Kopi
Meskipun saat ini kopi sudah
disajikan dalam berbagai jenis, dicampur susu lah, dicampur krim lah, disajikan
panas-panas dengan uap mengepul-ngepul, bahkan disajikan dengan es krim dan
belakangan camilan pun memiliki rasa kopi – betapa manusia begitu kreatif
mengutak-atik minuman suci oleh para sultan itu – bagiku hanya ada satu kopi di
dunia ini. Biji-biji kopi yang berasal dari Sumatra yang kemudian akan
dihancurkan dengan mesin di depan mataku, kemudian diseduh dengan gula
secukupnya, bagiku itulah kopi yang sejati. Wanginya memesonaku, juga kepulan
kecil uap di atasnya. Warnanya hitam, sedikit kental tapi manisnya pas. Cukup
secangkir setiap sore di sebuah kafe dekat kantor. Maka soreku pun selalu
sempurna.
Kalau saja dari dulu aku tau betapa
nyamannya setiap sore duduk di tempat ini, dengan cangkir berisi kopi
tradisional ini, mungkin sudah sejak dulu aku melakukannya. Keberadaanku di
tempat ini adalah sebuah ketidak sengajaan ketika sebulan lalu desakan itu
terus datang dari berbagai arah. Aku berjalan gontai sepulang dari kantor entah
mengarah kemana dan sampailah di depan kafe bergaya vintage ini. Aku masuk dan
langsung memesan segelas kopi. Anehnya si pelayan tidak bertanya kopi apa tapi langsung menyajikan padaku
secangkir kopi tradisional dengan aroma luar biasa wangi. Sejak saat itu aku
menjadi pendatang tetap kafe mungil di ujung jalan bernama Retro Coffee.
Interior kafe didesain persis
dengan namanya, retro. Ada banyak pajangan yang berasal dari tahun-tahun dimana
kakek dan nenekku untuk pertama kalinya bertemu. Meja dan kursinya dari kayu
hitam berukir persis seperti meja kursi di rumah kakek dan nenekku. Jangan
tanya lampu yang tergantung di langit-langit kafe. Sebuah kandelar indah yang
dipasangi bola lampu. Masuk ke tempat ini membuatku terasa seperti berada di
jaman kebangkitan nasional. Apalagi di sana sini dipajang foto-foto berbagai
pose yang aku duga adalah buyut pemilik kafe bersama teman-temannya sedang
berkumpul seperti tengah merencanakan pemberontakan terhadap kolonialisme di
tanah air.
Di kafe itulah pada suatu sore
pertama kali aku melihatnya. Dan sejak saat itu dia menjadi pendatang tetap
Retro Coffee. Pukul lima lebih sepuluh menit tepat dia akan datang, lima menit
lebih lambat dariku yang selalu datang pukul lima lebih lima menit. Dia juga
pasti berjalan dari kantornya ke kafe ini, mengambil tempat di pojok dekat bar,
menunggu sejenak sampai sepotong kecil tiramisu dan secangkir kopi tubruk
terhidang di depannya. Pukul enam kurang 15 menit dia akan beranjak pulang,
naik angkot ke arah pinggiran kota.
Baiklah, langsung saja akan aku
ceritakan kenapa gadis ini menjadi tokoh utama dalam ceritaku. Karena memang
cerita ini ada disebabkan gadis itu. Di sebuah sore yang ramai ketika entah
kenapa Retro Coffee menjadi sangat penuh dan dengan sangat terpaksa kami berdua
harus saling berbagi meja jika masih ingin mencium wangi kopi buatan barista
kafe ini. Dia duduk di depanku, tersenyum ceria dan menyapaku seolah kami teman
lama.
