I (Don't) Love My Boss (Part I)
Aku tidak pernah suka dengan
udara di bulan Desember seperti sekarang ini. Lihat saja, aku diserang flu, hidungku
tersumbat, kepalaku pening, badan pun rasanya tak nyaman. Padahal di akhir
tahun seperti ini selalu banyak pekerjaan kantor yang menumpuk. Entah itu
laporan bulanan lah, laporan akhir tahun lah, belum lagi kalau masing-masing
divisi meminta laporan khusus di akhir tahun. Telepon kantor tak pernah
berhenti berdering dengan bunyinya yang monoton menyebalkan itu. Kalau saja itu
bukan telepon dari kantor pusat yang kadang memberi instruksi khusus atau
mengirim faks, sudah sejak pagi aku cabut kabel telepon yang melingkar pasrah
di bawah meja.
Saat sedang asyik mengetikkan
laporan untuk divisi keuangan kantor pusat, seseorang mengetuk-ngetuk kubikelku
dengan agak keras sehingga bergetar. Aku menoleh malas-malasan. Pasti Dia lagi. Dan benar saja dugaanku, dia
sudah berdiri di depan kubikelku sehingga hanya nampak kepala dan lehernya
saja, tersenyum menyeringai sambil mengibas-ngibaskan setumpuk kertas yang ada
di tangannya. Aku mendelik. “Ada apa?” tanyaku ketus. Tapi pertanyaan ketus itu
hanya aku ucapkan dalam hati. Yang aku lakukan malah tersenyum hangat kepadanya
dan bertanya ceria, “ada yang bisa aku bantu, pak?”
Dia meletakkan seluruh kertas yang dipegangnya ke atas mejaku.
Kemudian dia berjalan memutar dan masuk ke dalam kubikelku sambil membungkukkan
sedikit badannya memandangi monitor komputerku.
“Sudah selesai belum?”
Aku menggeleng pasrah. Laporan
yang sedang aku buat tiga puluh menit lagi harus dikirim via surel ke kantor
pusat. Tapi karena aku sedang flu, aku terlambat masuk kantor 30 menit dan
masih saja bermalas-malasan di kantin menyesap kopi pagiku.
Dia tak mengomentari gelengan
kepalaku. Tangannya meraih mouse dan dia mulai menjelajahi laporan yang sedang
aku buat. “Hmm…lumayan. Tinggal sedikit lagi, selesaikan saja dulu laporan yang
ini. Biar aku minta tolong Bayu menyelesaikan yang satu ini” Dia mengambil kembali tumpukan kertas yang
tadi diletakkannya di atas mejaku. Untuk pertama kalinya sejak dia menjabat
sebagai atasanku, aku dibuatnya terperangah. Dia tak pernah se-baik hati ini
sebelum-sebelumnya. Catat itu. Tidak pernah!
Jadi apa kira-kira yang
membuatnya tiba-tiba berubah 180 derajat pagi ini? Dia bahkan tak memarahiku
tadi pagi ketika melihatku hanya duduk saja di kantin sambil melamun memandangi
rintik hujan dari jendela. Dan sekarang dia membebaskan aku dari pekerjaan yang
memang sudah seharusnya menjadi tugasku di akhir tahun seperti ini. Ada apa
dengannya? Apa karena hari ini ulang tahunnya? Tentu saja bukan. Aku tidak tahu
persis kapan ulang tahunnya tapi aku yakin bukan di bulan Desember. Atau karena
dia akan menikah? Aku memang sempat mendengar gosip kalau dia akan melamar
seorang wanita yang direkomendasikan oleh keluarganya. Mengherankan bukan
kenapa pria seperti dia, yang telah berhasil dengan karirnya di usia muda,
belum juga menikah? Bahkan dia harus ‘dijodohkan’ oleh keluarganya dengan
seorang wanita. Lihat? Karena dia payah dalam urusan ‘relationship’. Lihat saja betapa menyebalkannya dia padaku. Dia
sama sekali tidak tahu bagaimana cara berhubungan baik dengan bawahannya maupun
dengan wanita-wanita yang mungkin akan dinikahinya. Padahal dia punya
segalanya. Pendidikan tinggi, tampan, cerdas, semua yang ada padanya mampu
membuat wanita manapun meleleh – dalam arti yang sebenarnya.
