dengan gaun
pengantin dan cincinnya”
Aku cemberut “kalau perasaan
bapak sama Tania sudah pasti kecewa kan? Tapi gaun pengantinnya yang seharga
laptopku itu gimana? Cincin kawin yang seharga uang muka mobil itu gimana?”
Dia kembali tertawa. Akhir-akhir
ini Pak Arya lebih banyak tertawa dengan segala hal yang aku katakan meskipun
menurutku itu tidak lucu. Setiap kali kepalanya mulai sesak dengan pekerjaan
dia selalu datang ke kubikelku dan mengajakku bicara hanya untuk menertawakan
semua yang aku katakan. Dia pikir aku badut ulang tahun apa.
“Tania sudah punya pacar. Dia
dipaksa orang tuanya untuk menikah denganku. Jadi aku pikir…yah, kau tau kan
bagaimana perasaan seorang wanita? Kami laki-laki bisa menerima hal-hal seperti
itu tapi sayangnya kalian tidak bisa. Jadi aku mengalah dan… begitulah. Selesai.”
“Bilang aja ditinggal Tania pak.
Tidak usah sok bilang dia doyan belanja atau belum punya perasaan apa-apa sama
dia” kataku asal tanpa sadar sambil mengaduk-aduk kopiku.
Pak Arya mengoleskan selai kacang
yang ada di atas roti di depannya ke dahiku dengan sendok.
“Hwaaa…Pak. Itu roti saya!”
seruku kesal melihat roti selai kacang milikku dan dahiku sudah tak karuan
bentuknya.
***
“Baiklah….aku tau ini terdengar
gila buatmu. Sebetulnya juga buatku. Tapi aku tak ingin membuang waktu lagi
lebih lama melemparimu kertas, tissu, mengoleskan selai kacang…” kata Pak Arya
sore itu, seminggu setelah insiden selai kacang yang melekat di dahiku ketika
aku sedang bersiap-siap pulang kantor. Dia tiba-tiba sudah berdiri di sisiku
dan raut wajahnya terlihat dia memang benar-benar berniat merusak akhir
tahunku.
Aku sudah bersiap dengan gelengan
kalau-kalau dia memaksaku untuk lembur.
“Menikahlahdenganku” katanya
buru-buru.
“Apa?” keningku berkerut karena
kalimatnya barusan tidak bisa aku cerna.
“Err…menikahlahdenganku”
ulangnya, masih tetap buru-buru.
“Bapak ngomong apa sih?”
Pak Arya menarik nafas panjang.
Tangannya dia kepalkan dan mendelik kepadaku. “Masa tidak ngerti juga sih?”
ketusnya.
Lah, kok jadi aku yang salah?
“Gimana mau ngerti pak? Bapak
ngomongnya kaya lagi dikejar massa gitu.”
“Huh” serunya kesal. Dia mengacak
rambutnya dan memandang ke arah teman-teman lain yang belum juga beranjak
pulang dari kantor karena penasaran dengan apa yang kami berdua bicarakan.
“Kenapa kalian belum pulang?”
tegurnya kesal “giliran lembur pada pulang semua.”
Serta merta seluruh teman-teman
kantorku grasak-grusuk merapikan barang-barang mereka. Ada yang langsung angkat
kaki, tidak sudi melewati malam tahun baru di dalam kubikel sempit mereka. Tapi
lebih banyak lagi yang memilih tetap bertahan dan berpura-pura masih sibuk
mengerjakan sesuatu. Rasa ingin tau mereka ternyata jauh lebih besar dari rasa
ingin segera beristirahat dengan nyaman di rumah.
“Kau mau menikah denganku?” ulang
Pak Arya. Kali ini lebih pelan sehingga aku bisa mendengar setiap kata yang dia
ucapkan.
Aku terpana.
Teman-temanku yang masih di kantor
juga terpana.
Semua mata memandang Pak Arya.
“Eh, bapak tidak salah ngomong
kan?” aku memastikan.
“Memangnya aku keliatan tidak
sedang ngomong dengan kamu ya?” tanyanya ketus.
“Keliatan sih Pak. Tapi…” aku
berusaha berbicara senormal dan setenang mungkin.
“Tapi apa?” potongnya.
“Eh…aku pulang dulu ya pak”
seruku buru-buru. Serta merta aku langsung mengambil tas dan berlari keluar
ruangan sebelum Pak Arya sempat meneriakiku agar tidak lari pulang. Aku akui
aku memang pengecut dalam hal ini.
***
Pak Arya bersikap biasa-biasa
saja seolah tidak ada apa-apa pada suatu sore dua hari yang lalu. Tapi dia jadi
lebih pendiam dan tidak lagi bicara denganku kalau tidak benar-benar perlu. Dia
berubah total dari seseorang yang otoriter menjadi seseorang yang seolah tidak
peduli dengan apapun. Nadia protes kepadaku ketika Pak Arya yang dikaguminya
sekarang menjadi agak pendiam dan pemurung.