“Maaf aku mengganggu
kenyamananmu. Tidak ada lagi tempat kosong dan aku sangat ingin mencoba
brownies almond kafe ini. Kata temanku rasanya enak sekali dan…murah”
Aku hanya mengangguk, sedikit
kaget ternyata dia sangat supel. Penampilannya yang selalu duduk diam di pojok
kafe sendirian benar-benar mengecohku. Aku pikir dia adalah gadis pendiam dan
tak begitu suka berbicara dengan orang asing. Tapi ternyata dia sangat cerewet
dan 45 menit kebersamaan pertama kami diisi oleh monolognya.
Dia suka membaca, sering
menghabiskan waktunya di sudut kamar untuk membaca buku-buku yang dibelinya
secara teratur setiap bulan. Dia juga suka es krim dan paling tidak melahap
satu cup es krim setiap harinya. Aneh kan dia memberitahukan semua hal itu
kepadaku?
Dan keesokan harinya dia kembali
duduk di mejaku meski masih banyak meja kosong di sekelilingnya. “Aku boleh kan
duduk di sini lagi?” pintanya penuh harap tapi dengan ekspresi nyengir. Aku
hanya mengangguk pelan tanpa minat. Gadis ini tidak kelihatan misterius lagi bagiku
tapi kelihatannya dia cukup asyik sebagai teman bicara.
“Terima kasih!” serunya senang,
langsung menarik kursi di depannya dan duduk. “Aku suka ngobrol denganmu”
katanya terus terang “jujur saja, aku tidak pernah menemukan pria yang tahan
duduk diam selama 45 menit hanya untuk mendengar cerita tentang buku-bukuku, es
krimku, kucing-kucing peliharaanku, hanya kau satu-satunya” matanya berbinar,
aku rasa selain dia orang yang lugas dan terbuka, dia juga jujur dan tulus.
“Kau sama sekali tidak memotong pembicaraanku dan menanggapinya dengan beradab”
Aku tersedak. Beradab? Aku memang
tak memotong perkataannya karena aku sama sekali tidak tertarik dengan segala
hal yang dia bicarakan itu. Dan tanggapanku hanyalah berupa anggukan dan
gelengan, itu pun kalau perlu. Begitukah yang dia maksud dengan beradab? Gadis ini aneh. Batinku.
“Aku akan dinikahkan dengan
seseorang yang tidak aku inginkan” katanya tiba-tiba. Sepertinya kisahnya sore
ini akan lebih menarik. “Kau tau kan? Kita memang selalu berbeda pendapat
dengan orang tua kita. Selera kita berbeda, jaman apalagi. Tentu saja apa yang
aku inginkan berbeda dengan apa yang mereka inginkan” lanjutnya berapi-api.
“Mereka selalu memaksakan hal
yang mereka sukai agar aku menyukainya! Bayangkan! Setiap hari mereka menyetel
lagu-lagu kuno kesukaan mereka hanya agar aku juga menyukai lagu-lagu itu! Lagu-lagu
mengerikan itu! Oh, tapi tidak semuanya mengerikan. The Beatles adalah
pengecualian. Empat orang pria itu akan jadi calon menantu yang cocok di segala
jaman. Maksudku lagu-lagu yang aneh itu, yang suara biduanitanya menjerit-jerit
berusaha mencapai nada tinggi dan membuat telingaku sakit…”
“Kau ingin bercerita soal
perjodohanmu atau soal lagu-lagu kuno itu?” potongku.
“Ah, iya. Aku lupa. Maaf” katanya
buru-buru. Bola matanya yang kecil mengerjap-ngerjap dan dia menyesap kopi
tubruk kesukaannya. “Aku sebenarnya tidak ingin terlalu banyak minum kopi. Kau
tau kan? Kafein dan segala efek sampingnya itu. Aku tak mau gigiku menjadi
kuning dan orang-orang mengira aku seorang perokok…”
“Tak masalah jika hanya segelas
sehari” sahutku.
“Orang tuaku tak menyukai pria
itu. Pria sempurna itu! Mereka bersikeras kalau pria pilihan mereka, sesuai selera mereka yang kuno itu adalah orang
yang tepat untukku” dia menekankan suaranya pada kata selera.