“Pak” panggilku padanya buru-buru
“tumben bapak baik banget hari ini. Apa karena Bapak mau nikah ya?” tanyaku
asal. Aku memang senang membuatnya kesal dengan pertanyaan-pertanyaan spontanku.
Ruang kerja yang awalnya gaduh tiba-tiba hening. Semua orang berusaha menyimak
jawaban dari dia.
Awalnya dia hanya memandangiku,
tersenyum, kemudian menahan tawa, dan tertawa. Dia menepuk-nepuk tumpukan
kertas di tangannya. “Ada yang salah dengan hal itu?” jawabnya santai. Dia
kemudian berlalu dari depanku. Setelah dia menghilang di balik ruangannya,
suasana ruang kerja riuh kembali. Lebih riuh dari sebelumnya.
“Jadi Pak Arya mau nikah???”
pekik Nadia, ketua Komunitas Penggemar Pak Arya. KPPA. Dia mengkoordinir
seluruh karyawati dari semua divisi yang ada di kantor ini yang sama-sama
menyukai Pak Arya. Dia menjadi ketua lebih karena dia adalah sekretaris Pak
Arya, sehingga mudah untuk mengumpulkan informasi apapun tentang si pria
menyebalkan itu. “Ini berita! Aku harus menyebarkannya sekarang juga!” serta
merta Nadia meraih Blackberry miliknya dan mengetikkan kata-kata yang entah
apa. Satu menit kemudian hampir semua Blackberry karyawati yang ada di ruangan
ini berbunyi. Pasti Nadia mengirimkannya langsung ke grup BBM.
Kantor berlantai 5 ini heboh
seketika hanya karena sebuah pertanyaan asal dariku. Pertanyaan yang bahkan
tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku juga heran kenapa aku bisa menjadi
begitu berani menanyakan hal seperti itu di depan dia yang jutek, yang pemarah itu (tapi kata Nadia dan teman-temannya itu keren) dan di depan banyak orang.
Menjelang jam istirahat makan
siang, Pak Arya kembali mendekatiku. “Sab, aku bisa minta tolong?”
Tumben pakai minta tolong. Biasanya sih langsung nyuruh. Aku
mengangguk. “Bantuin apa ya Pak?”
“Malam ini aku mau lembur. Bisa
tidak temani calon istriku pergi belanja? Dia belum hafal benar jalanan di kota
ini. Aku takut dia nyasar. Bisa kan? Kamu kan sering jadi supir buat
teman-teman kamu” dia menepuk pundakku dengan wajah penuh kekaguman. Aku
mendelik padanya.
“Bisa kan? Kamu tidak perlu
lembur malam ini, cukup temani Tania jalan-jalan di mall berbelanja.
Menyenangkan bukan? Biasanya wanita suka sekali berbelanja”
“Jadi namanya Tania ya Pak? Betul
bapak akan menikah?” kasihan sekali
Tania, harus hidup dengan pria seperti bapak yang menyebalkan minta ampun.
Pak Arya mengangguk. “Raden Ayu
Tania, wanita jawa asli yang lembut. Tidak seperti kamu yang grasak-grusuk
berisik.”
Begitu dia berbalik pergi, aku
nyaris melemparinya dengan tong sampah yang ada di sisi kursiku.
Baguslah akhirnya dia akan
menikah. Mungkin setelah menikah sikap menyebalkannya itu akan hilang. Usianya
sudah 35 tahun, wajar kalau ibunya cemas minta ampun anak laki-laki satu-satunya
di keluarga itu belum juga menikah. Anak bungsu lagi. Sudah jadi rahasia umum
di kantor – lewat KPPA – kalau Pak Arya sudah berkali-kali dikenalkan dengan
berbagai macam wanita mulai dari artis, dokter, pengacara, konsultan, bahkan
pramugari, tapi semua ditolaknya. Dan Tania? Siapa Tania ini? Seorang Raden
Ayu? Apa hebatnya dia sampai Pak Arya akhirnya luluh juga dan bersedia
dijodohkan dengannya?
***
Jam 7 malam aku masih duduk asyik
di dalam kubikel mengetik laporanku. Lupa kalau ada tugas khusus dari Dia.
