Pasir Lembut Di Balik Semak Dan Anak Kecil Tanpa Celana

Dua hari saja, tapi backpack ukuran 45L saya nyaris penuh. Saya memang harus membawa pakaian yang lebih banyak, kaos kaki cadangan, payung, tiga macam charger, botol air minum, mukena, tissu kering, tissu basah, dan lain-lain, dan lain-lain. Saya packing satu jam sebelum berangkat. Tanpa membuat daftar barang-wajib-bawa dan tanpa melupakan satu barang pun. Bahkan packing pun butuh 45 persen bakat *tepuk-tepuk backpack*

Jam 8 saya sudah berdiri manis di depan kapal laut Valentine (nama kapalnya romantis. Italiano banget) sambil menunggu Sita, teman traveling saya kali ini. Saya lupa kapan terakhir saya menjejakkan kaki di pelabuhan penyeberangan ini, tapi yang saya tau itu sudah lama sekali dan tidak ada yang berubah sedikit pun. Ternyata pembangunan daerah belum sampai menyentuh – meski hanya permukaan – dari pelabuhan ini. Beberapa anak kecil langsung menyambut kedatangan saya, menawarkan tenaga untuk mengangkat barang ke atas kapal. Saya menggeleng dan tersenyum sambil melirik satu-satunya barang yang saya bawa, hanya sebuah backpack merah yang tersampir di punggung. Anak kecil itu berlalu, mencari penumpang lain untuk menawarkan jasanya. Di jam segini, di tempat seperti ini, masih banyak anak kecil membanting tulang mereka. Sebuah tempat yang cukup keras menurut saya. Sebuah tempat yang lebih layak diisi oleh orang-orang kuat berperawakan besar. Saya hanya berdoa, semoga saja anak-anak kecil yang menjadi buruh itu tidak menyerah pada keadaan.

Akhirnya saya menunggu Sita di atas kapal tapi ternyata dia sudah tiba lebih dulu di atas. Malam ini penumpang kapal sepi, deretan ranjang berkasur tipis yang disediakan untuk penumpang tidak semuanya terisi. Kapal mulai bergerak perlahan. Saya menyimpan backpack saya di atas tempat tidur kemudian kami keluar duduk di anjungan kapal sambil mengobrol. Empat jam mengarungi lautan yang pekat sambil bercerita tentang Pak Pram, Gie, Beatles, Lennon, sampai Marlon Brando.

Pukul 1 pagi kapal tiba di pelabuhan Salakan, Sita bilang kakaknya mau menjemput kami di pelabuhan. Tapi ternyata kakaknya tidak ada sehingga kami memutuskan langsung ke penginapan saja. Ini pertama kalinya saya ke Salakan. Jam 1 pagi dan tidak tau jalan. Kami asal jalan kaki sampai ketemu sama bapak-bapak di pinggir jalan dan bertanya arah jalan ke penginapan. Ternyata penginapannya dekat pake banget. Tidak sampai sepuluh menit jalan kaki. Dan kakak Sita baru datang satu jam kemudian di penginapan mencari kami -____-“

Jam 6 pagi, Syawal teman kantor saya yang tugas di Pegadaian Salakan dan Dewa yang tugas di Pegadaian Banggai datang (dua orang yang betah hidup tenang di pulau sehingga terlihat seperti penduduk asli. Haha). Mereka berdua mau hunting objek foto sekaligus jadi guide berkeliling pulau. Dewa menyewakan motor di penginapan untuk saya dan Sita. Jadi kami berempat akan keliling pulau naik sepeda motor, seperti di film-film road trip itu :D

Salakan itu ibarat kotak hadiah bagi saya. Saat memutuskan pergi berlibur kesana, saya sama sekali belum tau apa yang akan saya dapatkan di balik kotak itu – yang saya tau isinya pasti sesuatu yang indah. Dan saya senang tebakan saya tidak salah, it’s beyond my expectation!

Surga tersembunyi pertama yang kami kunjungi adalah pantai Teduang di Kecamatan Tinangkung. Suasananya tenang karena tersembunyi di balik rimbun pepohonan sementara sebuah rumah kayu mungil berdiri sepi di tengah lautan. Sebuah tempat yang sempurna untuk menikmati liburan. Sambil menunggu dua orang fotografer landscape itu mengambil gambar, saya dan Sita duduk-duduk di jembatan kayu yang menghubungkan bibir pantai dengan rumah kayu bercat biru itu. Langit biru terang, air yang hijau bening, angin yang bertiup lembut...bantal mana bantal...