“Mungkin memang pria pilihan
orang tuamu jauh lebih baik” aku berceletuk.
“Hey! Diamlah! Aku ingin bicara
denganmu karena kamu tak suka memotong pembicaraanku” protesnya “kenapa
sekarang kau jadi sangat cerewet?”
“Iya…aku minta maaf. Kerjaan di
kantor tadi membuatku sedikit stres. Lepas maghrib aku harus kembali ke kantor
menyelesaikan pekerjaan yang tertunda”
Dia mendengus marah. Gadis yang
benar-benar aneh. Tapi aku suka mendengar cerita-ceritanya karena saat
bercerita mimik wajahnya benar-benar ekspresif.
Pada akhirnya dia tak jadi
bercerita soal perjodohan itu dan mulai sibuk bicara soal kafein, coffee shop
yang mulai menjamur dan berakhir dengan pertanyaan kenapa aku juga sering
sekali duduk sendirian melamun di dalam kafe?
Aku tak menjawabnya. Sudah jam
enam kurang lima belas menit. Dia harus pulang.
***
“Gadis itu ingin agar aku segera
menikahinya. Dia sudah mendesakku sejak dua bulan yang lalu dan kedua orang
tuaku ikut-ikutan mendesak agar aku segera menikah sebulan yang lalu. Jika aku
tak segera menikahi gadis itu, mereka akan memaksaku menikahi gadis lain”
Gadis itu terkesima mendengar
sederet kalimat yang menjadi alasanku kenapa aku sering sekali berkunjung ke
kafe ini sendirian dan duduk melamun sejak sebulan terakhir. Jawaban yang aku
berikan keesokan harinya pada gadis itu.
“Yang kau maksud gadis
itu…pacarmu?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk (lagi-lagi).
“Kenapa kau tak mau menikah
dengan pacarmu? Bukankah kau mencintainya?”
Aku menghela nafas berat “aku
masih tak yakin kalau dia adalah perempuan yang tepat untukku”
Dia mendengus, terdengar sangat
tersinggung dengan kalimatku barusan. Dan benar saja, setelah itu dia
menyerangku dengan sederet kalimat panjang lebar soal perasaan perempuan.
“Jadi selama kau memacarinya, kau
tidak pernah yakin dengannya? Untuk apa kau menyia-nyiakan waktu gadis itu
hanya untuk menemani orang yang bahkan tidak yakin apa dia harus pergi kerja
hari ini atau tidak? Kenapa mudah sekali kau bilang kalau dia belum tentu orang
yang tepat untukmu? Tidakkkah kau berpikir dia juga akan berpikiran seperti
itu? Mungkin saja dia butuh waktu yang lama untuk merenungi apa kau memang
tepat untuknya atau tidak. Dan setelah dia menemukan jawabannya, dia langsung
mengajakmu untuk menikah. Dia tidak ingin kehilangan kamu, dan kamu malah sama
sekali tidak mencintainya!”
“Aku mencintainya” protesku
“sangat. Kalau tidak untuk apa kami berdua berpacaran?”
“Lantas kenapa kau tak berani
berkomitmen dengannya?”
“Aku memang mencintainya, tapi
aku tidak terlalu ingin memilikinya…”
Dia tertawa. “Apa maksudmu? Kau
mencintainya tapi tak ingin memilikinya? Itu bukan cinta namanya!”
“Aku punya definisi cinta
sendiri” tukasku. Pembicaraan mulai memanas. Aku tak suka diserang seperti ini.
Apa dia pikir aku tidak jungkir balik jatuh bangun untuk menemukan definisi
cintaku sendiri? kenapa dia seenaknya memvonis kalau definisi cintaku itu
salah?
“Definisi seperti apa yang kau
punya?” tantangnya.