“Plakk” tiba-tiba ada yang
menyambit kepalaku dengan kertas. Aku memungut kertas itu dan bersiap melempar
kembali kepada orang yang telah usil padaku. Tapi ternyata yang melempar itu
Pak Arya. Dia menunjuk jam tangan mahalnya dan berbicara setengah berbisik
kepadaku, “Tania sudah menunggu di bawah! Kamu pakai saja mobil punyaku. Dan
ingat, ini rahasia! Jangan bilang siapa-siapa kalau kau pergi dengan calon
istriku. Bilang saja dia temanmu”
Aku mengangguk patuh. Pak Arya
meletakkan kunci mobilnya di mejaku dan berlalu pergi. Aku merapikan
barang-barangku dan segera pergi sebelum Pak Arya menyambitku dengan kertas
untuk yang kedua kalinya.
Di lobi, aku melihat wanita itu. Sama
persis sesuai dengan gambaran Pak Arya. Baru melihat sosoknya saja aku bisa menebak
kalau dia seorang Raden Ayu yang kalem dan lembut. Bahkan tersenyum pun dia
butuh waktu selama dua detik untuk menarik sudut-sudut bibirnya. Kulitnya
kuning langsat khas wanita Indonesia. Rambutnya hitam panjang berombak dan
diikat. Dia mengenakan kemeja batik warna coklat, senada dengan tas yang
dipakainya dan rok panjang berwarna krem. Dari ujung rambut sampai ujung kaki
penampilannya benar-benar tradisional. Aku sedikit berpikir, kukira selera Pak Arya
adalah seorang wanita modern dengan dandanan ala Eropa. Ternyata seleranya
malah seorang wanita yang kalau diliat-liat kok mirip aku ya? Wanita lajang
tradisional yang tinggal di kota metropolitan.
Tania melambai ke arahku. Aku
terkejut dia sudah mengenalku lebih dulu. Apa karena potonganku memang sudah
mirip seorang supir atau bagaimana, aku kurang jelas. Langsung saja aku
mendekat padanya. “Kok tahu sih kalau aku yang disuruh Pak Arya nganterin kamu
belanja?” tanyaku. Dia tampak salah tingkah.
“Tidak kok” jawabnya halus dan
pelan “barusan Kak Arya nelpon, katanya kamu lagi dalam perjalanan ke bawah.
Makanya waktu aku lihat kamu keluar dari lift, aku langsung menduga itu kamu”
“Ooh…kalo gitu tunggu bentar ya!
Aku mau ngambil mobil di parkiran. Kamu tunggu disini aja, jangan kemana-mana!”
Tania mengangguk. Sementara aku
berjalan menuju parkiran yang ada di samping gedung. Sampai di parkiran, aku
menepuk jidat. Lupa bertanya pada Pak Arya dimana mobilnya di parkir. Akhirnya
aku harus memutari seluruh parkiran demi menemukan sebuah mobil Pajero Sport
warna putih yang ternyata diparkir paling dalam karena Pak Arya selalu datang
paling pagi. Sambil mendengus kesal karena kelelahan mengelilingi seluruh area
parkir, aku naik ke atas mobil dan menyalakan mesinnya.
Keluar dari area gedung kantor,
gerimis mulai menyelimuti kota ini. Aku menaikkan suhu di dalam mobil yang
entah kenapa tiba-tiba terasa dingin. Aku bahkan merasa tubuhku sedikit
menggigil. Tapi selama perjalanan Tania terus-terusan mengipas wajahnya dengan
majalah yang tergeletak di dashboard mobil. Dia kepanasan rupanya. Padahal di
luar hujan mulai deras mengguyur. Karena merasa tak enak melihat Tania yang
kepanasan, aku terpaksa menurunkan suhu di dalam mobil dan kemudian aku
menyetir sambil menahan rasa dingin.
Dua puluh menit kemudian kami sampai
di sebuah mall dimana Tania telah membuat janji lebih dulu dengan sebuah butik
yang khusus menjahit gaun pengantin. Tertatih-tatih aku berjalanan kedinginan
di sisi Tania yang tampak begitu bersemangat mempersiapkan pernikahannya.
Sampai di butik tersebut dia langsung diajak menuju sisi lain butik, di balik
sebuah pintu kaca. Disanalah tergantung dengan anggun dan cantik sebuah gaun
pengantin panjang berwarna coklat keemasan yang membuatku nyaris meleleh
melihat keindahannya. Aku berjalan pelan mendekati gaun itu dan menyentuh
kainnya yang lembut, mengamati setiap renda dan ornamen-ornamen yang melekat
pada gaun itu, membayangkan kira-kira bagaimana jadinya jika aku yang
mengenakan gaun ini. Maksudku, aku juga ingin menikah dengan gaun seindah ini.