“Ini kan gara-gara kamu, Sab”
protesnya “mending sekarang kamu minta maaf sama Pak Arya dan bilang kalau kamu
itu tidak pantas buat dia. Biar Pak Arya tidak terlalu kecewa karena kamu sudah
menolaknya”
“Memangnya yang mau nolak Pak
Arya siapa?” tanyaku jahil.
Nadia mencubit lenganku “Ih, kamu
harus nolak! Awas kalo sampai kamu nikah sama Pak Arya!”
Mendengar ancaman Nadia, aku Cuma
bisa tertawa. “Iya…iya…bu” jawabku asal. Nadia masih kesal.
Aku mengetuk pintu ruangan Pak
Arya kemudian membukanya dan masuk.
“Ada apa?” tanya Pak Arya datar.
Suaranya tidak lagi terdengar menyebalkan. Tiba-tiba aku rindu sosok Pak Arya
yang dahulu.
“Begini pak, soal dua hari yang
lalu. Aku…”
“Lupakan saja” potong Pak Arya
tanpa semangat. “Anggap saja aku tidak pernah mengatakan hal itu.”
Entah kenapa aku merasa sedikit
kecewa. Tapi aku mengangguk dan meninggalkannya sendirian di dalam ruang
kerjanya yang luas dan nyaman itu.
Pak Arya tidak lagi menyuruhku
ini itu dengan suaranya yang fals itu. Dia meminta Nadia yang menyampaikannya
jika ada yang harus aku kerjakan. Sebenarnya sih hierarkinya memang seperti
itu. Tapi selama ini Pak Arya selalu menemui langsung karyawan yang
dibutuhkannya. Tiba-tiba suasana kantor jadi terasa sepi.
Kadang aku rindu cara Pak Arya
mengomeliku, atau caranya tertawa ketika mendengar kalimatku. Aku bahkan ingin
dia kembali mengolesi selai kacang ke dahiku. Aku rindu dilempar gumpalan kertas
darinya atau ditepuk bahuku dengan setumpuk berkas. Baru sekarang aku sadar
kalau ternyata saat mengobrol denganku Pak Arya lebih terlihat santai dan
banyak sekali tertawa.
Sebuah kertas memo mendarat di
mejaku. Panggilan dinas luar dari divisi operasional selama sebulan. Aku menarik
nafas dalam-dalam. Kenapa aku sekarang merasa berat untuk meninggalkan Pak Arya
meski hanya selama sebulan? Padahal dulu aku mau melakukan apa saja asal
dijauhkan dari Pak Arya.
Sebulan itu terlalu lama, dengan
tanpa omelan dari Pak Arya.
Dinas luarnya ke luar pulau
ternyata. Aku baru tau saat mendapatkan surat panggilan resmi dari divisi
operasional. Namaku sudah tercantum di daftar pegawai yang ikut, jadi mau tidak
mau aku harus pergi juga.
Aku mengetuk pintu ruang kerja
Pak Arya yang kini selalu tertutup rapat.
“Masuk” seru Pak Arya dari dalam.
Melihat aku masuk, Pak Arya hanya
memandangku sebentar kemudian dia kembali memandangi monitor di depannya. “Ada
apa?” tanyanya tanpa memandangiku.
“Err…aku pamit Pak. Sore ini berangkat.
Sebulan lagi baru balik”
Aku menunggu respon darinya. Tapi
ternyata dia tidak ingin mengatakan apapun sehingga dengan kecewa aku berjalan
keluar dari ruangannya.
“Orang itu kau" katanya tiba-tiba. langkahku terhenti.
"Orang yang aku
kira Tania akan mirip dengannya. Ternyata tidak” kata Pak Arya ketika aku telah
memunggunginya. Aku menoleh sedikit dan melihat Pak Arya masih memandangi layar
komputer.
“Oh” reaksiku yang aku usahakan
sedatar mungkin. Kemudian aku kembali berjalan keluar ruangannya.
***
Jadi akan aku ceritakan
kronologis kejadian yang Pak Arya ceritakan padaku.
Pak Arya melihatku masuk ke dalam
mobil perusahaan dari jendela ruang kerjanya. Dia tau pesawatku berangkat dua
jam lagi dan sudah ada beberapa orang teman yang lebih dulu menunggu di bandara.
Setelah aku pergi, dia tampak gelisah dan terus menerus mengecek jam dinding
setiap lima menit.
Pak Arya akhirnya menyerah.
Menjelang satu jam keberangkatan, dia langsung berlari keluar kantor
meninggalkan pekerjaannya, masuk ke dalam mobil dan menyetir gila-gilaan menuju
bandara yang hanya berjarak lima belas menit dari kantor. Sepuluh menit kurang
dia sudah sampai di bandara.
Tidak sia-sia memang Pak Arya
menyetir gila-gilaan karena sampai di bandara dia langsung meneleponku dan
meminta aku agar keluar sebentar menemuinya di luar. Aku menolak, merasa
waktunya terlalu singkat untuk kami berdua berbicara karena begitu banyak hal
yang ingin aku tanyakan padanya dan meminta dia untuk menunggu sebulan saja. Dia
bersikeras dan langsung membeli tiket pesawat kemana saja agar bisa masuk ke
dalam bandara.
Sampai di dalam bandara dia
ditahan petugas keamanan karena memaksa masuk ke dalam ruang tunggu yang bukan
menjadi tujuan di tiket pesawat yang dibelinya hingga terjadi adu mulut.
Untunglah setelah menjelaskan kejadian yang sebenarnya, petugas keamanan
bandara itu mau mengerti. Dia mempersilahkan Pak Arya masuk meski di bawah
pengawasan untuk menemuiku.
Dan kini dia berdiri di
hadapanku, berantakan tapi tetap terlihat tampan, dan wajah menyebalkannya
telah kembali seperti sedia kala. Dia menyeringai.
“Kau pikir aku bisa menunggu
sebulan lagi dan membiarkanmu sendirian di luar sana?” katanya ketus.
Para penumpang telah dipersilahkan
naik ke dalam pesawat.
“Aku harus pergi pak. Kita
bicarakan ini nanti saja…”
“Tidak. jangan pergi” cegahnya.
Pak Arya menahan tanganku. “Sudah kukatakan aku tidak ingin membuang waktuku
lagi. Menikahlah denganku”
Aku tertegun. Pandanganku menatap
lekat pria yang sedang berdiri di depanku ini, yang sedang menahan erat
tanganku agar aku tidak pergi. Seluruh penumpang yang hendak masuk ke garbarata
terhenti dan memandangi kami berdua. Penumpang lain yang masih menunggu
panggilan boarding malah sengaja pindah tempat duduk agar lebih dekat dengan tempat kami. Pak Arya
dan aku benar-benar menjadi pusat perhatian ruang tunggu bandara sore ini.
“Sebenarnya aku selalu kesal
setiap kali melihatmu yang telmi itu sedang bekerja” lanjut Pak Arya
Apa? Telmi? Jadi selama ini dia menganggap aku telmi? Huh, enak saja
aku mau menikah dengan orang seperti dia. Galak, arogan, diktator…
“Aku tidak suka melihatmu yang
selalu mengangguk setiap kali teman-temanmu meminta kamu mengerjakan pekerjaan
mereka. Karena itu aku sengaja memberi kau pekerjaan yang banyak”
Ah, bilang saja bapak tidak suka liat aku nganggur
“Kamu itu aneh! Bisa-bisanya kamu
tahan dengan sikapku yang seperti itu kepadamu selama ini. Dan tanpa sadar
setiap harinya aku selalu memperhatikan kamu…”
What? Jangan lanjutkan! Wajahku akan bersemu merah...
“Sampai saat kau jatuh sakit
kemarin. Saat itu aku sangat mencemaskanmu dan sangat ingin mengurusmu sampai
sembuh. Entah karena apa. Padahal aku orang yang tidak pernah peduli dengan keadaan
orang lain tapi tiba-tiba aku jadi sangat mempedulikanmu. Dan hal itu membuatku stres. Kenyataan
kalau kita berdua adalah musuh – tidak dalam arti yang sebenarnya memang – dan
aku tau kau sangat membenciku, sikapku yang semena-mena ini padamu. Dan…”
“Pak” potongku lembut. “sudah,
aku mengerti”
“Mengerti apa?” buru Pak Arya
“Pokoknya aku mengerti!” seruku.
Mataku melotot.
“Jadi kau mau menikah denganku?”
Anggukan kepalaku terasa ringan
saja. Keyakinan itu tiba-tiba merasuk dengan sangat cepat kalau Pak Arya adalah
orang yang tepat untukku. Meski dia menyebalkan, arogan, dan diktator. Dulu aku
mengasihani Tania yang akan menikah dengannya, tapi kini aku harus mengasihani
diriku sendiri yang selalu tidak bisa menggeleng di depan Pak Arya meski
(sekali lagi) dia menyebalkan.
8.33 AM
24 Mei 2012
Kantor-kantor-kantor
Setelah sekian lama mengendap di
dalam laptop
Yah...
ReplyDeleteTk ada info lanjut kemana mereka bulan madu, berapa jumlah generasi yg akan lahir, tanggapan tante Tania, Nadia, dll. Tp intinya, keren laaaaaaaaah...
*standing applause
Dijawab satu-satu ya
ReplyDeletePertama, bulan madunya itu klo bukan ke Ubud, ke Moskow, Praha, ya ke Maladewa (ini mah ambisi pribadi penulis. Bukan ambisi Sabrina :p)
Err...jawaban selanjutnya saya juga tidak tau. Terserahlah mereka bagaimana nantinya. Ya kan Pak Arya?