Lilin
Saya lebih senang menyebutnya lilin. Lilin yang menemani saya dalam kegelapan yang sendiri dan yah, terkadang sepi...terkadang saja karena bagi saya definisi sepi tidak harus bersinggungan dengan kesendirian.
Dia cukup lilin. Sebatang lilin kecil berwana putih dengan cahaya mungilnya yang bergoyang kesana kemari bila dipermainkan angin. Cukup lilin. Bukan matahari pun bukan bulan. Cukup lilin dengan segala kesederhanaannya. Lilin yang akan meleleh sedikit demi sedikit untuk saya. Lilin, sederhana dan hangat.
Saya telah mencintai dia sejak dia masih belum menjadi lilin yang menyala untuk saya. Sejak dia masih menjadi lilin yang egois yang tak mau membagi cahayanya dengan yang lain. Kemudian saya datang meminta sedikit cahayanya karena saya merasa terlampau sesak dengan kegelapan ini. Dan...saya menjadi terbiasa dengan keheningannya, dengan kesendiriannya, dan dengan sudut matanya.
Dia sebatang lilin yang selalu duduk di pojok kafe selama berjam-jam, menghabiskan bergelas-gelas latte dan membaca bermacam-macam buku. Dan saya, saya selalu ada di sana melihat dia, duduk di pojok yang berlawanan dengannya, mengintip diam-diam sudut matanya dan menikmati diam-diam cahaya lilinnya. Saya selalu menikmati cahayanya ketika saya benar-benar merasa kesepian.
Dia cukup seperti lilin, hanya membagi cahayanya kepada saya saja. Ketika akhirnya saya meminjam sedikit cahayanya, dia mengijinkan. Kini sudut matanya berganti menjadi dua bola mata teduh berwarna cokelat. Senyumnya menawan meskipun dia sangat jarang tertawa. Kami saling membagi sepi di antara ramainya pengunjung kafe. Saling menerabas ilalang yang menghalangi kami untuk saling mengetahui siapa dia dan siapa saya yang bersembunyi di balik ilalang tinggi itu. Sama-sama memutuskan untuk menceritakan hal-hal kecil dalam hidup kami seperti memberi tahu kalau besok malam adalah jadwal kunjungan saya ke dokter, memberitahu kalau besok dia ada rapat penting di kantornya, memutuskan bertanya bagaimana kesibukan kami hari ini? Bagaimana dengan pekerjaan kami? Melontarkan banyak sekali hal-hal kecil sampai akhirnya kami memutuskan untuk saling mengatakan "sepertinya saya mencintai kamu".
Cahayanya, saya semakin merindukannya. Kami menghabiskan banyak hentakan jarum jam bersama di kafe itu. Menghabiskan bergelas-gelas latte bersama dan membahas begitu banyak judul buku bersama. Kami dekat, seperti lilin dan kegelapan.
Tapi kemudian dia mengajak saya untuk melihat bintang.
"Tapi kamu lilin. Cukup lilin. Aku tidak butuh bintang" protes saya
"Lilin hanya bisa memberi cahayanya pada satu orang saja" jelasnya
"Iya, hanya untuk saya" saya masih bersikeras
"Bintang tidak hanya cahaya, tapi dia penunjuk arah saat kau kehilangan kompasmu. Dengan begitu kita masih bisa bertemu meski mungkin kau harus berusaha sedikit lebih keras menerjemahkan rasi. Dan nanti kamu pasti akan menemukan saya lagi..."
"Nanti?" tanya saya tidak mengerti
"Ya, nanti" dia mengangguk.
***
Dia menitipkannya pada waiter kafe yang langsung mengenali saya begitu saya membuka pintu kafe dan masuk ke dalam. Sampulnya berwarna coklat seperti warna matanya, bertuliskan tinta berwarna hitam yang tegas. Pernikahannya minggu depan.
***
"Saya berusaha, tapi tidak bisa. Saya memutuskan meninggalkan dia. Iya, dulu saya memang mencintainya. Tapi ketika rencana pernikahan itu mulai dibicarakan, saya tau saya tidak ingin menjadi suaminya. Saya telah memikirkannya berulang-ulang. Selama itu saya menjauhkan diri saya darinya, dari keluarganya dan bahkan keluarga saya sendiri. Saya perlu memikirkannya sendiri karena ini hidup saya. Sampai kamu datang dan menyebut saya lilin. Saya sadar, saya lebih membutuhkan kamu dibanding dia membutuhkan saya..."
Saya menggeleng kuat, telah menangis sejak tadi. "Kamu salah"
"Iya, saya tau saya salah"
"Kenapa kamu masih memaksa? Bukankah kadang pilihan terbaik adalah menerima kenyataan? Menerima dia?"
"Pilihan terbaik saya hanyalah kamu, bukan dia"
Saya diam, kehabisan kata-kata untuk membunuh semua keinginan hati saya. Saya tidak sedang berbantahan dengannya. Saya sedang berusaha membantah diri saya sendiri yang sejak awal membenarkan keputusannya.
"Kamu mencintai saya?" tanyanya.
Saya tidak sanggup lagi untuk menggeleng kali ini.
"Jadi mari kita buat semuanya menjadi sederhana. Bukankah saya adalah lilin bagimu? Cukup lilin? Saya hanya mau membagi cahaya lilin itu padamu..."
Saya sadar saya salah. Tidak ada yang sederhana dengan perasaan. Bahkan lilin pun tak sesederhana itu. Tapi meskipun perasaan selalu rumit, cinta tetap akan selalu sederhana.
2 Juli 2013
Ruang kelas, ngantuk.
Comments
Post a Comment