Aku yakin harganya jutaan rupiah.
“Cantik kan?” Tanya Tania yang
telah berdiri di sampingku “coba dipakai deh” katanya. Aku serta merta menoleh
padanya dengan wajah antusias. Tania menyuruhku mencoba gaun ini? Alamak, mimpi
apa aku semalam sehingga hari ini aku bisa mencoba sebuah gaun cantik yang
harganya mungkin sama dengan harga laptop canggih milikku yang kubeli
dengan susah payah hasil dari menabung
selama 3 bulan. Tentu saja aku mengangguk dengan antusias tanpa berpikir
panjang.
Seorang gadis, karyawan di butik
itu mengajakku masuk ke dalam ruang pas. Di dalam, di depan sebuah cermin besar
dia membantu aku mengenakan gaun yang ternyata amat pas dengan ukuranku.
Setelah gaun itu terpasang, aku mematut-matut bayanganku sendiri di dalam
cermin. Cantik luar biasa! Buru-buru ku keluarkan handphone dari dalam tas dan
meminta gadis itu untuk mengambil gambarku sebelum Tania melihatnya dan mungkin
dia akan menertawaiku. Setelah beberapa kali pengambilan gambar, aku berjalan
keluar dari ruangan.
“Wah, cantiiikkk” puji Tania. Dia
berjalan mendekatiku dan mengamati penampilanku “kamu cocok banget pakai gaun
ini. Nanti kalau kamu nikah pakai gaun ini aja ya! Ih, kamu cantik banget sih”
Setelah Tania puas memuji-muji
penampilanku, barulah gilirannya mencoba gaun itu. Dia tampak seperti seorang
Putri Indonesia yang sedang berjalan mondar mandir di atas panggung menunjukkan
mahkota kemenangannya. Tania benar-benar seorang wanita Indonesia tulen, dengan
kulit eksotis dan pandangan mata malu-malu khas wanita Indonesia. Pantas saja
Pak Arya jatuh cinta padanya dan ingin menikahinya. Dia sosok yang tepat untuk
menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu.
“Kita ke toko perhiasan ya? Ada
di mall ini juga kok. Mau lihat pesanan cincinnya” pinta Tania. Aku mengangguk,
tentu saja. Mana mungkin aku menolak meskipun tubuhku telah kembali menggigil
setelah gaun pengantin itu dilepas.
Setelah Tania puas mendengar
penjelasan dari karyawan toko perhiasan kalau model cincin pernikahannya yang
diinginkannya agak sedikit rumit dan mereka meminta waktu dua hari lagi, Tania
kemudian mengajakku berbelanja. “Waktunya belanja!” serunya senang. Setengah
berlari aku mengejar Tania yang begitu bersemangat keluar masuk butik,
memborong berbagai macam gaun, memaksaku untuk ikut memilih – yang kemudian ku
tolak karena aku ngeri membayangkan berapa besar tagihan di kartu kreditnya
nanti. Akhirnya menjelang tutup mall barulah kami berjalan tertatih-tatih
kelelahan menuju tempat parkir.
Aku mengantarkan Tania ke rumah
pamannya yang – untunglah – dekat dari kantor. Aku harus kembali ke kantor
mengembalikan mobil milik Pak Arya yang pasti sudah menunggu sejak tadi di
ruangannya. Peduli amat. Dia seharusnya tidak memilih seorang istri bak putri
tapi doyan belanja sampai lupa waktu. Kakiku gemetaran saat turun dari mobil
dan tubuhku menggigil hebat. Sepertinya aku terserang demam. Aku bersingut
pelan menuju lift dan jatuh terduduk di lantai lift saat mulai bergerak ke
atas. Astaga, aku sakit!
Ruangan kantor telah sepi saat
aku masuk dan hanya melihat seberkas cahaya yang berasal dari ruang kerja Pak
Arya. Kakiku terasa berat saat aku masuk ke dalam ruang kerja pak Arya yang tak
terkunci.
“Lama sekali kalian?” katanya
dengan nada suara tinggi “sekarang sudah hampir jam 11….”
Brukkk….
Aku terjatuh tepat di depan meja
Pak Arya. Pingsan.
***
Yang pertama aku lihat adalah
wajah menyebalkannya itu. Pandanganku masih samar-samar. Barulah setelah
pandanganku mulai jelas, aku bisa melihat wajahnya yang ternyata cemas luar
biasa. Dia tampak pucat, berkeringat
dingin dan berantakan. Aku memandang sekeliling, ternyata aku berada di sebuah
ruangan bercat hijau dengan lantai ubin yang mengkilap. Biar aku tebak, aku
pasti berada di rang rawat rumah sakit paling mahal karena aku yakin aku sedang
tidak berada di kamar hotel bintang lima.
“Aku tadi pingsan?” tanyaku pada
Pak Arya yang kini telah duduk di sisiku. Dia mengangguk sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
“Kau tiba-tiba terjatuh di
ruanganku tadi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, jadi aku langsung
membawamu kemari. Ternyata kau hanya demam. Membuatku cemas saja. kenapa kau
tidak bilang kalau kau sedang sakit? Aku kan bisa meminta Tania menunda rencana
belanjanya?”
Aku melongo. Tidak salah nih? Meminta Tania menundanya? Harusnya kan cari orang lain
saja. batinku.
“Pak, bisa aku pulang sekarang?”
tanyaku seraya berusaha bangkit dari tempat tidur.
“Jangan dulu” cegahnya
“istirahatlah disini sampai besok pagi, biar aku yang jaga dan mengantarmu
pulang besok”
Kembali aku melongo. Dia
benar-benar aneh hari ini!
Esoknya Pak Arya menyupiriku.
Dalam hati aku tertawa penuh kemenangan, karena aku tahu seumur hidupnya Pak
Arya tidak pernah menyupiri bawahannya, apalagi aku yang sering sekali dibuat
kesal oleh tingkahnya. Masih pagi sekali, jalanan cukup lengang sehingga mobil
Pak Arya dapat meluncur mulus.
“Kata dokter kau hanya perlu
istirahat di rumah. Kau tidak perlu masuk kantor dulu.”
Aku hanya manggut-manggut sambil
memandangi suasana kota di pagi hari yang ternyata cukup menyenangkan
melihatnya tanpa kemacetan yang sudah menjadi rutinitas kota ini.
“Kita sarapan dulu. Gimana?”
“Iya Pak, lapar nih” kataku
mengeluh sambil memegangi perutku yang keroncongan karena sejak semalam belum
makan apapun.
“Biasanya tuh orang sakit malas
makannya. Kamu kok lain?”
Aku cemberut. Pak Arya tertawa
lepas. Saat tertawa seperti itu dia terlihat lebih manusiawi.
Pak Arya mengajakku makan di
sebuah restoran di pinggiran kota dengan nuansa tradisional. Restoran lesehan.
Pak Arya sepertinya sering makan disini karena dia langsung mengambil tempat
duduk favoritnya di bagian belakang, dekat taman dan air mancur. Restoran ini
buka 24 jam.
“Bagaimana menurutmu dengan
Tania?” tanya Pak Arya. Aku yang sedang bersemangat melahap sarapanku mau tidak
mau harus berhenti mengunyah demi menjawab pertanyaan penting dari dia pagi
ini.
“Hmm…” aku minum segelas air.
“Tania baik kok. Contoh istri dan ibu idaman semua pria. Orangnya lembut,
cantik, doyan belanja….”
“Apa menurutmu aku terlihat cocok
dengannya?” potong Pak Arya.
Nanyanya kok tidak etis gitu sih? “Iya…cocok kok Pak. Serasi,
selaras, seimbang”
Pak Arya melempariku dengan
gulungan tissu yang baru saja dia pakai membersihkan tangannya.
“Ihh…jorok” aku berjengit. Dia kembali tertawa lepas.
-Bersambung dulu-
Aaaaaaaaaaaaah... Ngegantung. :(
ReplyDeleteIyahhh...ini baru mau di post episode selanjutnya.
ReplyDelete*peluk ketjup Reski pembaca setia blog saya :p
Ah iya. Keren kak. Sealau keren. :')
ReplyDeleteJOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.site
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
8 Pasaran Togel Terbaik Bosku
Joker Slot, Sabung Ayam Dan Masih Banyak Lagi Boskuu
BURUAN DAFTAR!
MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
DOMPET DIGITAL OVO, DANA, LINK AJA DAN GOPAY
UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU
dewa-lotto.site