“Err…aku pikir cinta tidak harus
selalu bersama, orang yang kita cintai tidak harus diberi label milik siapa
dia. Dia bukan barang atau tanah yang harus bersertifikat. Jika ada rasa ingin
memiliki, itu berarti lebih dari sekedar cinta.”
“Apakah ada rasa yang dapat
melebihi dari cinta?”
“Ada” jawabku mantap “sebenarnya aku
belum menemukan kata yang tepat untuknya, tapi aku yakin rasa itu ada.”
“Kau orang yang aneh!” tukasnya.
Hhh…bukankah dia yang selama ini
aku anggap gadis aneh? Kenapa dia sekarang menuduhku sebagai orang yang aneh?
Aku tertawa.
“Kenapa tertawa?” semprotnya.
Kembali aku tertawa dan dia
bertambah kesal.
***
Dia mengaduk-aduk kopi di
hadapannya, memasukkan beberapa butir gula batu lantas meminum kopinya hingga
tandas tanpa jeda.
“Aku sudah memutuskan” katanya “mungkin
pilihan orang tuaku tidak buruk. Paling tidak aku akan melihatnya dulu dan
membandingkannya dengan pilihanku”
“Kau menyerah juga akhirnya?”
godaku. Wajahnya cemberut.
“Tapi aku pikir…kau itu tipe
calon menantu yang akan disukai oleh calon mertua di jaman mana pun” lanjutnya “aku
tidak akan heran jika seandainya kau yang aku perkenalkan kepada orang tuaku
dan mereka akan langsung menggelar pernikahanku keesokan harinya”
Aku tertawa geli.
“Hey! Berhentilah tertawa. Kau belum
mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi. Apanya yang lucu? Aku hanya sedang
memberi nilai kepadamu. Jadi kusarankan segeralah menikahi gadismu itu. Aku jamin,
setelah menikah nanti, kau akan merasakan rasa tak bernama yang sangat kau
yakini itu. Sebuah rasa yang lebih dari sekedar cinta”
Tawaku terhenti. “Aku juga sudah
memutuskan untuk mengikuti saran kedua orang tuaku. Yah, aku rasa aku akan
menikah dengan gadis pilihan mereka. Tidak…jangan protes dulu. Aku tidak
bermaksud mencampakkan pacarku – aku rasa kata mencampakkan terlalu berlebihan
dan menggelikan. Tapi hingga saat ini aku sama sekali tidak punya keinginan
untuk menikah dengannya dan kedua orang tuaku terus mendesakku. Jadi aku pikir aku
akan melihat dahulu gadis itu, mungkin dialah orang yang tepat untukku…”
Sepotong kecil roti dia lemparkan
ke wajahku. “Pria memang selalu punya banyak pilihan dan cadangan. Aku benci
kalian! Kamilah yang harus selalu menunggu dan dipilih. Apa kalian tidak bisa
sedikit bersyukur dengan keistimewaan itu? huh!”
Aku tersenyum penuh kemenangan.
Empat puluh lima menit selalu
cukup untuk kami berdua. Saat dia berjalan keluar kafe hendak pulang ke
rumahnya, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Buru-buru aku berlari keluar untuk
mengejarnya.
“Hey! Tunggu!” teriakku,
mengatasi suara kendaraan yang lalu lalang. “Siapa namamu?”
Sayang dia tak mendengarkannya
sama sekali.
***
“Namanya Ariana, kau bisa
memanggilnya Ari” kata ibu, ketika kami berdua sedang berjalan masuk ke rumah
perempuan yang mungkin akan menjadi calon istriku kelak.
“Dan ingat Tegar, berbicaralah
yang sopan dan terpelajar” ibu kembali memperingatkan. Aku hanya mengangguk
pura-pura paham.
Pintu depan rumah terbuka. Dibuka
oleh seorang gadis yang paling aneh yang pernah aku temui. Jadi namanya Ariana?
7.55 PM
16 Mei 2012
Lagi-lagi kantor – rumah
Comments
Post a Comment