Amplop Coklat
Telah lama lewat masa-masa itu,
sudah lama sekali lewat. Masa-masa dimana aku menyusuri pantai yang menarik
garis panjang mengelilingi kota ini, berharap di antara orang-orang yang
berjejalan itu aku bisa menemukan sosokmu dengan tiba-tiba. Atau ketika aku
duduk termenung di sisi bukit yang membentangkan lanskap indah kota kecil kita,
deretan atap rumah yang tampak mungil dari kejauhan dengan berbagai gradasi
warna; merah, biru, coklat. Sebuah menara gereja menjulang kokoh seorang diri
di tengah kota, tua dan kesepian dan dari kejauhan warna keemasan kubah masjid
terbesar di kota kecil ini menemaninya. Hanya dari kejauhan. Seperti aku yang
hanya bisa menemanimu dari kejauhan.
Telah lama lewat masa-masa itu
tapi aku tidak lupa. Aku tidak akan pernah bisa lupa pernah begitu mencintai
sosokmu di antara derak-derak truk-truk besar pengangkut kontainer di tepi
pelabuhan. Aku tidak akan pernah bisa lupa debu jalanan yang mengepul-ngepul di
sisi kita karena tersapu roda kendaraan dan disambut oleh hembusan angin yang
bergerak lamban di lengkungan teluk tempat kita duduk. Ditemani sepiring pisang
goreng yang mulai layu dan segelas es jeruk – minuman favoritku. Kita tidak
banyak bicara, hanya sesekali saling memandang, membaca raut wajah dan mata.
Dari tempat kita duduk kita bisa
menyaksikan kapal-kapal barang yang sedang bongkar muat, puluhan buruh yang
memikul entah apa bersahut-sahutan dengan deru kendaraan dan seru mesin
pengangkut kontainer. Sore ternyata tidak selalu setenang yang aku bayangkan,
tapi aku tidak keberatan. Keberadaanmu membuat semuanya lebih damai meski aku
tau – kita sama-sama tau – kita tidak boleh saling berharap untuk memiliki.
Bahkan berharap pun tak boleh!
Cinta? Apa kita pernah menyebut
kata itu? Aku selalu berhati-hati menggunakannya dan nyatanya aku sama sekali
tidak berhati-hati ketika harus menggunakan kata itu di depanmu. Karena ya, aku
tidak akan lupa pernah sangat mencintaimu. Aku tidak akan pernah lupa
diskusi-diskusi kita, pertengkaran-pertengkaran kita, sindir-menyindir, bahkan
aku ingat ketika pukul sembilan malam kau berdiri di depan kantorku, masih
memakai baju kantor sama seperti aku, bersandal jepit dan membawakan aku
makanan. Meskipun setelah itu kau buru-buru pergi tanpa bicara sedikit pun. Aku
ingat kemejamu berwarna coklat, celana hitam panjang, jaket yang membungkus
tubuhmu, sandal jepit biru, dan sebungkus nasi di dalam tas kresek yang tengah
kau pegang. Aku tidak bilang ini pengorbananmu, yang harus meninggalkan
pekerjaanmu sebentar demi membelikan aku makanan karena semua orang pun bisa
melakukannya, termasuk sekuriti di kantorku. Tapi kau tidak tahu ada rasa
bahagia yang meloncat-loncat di dalam diriku yang bilang; aku telah
menemukanmu.
Sayang aku lupa tentang kefanaan.
Aku lupa kita adalah makhluk fana, maka apapun yang menyertai kita adalah fana.
Aku lupa kebahagiaan dan kesedihan tidak akan abadi. Ternyata kebahagiaan itu
tidak mau hinggap terlalu lama di tengah-tengah kita. Dengan mudahnya dia
terbang pergi jauh sekali dan berganti dengan kesedihan : kita tidak boleh
berharap untuk saling memiliki.
Sudah lama lewat, benar-benar
sudah lewat. Selama bertahun-tahun aku mengobati luka yang ditinggalkan oleh
rasa bahagia itu seorang diri. Menghapus air mataku sendiri dan kini aku telah
berhasil melewatinya. Semua sudah lewat. Aku hargai kerja kerasku untuk tidak
akan jatuh cinta dengan orang yang salah lagi. Aku hargai air mataku untuk
tidak akan menetes untuk orang yang salah lagi. Aku hargai lukaku untuk tidak akan
menyembuhkannya hingga pulih agar aku ingat – ada luka yang pernah begitu sakit
yang harus aku obati sendiri. Agar aku ingat, ada orang yang pernah sangat aku
cintai sekaligus sangat aku benci.
Garis lengkung di sisi teluk itu
masih sama, tapi dengan aku yang berbeda. Aku masih suka duduk di sana –
sendirian saja. Aku masih suka memandangi kapal-kapal yang bersandar di dermaga
atau mendengar deru truk pengangkut kontainer yang bercampur dengan debu yang
terbang kemana-mana. Tidak ada yang berubah kecuali masjid di sisi teluk yang
kini lebih berkilau dan pengunjung tetap garis lengkung teluk ini bertambah
banyak. Benar-benar tidak ada yang berubah kecuali kini aku hanya duduk sendiri
bersama sepiring pisang goreng yang mulai layu dan segelas es jeruk.
***
Seorang tukang pos datang dan
mengetuk pintu rumah, memberikan padaku sebuah amplop coklat panjang yang tebal
kemudian berlalu dengan tersenyum. Aku tau apa isinya dan aku tidak tertarik
untuk membukanya. Untuk apa? Bukankah semua sudah lewat? Bukankah nama itu kini
tidak penting lagi untuk aku baca? Aku heran betapa cepatnya semua berubah
hanya dalam bilangan tahun yang tak seberapa ini. Aku heran ternyata diriku
mampu melewati semua itu seorang diri tanpa perlu untuk benar-benar memulihkan
luka itu.
Aku benar-benar tak peduli
bagaimana bentuknya dan apa warna yang dipilihnya. Aku tidak lagi menginginkan
ada namaku disana, tertulis cantik dengan tinta coklat yang tegas di bawah
namanya. Tidak ada lagi rasa apa-apa. Hanya seperti sebuah nama yang sambil
lalu pernah aku ucapkan. Amplop itu aku letakkan di kotak yang khusus dibuat
ibuku untuk menyimpan semua undangan pernikahan yang kami terima. Dengan amplop
coklat yang masih tersegel rapi.
6.23 AM
Kamar, hujan, 21 Ramadhan
Comments
Post a Comment