Kemudian kami menuju kecamatan Peling Tengah, ke air terjun yang-saya-lupa-tanya-apa-namanya. Tidak ada yang spesial dengan air terjun itu sebenarnya, tapi perjalanannya yang melewati banyak desa membuat saya merasa nyaman. Saya merasa beruntung sewaktu kecil pernah tinggal di desa dengan suasana yang lengang, rasanya damai. Setiap sore penduduk desa akan berkumpul di lapangan entah menyaksikan pertandingan sepak bola anak-anak kampung atau pertandingan voli ibu-ibu. Rasanya seperti melihat saya yang berusia beberapa tahun, dengan wajah penuh dengan bedak sehabis mandi, ikut duduk menyaksikan pertandingan bersama anak-anak lain dan akan kembali ke rumah ketika masjid kampung mulai bersuara.

Sorenya kami kembali ke Teduang karena dua orang fotografer itu ingin memotret sunset yang sayangnya salah perhitungan. Di Teduang ternyata tidak bisa melihat sunset. Kasian. Haha. Akhirnya saya bilang kalau saya ingin ke desa yang siang tadi sempat kami lewati, yang banyak rumah-rumah di atas airnya. Tapi saya lupa desanya yang mana. Lah. Akhirnya kami singgah di desa yang-lagi-lagi-saya-lupa-tanya-namanya, mengambil gambar sunset di pelabuhan di desa itu. Sore yang sempurna dengan cahaya saganya yang sempurna.


Di Salakan sedang berlangsung MTQ tingkat kabupaten. Dengan niat mau-liat-serame-apa-Salakan-kalo-ada-event sekaligus bertemu dengan kakak Sita yang jadi panitia dari kecamatan Peling Tengah, setelah makan malam yang ditraktir oleh Bapak Dewa Kepala Cabang Pegadaian Banggai (haha) kami pergi ke lapangan Trikora tempat MTQ berlangsung. Pas masuk arena MTQ, yang sedang tampil adalah cabang kasidahan. Penonton banyak berkerumun di depan panggung. Tapi saat cabang tilawah, mendadak depan panggung langsung sepi dan hanya menyisakan kami berempat. Dewa gelisah, katanya dia tidak enak Cuma kami berempat yang masih berdiri di tengah lapangan. Takutnya cabang tilawah memang tidak boleh ditonton dari depan panggung. Haha. Akhirnya dua orang fotografer itu pulang lebih awal sementara saya dan Sita pergi ke tenda khafilah Peling Tengah ketemu dengan kakaknya Sita yang sejak pagi sudah telepon, bbm dan sms saya Cuma buat menanyakan keberadaan adiknya. Susah memang kalo jalan sama anak bungsu *digetok kakaknya Sita*

Salakan sedang berdandan. Pemerintah pulau mungil ini sepertinya sedang habis-habisan membangun daerah mereka. Banyak kantor-kantor pemda yang masih baru dan jalanan yang diaspal halus bahkan hingga ke desa-desa terjauh (yang membuat saya berpikir dari segi pembangunan jalan Luwuk sungguh jauh tertinggal). Hanya saja ada hal yang mengganggu saya. Sebuah pertanyaan, apakah pembangunan daerah harus berbanding terbalik dengan keindahan alam? Tidak bisakah keduanya berjalan selaras? Seperti pembangunan dam yang membuat air terjun Tembang di desa Luksagu menjadi ‘berantakan’. Atau penambangan pasir (yang meski tidak dalam jumlah besar) di sepanjang pesisir pantai. Saya tidak begitu mengerti dengan masalah ilegal atau legal mengambil pasir di pantai, tapi melihat pasir-pasir putih yang cantik itu diangkut ke atas truk, rasanya sedih. Saya sangat menyukai pantai, dengan airnya yang biru, dengan pasirnya yang putih lembut. Jadi rasanya ada yang mengganjal ketika saya habis-habisan memuji pantai Mandel sebagai hidden paradise literally, tapi sebuah mobil pick up di belakang saya tengah diisi dengan pasirnya yang putih cantik itu oleh beberapa orang.

Namanya Pantai Mandel, letaknya sekitar satu jam lebih dari Salakan, tersembunyi di balik hutan kecil di pinggir jalan. Begitu memasuki area pantainya, saya terperangah. Sudah banyak pantai yang saya kunjungi, tapi yang satu ini membuat saya langsung jatuh cinta dengan seketika. Pasirnya sangat lembut, bahkan sampai membuat saya kesusahan berjalan di atasnya. Lautnya biru berkilau dan di sisi kanan pantai dikelilingi oleh karang yang tinggi. Ketika saya naik ke atas karang, saya kembali terpana melihat ombak tinggi yang menerpa karang. Ada semacam cekungan di antara karang itu yang membuat setiap ombak yang datang langsung terhempas dengan tinggi, persis di depan saya. Mendadak saya tidak perduli lagi dengan sengatan sinar matahari. Saya hanya berdiri diam di atas karang memandangi si cantik tersembunyi itu. Siapapun nanti yang akan ke Salakan, berkunjunglah kesini dan lihatlah apa yang saya lihat.



Dan mendadak Eropa menjadi tidak menarik lagi.

Melewati sebuah kampung, seorang anak kecil yang berdiri di halaman rumahnya berteriak menyapa kami. Wajahnya tersenyum senang dan dia tidak memakai celana. Saya balas menyapanya, merasa senang telah disapa dengan begitu semangatnya oleh seorang anak kecil yang bahkan tidak mengenal siapa orang yang dia sapa. Ya, Eropa mendadak tidak menarik lagi. Masih banyak tempat ‘di dalam diri’ saya yang belum saya kunjungi. Saya belum begitu mengenal siapa ‘diri saya’. Bahwa kita tidak akan menjadi lebih kecil atau menjadi lebih besar jika kita mengunjungi suatu tempat. Eropa tidak akan membuat saya merasa kecil, pun desa-desa terjauh yang hanya saya tau namanya dari alamat nasabah di KTP tidak akan membuat saya merasa besar. Kita akan tetap menjadi kita, dengan pemahaman yang lebih baik dan perspektif yang lebih luas. Saya sangat ingin melihat anak-anak seperti itu lagi di tempat yang berbeda, di dalam ‘diri saya’.

Travelling isn’t about the new place. It’s about the new perspective.


Di hari kepulangan, dapat kabar kalau tidak ada kapal dari Salakan yang akan berangkat ke Luwuk padahal besok saya sudah harus masuk kerja. Ada alternatif kapal feri yang berangkat jam 9 malam tapi sampai di Luwuk jam 4 pagi (yang artinya saya akan sempoyongan di kantor pada pagi harinya). Tapi kami dapat kabar lagi akan ada kapal dari Banggai ke Luwuk yang singgah sebentar di Salakan. Karena kapalnya hanya ‘singgah’, jadi begitu kapalnya merapat di dermaga kami harus langsung naik. Benar-benar pengalaman pertama saya.

Well, going home isn’t mean the journey is over.
Di atas kapal, seorang kakek menyapa. Kakek itu pergi ke Luwuk untuk menemui anaknya. Meski sudah berusia 73 tahun beliau masih tampak kuat. Akhirnya kami berdua mulai mengobrol hal-hal yang terjadi di jaman ketika beliau masih muda dulu. Soal Sekolah Rakyat yang alat tulisnya masih menggunakan papan tulis kecil dan batu tulis sebagai pengganti buku – yang setelah pelajaran selesai maka tulisan pelajaran itu harus dihapus. Soal peristiwa pembebasan Irian Barat yang armadanya sempat singgah di Salakan dan dipimpin oleh Pak Soeharto. Soal peresmian tugu Trikora tahun 1995. Soal pemberontakan G30S. Soal anggota PKI yang banyak di daerah-saya-lupa-maap! Soal surat keterangan tidak terlibat PKI dari Dandim, soal anggota PKI yang banyak ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara di Luwuk sampai soal jumlah propinsi di sulawesi. Haha. Menyenangkan bisa bercakap-cakap dengan orang dari masa lampau. Saya pikir mereka beruntung sempat mencicipi dua dunia yang berbeda. Ahya, kakek itu hanya setahun lebih muda dari Pierre Tendean yang lahir tahun 1939 *abaikan*


Tak lama kemudian mulai terlihat lampu-lampu berkelap-kelip di ujung batas pandang sana. Luwuk sudah dekat! Saya melirik jam, baru jam 9 malam. Saya dan Sita sudah bersemangat, antara lelah, kelaparan, dan pingin mandi. Kami berdiri di anjungan kapal sambil memandangi kelap-kelip lampu yang berkerumun di kejauhan. Ngobrol-ngobrol soal cuci gudang akhir tahun dan diskon 50% ditambah 20% lagi sampai soal orang-yang-bisa-hidup-kalo-dilepas-di-hutan (haha...you-know-what-I-mean, Sita). Tapi ternyata kapalnya belum sampai-sampai juga. Ukuran lampu-lampunya juga gitu-gitu aja dari tadi. Sejam sudah lewat, belum juga sampai. Ternyata pandangan di lautan memang benar-benar menipu. Pukul 11 barulah kapal merapat di dermaga padahal kami sudah berdiri dengan semangat di anjungan -____-“

“One’s destination is never a place, but a new way of seeing things.” – Henry Miller

16.14 PM

Kamar

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor