Serendipity Day
"Kebetulan saja gambar kamar hotelnya keren. Murah lagi"
"Hey, kamu sendiri yang selalu bilang tidak ada yang namanya
kebetulan di dunia ini, nona! Kamu pasti pilih hotel itu karena namanya sama
dengan..."
"Iyaa...iya. Itu juga salah satu alasan aku memilih hotel
itu. Tidak apa kan? Siapa tau disana ketemu dengan beatle mania keren.
Hihi"
Tania menepuk jidatnya.
Kalian percaya kebetulan? Aku tidak. Tidak kebetulan saat
melihat-lihat hotel di Phuket, aku akhirnya menjatuhkan pilihan pada hotel itu
tanpa membaca review dari pengunjung yang mungkin bisa saja mengubah pikiranku.
Tidak kebetulan aku memesan kamar dan paket tur ke phi phi di hari yang sama
dengan seseorang yang berjarak ribuan kilometer dari tempatku. Sama sekali tidak
ada yang namanya kebetulan.
***
Kalau saja kami ke terminal bus naik BTS, hingga tidak harus
terjebak macet selama 3 jam, mungkin kami tidak akan telat dan terpaksa naik
bus dari Bangkok ke Phuket paling akhir. Dan mungkin aku tidak akan satu bus
dengan setengah lusin pria-pria yang amat berisik. Salah satu dari mereka
mengucapkan salam kepada kami ketika kami naik ke atas bus dengan ngos-ngosan
karena baru saja berlari-lari di dalam stasiun menuju satu-satunya loket
penjualan tiket yang masih buka.
Tania melengos, langsung mengambil tempat duduk sementara aku
berhenti sejenak dan menjawab salam mereka. Mau tidak mau tetap harus aku jawab,
kan, meski – mungkin saja – mereka Cuma iseng. “Wa’alaikumsalam” jawabku pelan
dan langsung menyusul Tania.
Sayangnya setengah lusin pria-pria itu ternyata duduk di belakang
dan samping kursi kami dan mereka terus saja berceloteh dengan bahasa Melayu
campur Inggris dan terkadang bahasa Mandarin. Salah satu dari mereka tak
henti-hentinya tersenyum ramah dan memandang kami berdua. Aku bengong. Mereka
itu ngomong apa sih?
“Nak kemane?” tanya salah seorang dari mereka yang sejak tadi
tersenyum sambil memandangi kami.
“Phuket” jawab Tania cuek sambil terus mengutak-atik
smartphone-nya.
“Oh, we have the same destination” sambungnya dengan bahasa
Inggris. Setelah itu dia kembali bercakap-cakap dengan temannya memakai bahasa
Mandarin. Apa mereka tidak punya satu bahasa nasional saja?
Aku duduk menyandarkan diri sambil memandangi kaca jendela bus
yang berembun. Hujan deras telah mengguyur sejak kami naik ke bus tadi. Dari
kaca jendela aku bisa melihat bayangan seorang pria yang duduk di seberang
kursi kami. Sejak tadi, tidak seperti teman-temannya yang lain, dia hanya diam
menyimak percakapan teman-temannya yang sepertinya seru. Dia mengenakan
kacamata berbingkai hitam, jaket coklat yang dikancingkan hingga menyentuh
dagu, potongan rambut pendek sedikit berantakan dengan kulit kecoklatan.
Sesekali dia tersenyum menanggapi celotehan teman-temannya yang duduk di kursi
belakang kami.
Aku tersentak ketika bayangannya di jendela tiba-tiba memandangi
bayanganku. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku pada telepon genggam yang aku
pegang sejak tadi. Ah, sial. Dia pasti memergoki aku yang sedang
memerhatikannya dari kaca jendela bus. Tadi aku tidak sengaja melihatnya hingga
terlalu asyik mencoba membaca karakternya. Dengan sangat malu aku menutupkan
ujung kerudungku ke wajah. Bus mulai berjalan perlahan membelah jalanan kota
Bangkok yang basah. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Jam 1 malam, bus berhenti di sebuah deretan tempat makan yang
ramai. Banyak bus lain yang juga singgah. Beberapa penumpang bus pun turun
menuju warung-warung makan yang berjejer, mengingatkan aku pada bus antar
propinsi yang sering aku tumpangi di Indonesia. Tania tertidur pulas, jadi aku
tak mencoba membangunkannya dan memutuskan untuk turun sebentar melihat-lihat
makanan apa yang mereka jual meski aku tidak bernafsu untuk makan. Di pintu bus
aku berpapasan dengan pria berkacamata itu. Dia tersenyum. “Wanna buy some
food?” tanyanya.
Aku menggeleng “just walking around. I just wanna take a look what
kind of food they had” jawabku dengan bahasa Inggris yang kaku dan nada suara
yang juga kaku.
“Let’s go together” ajaknya. Dia memasukkan kedua tangannya ke
saku jaket dan mulai berjalan perlahan. Aku hanya diam mematung. “Come on”
ajaknya lagi ketika melihat aku hanya diam saja.
Aku melihat ke dalam bus, semua teman-temannya tampak tertidur
pulas. Aku hanya tidak suka jika teman-temannya yang berisik itu tiba-tiba ikut
menghampiriku. Akhirnya aku mengangguk dan berjalan mengikutinya.
“Where are you from?” tanyanya ketika kami melewati meja-meja
penjual makanan. “First time I saw you I though you’re from China. I heard that
there are a lot of muslims there.”
Aku tertawa “You’re totally wrong. I’m from Indonesia”
“Ohh...Indonesia? Bali?” serunya.
“Kenapa sih setiap kali bilang kalau aku dari Indonesia semua
orang langsung mengatakan Bali?” kataku spontan karena agak kesal harus selalu
dikaitkan dengan Bali.
“Tentu saja. Aku pernah kesana” jawabnya.
“Eh, kau bisa bahasa Indonesia?” tanyaku kaget.
“I can speak Melayu and a lil bit of bahasa” dia tersenyum “mau
beli sesuatu di minimarket?” kami berdua berhenti di depan minimarket.
“Iya. Aku ingin beli susu dan biskuit”
“Wait there, I’ll buy it for you” dia menunjuk kursi dan meja
bulat yang berjejer di depan minimarket.
“No, I can buy it my self” aku menolak, mengikutinya hingga ke
pintu minimarket.
“I treat you. Just sit up there, you look tired. Look those panda
eyes” dia melirik mataku, menahan tawa, setelah itu menghilang di balik pintu
minimarket yang berbunyi saat dibuka. Dia sudah mentraktirku padahal kami
bahkan belum saling menanyakan nama.
Sebotol susu dan sekotak biskuit diletakkan di depanku “makan.
Kamu sepertinya terlalu lelah.” Dia membuka tutup botol susu dan merobek
plastik pembungkus biskuit. Aku meraih botol susu dari tangannya dan mengambil
sekeping biskuit gandum kemudian mulai menggigitnya perlahan.
“So, where are you from?” tanyaku.
“Singapore” jawabnya “They are my office mates” dia mengerling ke
arah bus “we’re on holiday”
“Ahya, aku lupa menanyakan padamu. Siapa nama...”
Tiba-tiba bunyi klakson bus mengagetkan kami.
“Bus kita mau berangkat” seruku panik dan langsung cepat-cepat
menenggak susu yang ada di tanganku. “Ayo, cepat” kataku padanya. Aku menarik
lengan jaketnya, memaksanya berdiri dan mengikuti berlari menuju bus yang sudah
menyalakan mesinnya itu.
“The driver knows us here. He won’t leave” dia mencoba menenangkan
ketika aku masih terus menarik lengan jaketnya dengan setengah berlari. Tapi
sepertinya dia benar, bus itu sama sekali belum bergerak meski kami berdua
sudah berada di dalam. Dia tertawa, sepertinya menertawakan kepanikanku tadi.
Aku menyembunyikan wajahku dengan selimut yang disediakan oleh bus,
berpura-pura tidak melihatnya yang sedang tertawa.
***
Phuket. Tertulis besar-besar begitu bus yang aku tumpangi dari
Bangkok mulai memasuki kota yang tersohor sebagai Bali-nya Thailand ini. Aku
menegakkan punggung, merapikan jilbab yang sedikit kusut, dan menggoyang bahu
Tania yang masih tertidur pulas di sampingku. Dia pasti sangat kelelahan
setelah 13 jam duduk dalam bus, setelah drama pengejaran yang menegangkan itu.
"Sudah sampai" bisikku pada Tania.
“Sudah sampai Phuket ya? Mana? Mana tulisan Phuketnya?” tanya
Tania, memandang ke luar jendela dan yang dia dapati hanya huruf-huruf Thailand
yang melilit-lilit itu.
“Tadi, pas baru masuk Phuket” kataku, mengambil ransel yang
tergeletak di kaki kemudian beranjak dari kursi bus.
“So, we split up here” kata pria yang sejak semalam selalu
tersenyum kepada kami itu.
“Yeah, I do hope” kata Tania pelan yang langsung kusambut dengan
cubitan di lengannya. Pria berkacamata itu berdiri di belakang, nampak sibuk
mengancingkan backpack-nya.
“Goodbye then” kata si pria penuh senyuman itu. Dia melambaikan
tangan kepada kami disusul teman-temannya yang lain kecuali si kacamata bingkai
hitam. Setelah itu mereka semua naik ke atas truk berwarna pink yang
dimodifikasi menjadi truk penumpang yang membawa mereka entah kemana.
Aku lupa menanyakan nama si kacamata. Lagi.
***
Kami berdua masuk ke warung makan muslim yang ada di terminal
sebelum melanjutkan perjalanan ke Patong. Hari sudah siang dan perutku sudah
melilit kelaparan meski semalam sempat mengunyah sekeping biskuit yang
dibelikan si kacamata.
“Yang pake kacamata itu, keren orangnya” kata Tania sambil
menghirup kuah sup mie ayam miliknya.
“Yang mana?” tanyaku pura-pura tidak tau.
“Itu, yang pendiam itu. Aku tidak suka sama teman-temannya yang
lain, berisik. Tapi dia kayanya pendiam, tidak pernah ikut ngobrol sama
teman-temannya”
“Ooh...” aku acuh tak acuh, melahap sup mie punyaku yang baru saja
aku bumbui dengan segala bumbu yang disediakan di atas meja entah apa. Ternyata
Tania juga memperhatikan si kacamata, bukan hanya aku.
“Mirip Afgan. Hihi...” Tania tertawa dengan ucapannya sendiri.
“Tidak ah” sanggahku. Menurutku dia sama sekali tidak mirip dengan
penyanyi bernama Afgan itu. Tapi iya, dia memang menonjol dibanding
teman-temannya yang lain. “Cepat makannya. Aku sudah capek, pingin langsung
tiduran di hotel”
“Iya...iya” sahut Tania.
***
“Kenapa
harus di Patong sih milih hotelnya?” tanya Tania yang protes karena sejak tadi
taksi yang kami tumpangi Cuma berputar-putar di Patong dan belum menemukan
lokasi hotel Abbey Road. Bapak supir taksi kami sama sekali tidak bisa
berbahasa Inggris dan beliau tidak tau dimana letak Nanai road.
“Kata
Oom Google sih kalo di Phuket yang rame itu ya di Patong”
“Tapi
kita kan mau ke Phi Phi”
“Pokoknya
semua rekomendasinya ke Patong” kataku tak mau salah padahal kepalaku sudah
pening sejak tadi hanya mutar-mutar di jalan yang sama.
Tiba-tiba
taksi berhenti. Aku dan Tania saling berpandangan. Si bapak supir mulai berceloteh
dengan bahasa Thailand yang sama sekali tidak kami mengerti kecuali imbuhan
‘khab’ yang diucapkan berulang kali. Sampai kemudian bapak itu berhenti bicara
dan menunjuk sebuah cafe yang di depannya tergantung papan gambar jalanan yang
menjadi cover album The Beatles. Abbey Road Hotel. Aku dan Tania langsung
saling berpelukan. Akhirnya...
Resepsionis
sekaligus pemilik hotel adalah seorang pria muda berwajah oriental yang
mengingatkan aku pada aktor-aktor yang sering aku lihat di film-film mandarin
tapi aku lupa siapa namanya. Menurutku dia pria yang cukup ajaib. Dia orang
Thailand, berwajah mandarin, dan bernama Kim. Mana ada orang Thailand namanya
Kim??? Selain itu dia masih cukup muda untuk memiliki sebuah hotel plus cafe di
lantai dasarnya. Dan yang lebih ajaib lagi, dia bisa bahasa Melayu. Kim
melayani dengan sangat ramah dan enerjik.
“Kamar
kalian di lantai 3” kataya setelah memberikan sebuah kunci “dan maaf, dua kamar
di sebelah kalian akan sedikit lebih berisik karena dihuni oleh beberapa pemuda
dari Singapura”
Singapura?
Aku dan Tania saling berpandangan. Jangan-jangan...
“Assalamu’alaikum”
sebuah suara yang tak asing lagi terdengar dari arah punggung kami. Si pria
bertampang bollywood yang selalu penuh senyum itu telah berdiri di belakang
kami.
***
Jadi
namanya Zen. Dia membantu kami mengangkat backpack kami hingga ke atas.
Kebetulan kamarnya juga di lantai 3 katanya. Tepat seperti dugaan kami, dua
dari tiga kamar yang ada di lantai tiga dihuni oleh Zen dan teman-temannya.
Sisa satu kamar lagi akan dihuni oleh aku dan Tania.
“Masih
mau menyebutnya kebetulan?” gumamku pada diri sendiri ketika Zen berlalu sambil
tersenyum dan melambaikan tangan. Aku menghempaskan diri di atas kasur kemudian
tertidur pulas.
“Mau
kemana?” tanya Tania yang baru bangun ketika melihatku berdiri di depan cermin
mengenakan kerudungku.
“Mau
nyari makan. Sudah malam nih, laper. Yuk”
Tania
mengucek matanya dan menggaruk kepalanya. “Sebentar, aku cuci muka dulu”
katanya lantas beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi.
Di
depan pintu kamar kami berpapasan dengan si kacamata yang juga baru keluar dari
kamarnya.
“Hi”
sapanya “mau kemana?”
“Makan”
jawab Tania.
“Dimana?”
Aku
dan Tania saling berpandangan kemudian menggeleng tidak tau.
“Ikut
saja dengan kami. Kami pergi makan di Jungceylon” ajaknya. Aku dan Tania saling
memberi isyarat apa pergi atau tidak. Tapi tak lama kemudian terdengar bunyi
perutku dan Tania yang keroncongan. Dia tertawa.
“Okay.
We’re in” kata Tania yang langsung berlari ke arah tangga.
***
Zen
dan ke empat temannya sibuk menggoda Tania ketika sedang berjalan menuju mall
Jungceylon. Tania yang awalnya tidak begitu menyukai mereka mulai terlihat
akrab. Aku masih sedikit menjaga jarak karena tidak begitu suka dengan
orang-orang yang berisik, apalagi yang belum begitu aku kenal. Aku dan si
kacamata berjalan di belakang mereka.
“I
forgot to ask you. What’s your name?” tanyaku sambil mengedarkan pandanganku
pada suasana malam hari di jalanan Patong. Restoran, cafe, bar, minimarket dan
penjual tradisional saling bertumpuk di tepi jalan membuat jalanan sempit ini
menjadi begitu ramai.
“I’m
Rayyan. My friends called me Ryan” dia terkekeh “you know...Raien”
Aku
ikut tertawa.
“And
you? What’s yours?”
“I’m
Hujan”
“Hujan?
Rain?” tanyanya sedikit heran.
Aku
mengangguk “iya, namaku Hujan. Jangan tertawa, itu nama pemberian kakekku”
Tapi
Rayyan malah tertawa. “Aku Brunei yang lahir di Singapura. Kedua orang tuaku
dari Brunei tapi aku sendiri belum pernah kesana. Lucu ya?”
Aku
mengangguk “a Bruneian who have never seen Brunei” candaku.
“And
you... you’re a chinese girl who have never seen China” balasnya.
“Hey,
I’m pure Indonesia” protesku “my parents are Indonesian and I was born in it.
I’m one hundred percent Indonesian”
“But
your narrow eyes, pale skin... you’re a chinese with no doubt. I have a lot of
friends like you and they are all chinese.” Rayyan masih ngotot.
“And
I have a lot of friends like you too. Dark skin, dark hair, that dark frame.
They’re all Indonesian and I never call you Indonesian.”
Rayyan
tertawa “haha...okay. enough. So, how long will you stay here?”
“Two
days” jawabku sambil melirik topi lebar yang dipajang di tepi jalan.
“Only
two days?” mata Rayyan terbelalak “you came so far and only for two days? You
must be kidding”
Aku
berhenti menghampiri penjual topi, melihat sebuah topi lebar berwarna putih
dengan hiasan bunga di sisinya. Cantik sekali. “How much is this?” tanyaku pada
seorang pria gondrong yang sedang duduk membaca koran di sisi jualannya.
“One
hundred baht” jawab pria itu sambil meletakkan korannya.
“Eighty
baht?” tanyaku, memegangi topi lebar berwarna putih itu.
“No...no...one
hundred baht” pria penjual topi menggeleng
“Oh,
come on, eighty baht ya?”
Dia
masih menggeleng. Tiba-tiba dari sisiku Rayyan telah menyerahkan uang 100 baht
kepada si penjual yang langsung diterimanya dengan senang hati. “Karpkun khab
mister” ucapnya.
“Hey,
you don’t need to pay. I’ll pay it my self” kataku yang melihat Rayyan
memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku.
“And
I have to wait you only to hear you figth to the seller because of twenty
baht?”
Duh.
Belum tau dia budaya tawar menawar orang Indonesia yang kalau perlu sampai ke
akar-akarnya. “But...”
“That’s
for you. My gift” potongnya kemudian berjalan meninggalkan aku.
“Thank
you then” seruku yang langsung berjalan cepat menyusulnya.
***
Kami
berdelapan memutuskan makan di McD, tempat makan yang paling awal kami temukan
saat masuk ke area Jungceylon. Aku memesan French fries jumbo juga milo tapi
diprotes oleh Rayyan.
“Give
her a cheese burger” ucap Rayyan kepada pelayan.
“I
don’t like burger” kataku “french fries jumbo. It’s enough for me”
“No...no.
you have to eat burger. It’s better than your french ‘nothing’fries”
“Burger
is nothing too. Everything here is a junk food” kataku kepada Rayyan yang
disambut lirikan kesal dari pelayan McD. Sementara Tania dan lainnya hanya
tertawa mendengar perdebatan kami.
“Stop
fighting and let’s eat. I’m hungry to the max” lerai Tommi, seorang pria
berwajah melayu yang paling cerewet di antara mereka berenam.
Meskipun
mengunyah burger dengan wajah cemberut, tapi aku mengakui kalau Rayyan benar.
Burger keju ini membuatku merasa lebih kenyang daripada hanya mengunyah kentang
goreng untuk makan malam. Apalagi sejak di Thailand aku sama sekali belum
sempat bertemu dengan nasi.
Pulang
ke hotel kami kembali berjalan kaki. Kali ini Rayyan bergabung dengan
teman-temannya. Zen menghampiriku ketika melihat aku hanya berjalan sendirian
di belakang.
“Ryan
memang cerewet kalau bicara soal kesehatan” katanya.
Aku
memandangi Zen “kamu juga bisa bahasa Indonesia ya? Apa kalian memang harus menguasai
minimal 5 bahasa?” tanyaku setengah kesal karena lelah mendengar mereka
berbicara berganti-ganti bahasa.
Zen
tertawa “aku pernah bekerja di perbatasan Indonesia-Singapura selama 2 tahun
sebelum melanjutkan kuliah. Makanya aku bisa bahasa Indonesia.”
“Dan
Rayyan? Dia juga bisa bahasa Indonesia. Apa dia juga bekerja di perbatasan?”
“Tidak.
Tugas Ryan di kantor memang mengharuskan dia fasih berbahasa Indonesia” Zen
tersenyum “kamu marah sama Ryan?”
“Tidak
kok” jawabku kemudian memandangi punggung Rayyan “tapi sepertinya dia yang
kesal padaku”
“Ryan
tidak akan kesal sama cewek kalau cewek itu tidak cukup penting buatnya”
“Maksudmu?”
“Kalian
berdua sepertinya akan cocok” Zen tertawa kemudian berlari meninggalkan aku
menyusul teman-temannya yang ada di depan bersama Tania.
Masa sih... batinku.
Kupandangi topi yang dibelikan Rayyan untukku tadi dan tanpa sadar aku tersenyum simpul. Buru-buru aku membuang pikiran itu jauh-jauh dengan mengibas-ngibaskan
kepalaku. Tapi kemudian aku kembali berjalan dengan menggenggam topi hadiah
dari Rayyan dengan erat.
***
Jam
7 pagi, aku dan Tania telah duduk di lobbi hotel menanti jemputan yang akan
membawa kami ke pulau Phi Phi. Hari ini Kim mengenakan kemeja kotak-kotak yang
lengannya digulung hingga ke siku. Dia tampak sibuk menelepon sambil sesekali
tersenyum ke arah kami. Mendadak dari arah tangga terdengar ribut-ribut langkah
kaki terburu-buru.
Yang
pertama muncul adalah Zen, disusul Tommi, berturut-turut Andrew, Bob, Ahsan dan
Rayyan paling akhir. Mereka semua tampak sudah siap untuk berenang. Bahkan
Tommi hanya memakai celana pendek tanpa baju, memanggul sebuah ransel. Aku dan
Tania nyengir melihat kostum Tommi. Rayyan mengenakan kaos tanpa lengan
berwarna biru. Sebuah tas kecil tersampir di bahunya. Warna bajunya senada dengan
warna jilbabku. Tania menyenggol bahuku.
“Ada
yang jodoh nih” bisik Tania jahil.
Rupanya
mereka juga memesan paket tur ke pulau Phi Phi yang sama dengan yang kami
pesan.
Rayyan
menghampiriku “bisa kita ngobrol-ngobrol seharian ini?” tanyanya.
“Err...”
“Maksudku
bukan hanya kita berdua saja” dia melanjutkan buru-buru “kita tetap bersama-sama
dengan yang lain. Aku hanya ingin kita saling bercerita seharian ini. Besok kau
akan pulang kan?”
Aku
mengangguk. Anggukan untuk ya-besok-aku-akan-pulang. Tapi Rayyan sepertinya
menganggap anggukan kepalaku sebagai ya-mari-kita-ngobrol-seharian. Tapi ah
sudahlah. Lagipula dia fasih berbahasa Indonesia.
Kami
semua naik ke mobil van dan Rayyan duduk di seberang kursiku.
“Aku
suka bepergian, melihat tempat baru, bertemu orang baru, mengenal hal-hal baru”
Rayyan berbicara sambil menikmati pemandangan dari balik jendela van yang
sengaja dia buka lebar-lebar.
“Tadinya
aku tidak akan kesini tahun ini. Aku membeli tiket untuk April tahun depan tapi
mendadak penerbangannya dibatalkan dan kami harus menjadwal ulang travelling
kami” aku tertawa, membayangkan apa jika aku kesini pada April tahun depan aku
akan bertemu Rayyan dengan teman-temannya atau tidak. Bukan kebetulan
penerbangan kami dibatalkan dan membawaku hingga ke Patong pada bulan Nopember
ini.
“Tidak
ada yang namanya kebetulan” dia mengulang kalimat yang sering aku ucapkan.
“Teori
Harun Yahya?” ucapku.
“Master
Oogway?” balasnya. Lantas kami berdua tertawa.
“Awalnya
aku berpikir bepergian hanya untuk bersenang-senang. Hanya untuk berlibur,
menikmati tempat yang sering dinikmati banyak orang...dan aku salah. Bepergian
lebih dari sekedar berwisata. Kau tau, setiap kali aku pulang dari satu tempat,
aku selalu punya satu cerita dan beberapa pelajaran hidup. Beberapa hikmah dan
beberapa pemahaman. Bagiku semua itu jauh lebih penting dibanding tempat keren
yang aku kunjungi. Ya...meskipun aku tak menyangkal keindahan tempat itu juga
yang menarik aku untuk mendatanginya” aku memutar-mutar topi di tanganku.
“Bepergian
untuk menemukan bahkan ketika tidak menemukan apapun kita tetap menemukan”
Rayyan menimpali “aku juga berpikir sepertimu sebelumnya, bukan tentang
berlibur, tapi tentang pelajaran hidup. Tentang hikmah dan pemahaman. Tapi
sekarang, aku tau aku selalu punya satu misi khusus ketika bepergian.”
“Apa
itu?” mataku melotot.
“Tentang
masa depan, aku selalu berharap menemukannya terselip di salah satu lembaran
catatan bepergianku” dia tersenyum.
“Dan
kau sudah menemukan masa depanmu itu?” selidikku.
Dia
mengangkat bahu “entahlah...”
“Aku
ingin, di setiap lembar catatan perjalananku, akan ada cerita tentang menjadi
dewasa. Tentang menjadi orang yang berbeda dengan aku yang sekarang.”
“Kau
tau kan, tidak selamanya berubah itu baik?”
“Iya,
kecuali menjadi lebih baik”
Rayyan tertawa mendengar tanggapanku. “Tak apa jika kau pada akhirnya berubah.
Berubah atau tidak semuanya bukan karena perjalanan ini, tapi bagaimana
perjalanan ini membentuk pola pikir kita”
“Bagaimana
kalau kamu salah?” tanyaku tiba-tiba “bagaimana kalau ternyata kau salah dengan
masa depanmu? Bagaimana kalau ternyata dia tidak berada jauh dari tempatmu dan
selama ini kau hanya bepergian dengan sia-sia? Aku hanya berpikir, apa yang
sedang kita cari dari meninggalkan semuanya di tempat asal kita? Bukankah masa
depan itu pasti akan datang dengan sendirinya?”
Rayyan
menatap mataku dengan serius “dengarkan aku, bagiku akan lebih berkesan jika
aku mendapatkan sesuatu dengan kerja kerasku daripada aku mendapatkan sesuatu
yang datang dengan sendirinya meskipun hal itu memang telah ditakdirkan
untukku. Aku ingin memperoleh takdirku dengan cara yang berbeda, dengan
memperjuangkannya lebih dulu” dia tersenyum dan aku semakin yakin kalau dia
sama sekali tidak mirip Afgan. Rayyan terlihat lebih dewasa.
Van
yang kami tumpangi berhenti di tempat parkir pelabuhan. Supir van meminta kami
antri di loket check in untuk mendapat stiker sebagai penanda kalau kami
penumpang kapal yang akan ikut tur seharian. Kami bertujuh antri sementara
Andrew pergi membelikan kami minuman.
“Dan
ada berapa banyak hal yang kau perjuangkan kemudian gagal?” aku memandangi dua
orang pria yang bertugas di loket. Salah satunya mencatat di buku dan satunya
lagi membagikan stiker kepada para penumpang. Stiker hijau untuk peserta tur
dan stiker kuning untuk yang hanya menumpang sampai phi phi.
“Ada
banyak. Tapi tak masalah, paling tidak aku tau hal itu memang tidak ditakdirkan
untukku dan paling tidak aku sudah memperjuangkannya. Regret nothing.”
Aku
menggedikkan bahu “aku terlalu lelah bahkan untuk berpikir memperjuangkannya”.
Kami bergerak maju, berhenti di depan dua orang pria itu. Rayyan menyerahkan
lembaran bukti booking milik kami dan kemudian kami berdua diberi stiker
berwarna hijau.
“Ayo”
Rayyan mengajakku naik ke atas kapal.
Di
atas kapal kami memilih duduk di dek paling atas yang terbuka. Cuaca mendung,
awan kelabu menyelimuti langit Phuket pagi ini. Dia langsung berbaring di atas
dek dan menjadikan kedua lengannya sebagai bantal, memejamkan matanya yang
silau.
“Nih”
aku menyerahkan kacamata hitamku “pakai saja dulu ini”
“Terima
kasih” dia membuka kacamatanya kemudian memakai kacamata hitam milikku “semalam
aku tidak bisa tidur. Teman-temanku main game di kamar semalam suntuk”
Aku
kemudian memakai topi lebar pemberiannya “terima kasih topinya” kataku,
tertawa. Dia juga tertawa.
Tak
berapa lama dek atas telah terisi penuh. Tania, Zen dan yang lain mulai
berisik, sibuk mengambil gambar dan mengajak bicara para turis yang ada di
dekat mereka. Kapal pun mulai bergerak meninggalkan pelabuhan.
“Aku
pernah ke Bali. Ketika aku mengatakan Indonesia, aku langsung teringat Bali”
ucap Rayyan. “Tempat itu sangat indah. Kalau sempat aku ingin kesana lagi
nanti”
“Couldn’t
agree more” aku menahan topiku karena angin berhembus sangat kencang “don’t
talk about heaven if you never been Bali”
“And
don’t talk about angel if you never met Hujan”
“Hey!
You tempt on me! How dare you!”
Rayyan
tertawa. “Maaf, tapi tiba-tiba saja terlintas di kepalaku”
“Jangan
lakukan itu lagi. Kalau tidak aku tidak mau lagi bicara padamu” ancamku.
“Baiklah...aku
minta maaf. Tapi apa kau tidak pernah digoda seperti itu sebelumnya?” Rayyan
kembali tertawa disusul timpukan topiku ke wajahnya.
“Aku
pernah mengenal seorang gadis Indonesia sebelumnya” ucap Rayyan ketika kami
sama-sama sudah kembali tenang “tapi dia tidak sepertimu. Kau jauh
lebih...hidup”
“Maksudmu?”
“Ya,
maksudku dia begitu pendiam, tidak bersemangat. Dia menuruti apa saja yang
diinginkan orang tuanya pada dirinya. Bahkan dia kembali ke Indonesia dan
memutuskan untuk menikah juga karena perintah orang tuanya. Aku berpikir
mungkin semua perempuan Indonesia sama sepertinya. Tidak bisa menentukan jalan
hidup mereka sendiri. Tidak bisa memilih siapa orang yang ingin mereka
nikahi...”
“Kau
salah” potongku “kita bisa memilih menentukan jalan hidup kita sendiri atau
memilih untuk dipilihkan jalan hidupnya. As simple as that. Perempuan itu, dia
lebih memilih menyerahkan kisahnya ditulis oleh orang lain. Kau harus
menghargai pilihannya. Bukan hanya perempuan Indonesia yang seperti itu, banyak
perempuan di seluruh dunia yang membiarkan kisahnya ditulis oleh orang lain...”
“Lalu
kau sendiri?”
“Aku
memillih menuliskannya sendiri. Aku berada disini pun karena aku ingin menulis
banyak hal-hal hebat yang telah aku lakukan.”
“Really?
Bukannya tadi kau baru bilang sudah terlalu lelah untuk berjuang?”
“Tidak
semua hal harus kita tulis sendiri kan?” aku tersenyum “ada hal-hal yang harus
kita biarkan ditulis oleh Tuhan, semua hal memang telah ditulis oleh Tuhan,
tapi kita sendiri yang memutuskan bagaimana kita menjalaninya. Dan ada hal-hal
yang tidak bisa aku jalani dengan cara yang aku inginkan.”
“Aku
juga berharap kau tak seperti dia...”
“Memangnya
siapa sih perempuan itu?”
“Hanya
seorang teman...”
“Kau
menyukainya?” tanyaku jahil.
“Sedikit”
jawab Rayyan pelan “tapi tak sebanyak aku menyukaimu” lanjutnya disusul tawa
kencang dan timpukan topi di wajahnya sekali lagi.
“Tidur
sana. Aku mau jalan-jalan dulu” aku berdiri meninggalkan Rayyan yang masih
tertawa sambil memegangi perutnya.
***
Tania
sudah bersiap meloncat ke atas laut untuk berenang. Setelah tiba di pelabuhan
Phi phi tadi kami ganti ke kapal yang lebih kecil yang mengantar kami ke spot
snorkle yang ada di pulau itu.
“Kau
yakin tidak mau berenang?” tanya Tania sambil mengenakan kaki kataknya.
Aku
menggeleng “yakin. Kepalaku masih pusing karena tadi jalan-jalan di atas kapal.
Aku duduk disini saja”
“Yasudah.
Aku berenang dulu yaa” Tania berjalan menuju tepi kapal kemudian langsung
meloncat ke dalam air. Satu persatu penumpang kapal mulai berloncatan ke air.
Tak ketinggalan Rayyan dan teman-temannya.
“Hujan...kamu
yakin Cuma duduk disitu saja?” teriak Rayyan dari air. Aku melongok ke bawah
dan mendapati mereka tengah berenang-renang di tepi kapal. Aku mengangguk.
“Kepalaku
pening. Mau baring saja disini” kataku sambil memperagakan orang yang hendak
tidur. Rayyan mengangkat jempolnya kemudian berenang menjauhi kapal.
Aku
tidak tau berapa lama aku tertidur. Ketika bangun kapal telah bergerak
menyusuri tebing-tebing batu tinggi yang sangat indah. Rayyan sudah berada di
sampingku entah sejak kapan dengan bajunya yang masih basah.
“Kau
bisa tertidur dimana saja ya?” dia memandang takjub padaku.
“Kepalaku
pening” kataku sambil bangkit dan duduk bersandar “dan yah, aku bisa tidur
dimana saja kalau aku benar-benar mengantuk”
“Nih”
Rayyan menyerahkan sepotong nanas kepadaku “makan ini biar segar”
“Terima
kasih” aku mengambil nanas itu dari tangan Rayyan “kita mau kemana?”
“Balik
ke phi phi, makan siang”
Untuk
sesaat kami berdua diam, hanya memandangi indahnya tebing-tebing tinggi di
pantai yang saling berdekatan nyaris membentuk gua. Yang terdengar hanya deru
kapal di atas air. Penumpang lainnya, termasuk si berisik Tommi pun hanya diam
memandangi keindahan alam di depan kami.
“Aku
ganti baju dulu” Rayyan berdiri meninggalkan aku ketika dermaga mulai terlihat.
Sampai
di phi phi, kami berjalan menuju restoran yang telah menyiapkan makan siang
untuk semua peserta tur.
“Aku
alergi seafood” ucap Rayyan ketika kami memasuki restoran yang ada tulisan
seafood besar-besar.
“Bisa
berenang kok alergi seafood”
“Ada
hubungannya ya?” Rayyan memasang tampang kesal “kita makan siang di tempat lain
saja. Tadi aku lihat ada restoran India di dekat dermaga. Ayo” dia langsung
berbalik pergi tanpa menunggu jawabanku. Terpaksa aku mengikutinya, berjalan di
belakang Rayyan.
Kami
berdua masuk ke dalam restoran dan disambut seorang bapak-bapak bertampang
bollywood. Rayyan memesan dua porsi ayam kari dengan nasi putih. “Kamu belum
makan nasi kan sejak kemarin?” begitu katanya.
Dia
makan dengan amat lahap di depanku. Menghabiskan dua porsi nasi dan dua porsi
ayam kari. Setelah itu dia memesan dua gelas es kelapa muda.
“Jam
berapa kau ke bandara besok pagi?”
“Jam
6” jawabku, masih sambil makan.
“Pagi
sekali. Bagaimana kalau aku ketiduran?”
Aku
berhenti makan dan memandanginya “kamu supir taksinya ya?”
Rayyan
tertawa “aku hanya ingin mengantarmu sampai naik taksi” jawabnya “atau sampai
ke bandara jika memungkinkan.”
“Tidak
perlu”
“Kenapa?”
“Ya
tidak perlu saja. Aku bisa ke bandara sendiri. Kim sudah memesankan taksi untuk
kami.”
“Ahya,
Kim. Dia selalu punya banyak koneksi untuk tamu-tamunya.”
“Kau
sudah sering menginap di Abbey Road?”
“Beberapa
kali. Ini yang ketiga kalinya aku kembali ke Patong.”
“Kenapa
harus Abbey Road?”
“Siapa
tau ketemu Beatle mania cantik disana. Haha...”
“Dan
kau sudah menemukannya?”
“Sudah.
Saat ini dia sedang makan siang denganku di phi phi, memakai topi yang aku
belikan meski sedang berada di dalam ruangan, dan aku minta maaf sudah
mematahkan kacamata hitamnya” Rayyan memasang tampang menyesal sambil mengeluarkan
kacamataku dari dalam tasnya.
Aku
tertawa “kacamata itu memang sudah hampir patah, milik ibuku. Aku hanya
meminjamnya.”
“Biar
aku belikan yang baru untuk ibumu”
“Tidak
perlu. Aku sudah membelikannya di Bangkok. Aku memang sengaja meminjamkanmu
kacamata yang nyaris patah itu. haha...”
Rayyan
cemberut.
***
“Setelah
kapal ini merapat di dermaga, kita akan kembali ke hotel, dan kau akan kembali
ke Indonesia besok pagi” ucap Rayyan. Kami berdua sudah kembali naik ke atas
kapal, kembali duduk di dek paling atas. Sebentar lagi matahari terbenam dan
kapal mulai bergerak kembali menuju Phuket. “Bagaimana setelahnya?”
“Apa
maksudmu bagaimana setelahnya?”
“Kau
akan kembali ke Indonesia, aku akan kembali ke Singapura. Kau akan sibuk dengan
pekerjaanmu dan aku akan sibuk dengan pekerjaanku. Menurutmu kita bisa bertemu
lagi dengan kondisi seperti itu?”
“Entahlah.
Kalau memang tertulis seperti itu kita pasti akan bertemu lagi. Tidak ada yang
kebetulan kan?”
“Harun
Yahya?”
“Master
Oogway?”
Kami
berdua sama-sama tertawa, memandangi bola merah besar itu tenggelam di garis
pandang. Kami tak lagi banyak bicara, sudah terlalu lelah. Hanya diam
memandangi lautan yang seperti tak ada ujungnya.
Dua
jam kemudian kapal merapat di dermaga, semua penumpang bergegas turun. Rayyan
meraih ranselku dan menyampirkannya di pundak. “Biar aku bawakan.” Kami berdua
berjalan dalam diam menuju van yang telah menjemput untuk membawa kami kembali
ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang kami pun masih tak saling bicara. Tania
dan lainnya tertidur di dalam van. Hanya aku dan Rayyan yang terjaga tapi hanya
diam memandangi jalanan di balik kaca jendela van yang bergerak perlahan.
Ini hanya bagian dari
catatan bepergianku. Dia tidak akan ada sampai di akhir lembaran hidup yang aku
tulis. Aku mencoba meyakinkan diriku. Tapi bayang Rayyan
muncul di kaca jendela yang tengah aku pandangi. Dia sedang memandang ke
arahku.
Rayyan
dan teman-temannya ternyata tidak turun di hotel, mereka minta diturunkan di
sebuah mall di Phuket. Ketika akan turun dia menyerahkan ransel milikku dan
berucap pelan, “aku akan menjumpaimu besok pagi sebelum ke bandara”. Tommi melambai
ke arah kami, aku hanya tersenyum membalas lambaiannya. Van kembali bergerak
pergi.
***
Aku
menyerahkan kunci kamar kepada Kim di meja resepsionis. “Check out” kataku. Kim
meraih kunci itu dan mulai mengetik sesuatu di komputer di hadapannya. “Okey,
you can wait your taxi there” Kim mempersilahkan kami duduk di sofa “He’ll come
about ten minutes”
Aku
dan Tania duduk sambil memandangi jalanan Patong yang lengang. Semua kafe, bar
dan restoran sudah tutup. Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat. Aku memandang
sekilas ke arah tangga. Sepertinya dia
memang tertidur.
Seperti
yang dikatakan Kim, sepuluh menit kemudian taksi kami tiba. Supir taksi
membantu kami memasukkan barang-barang kami ke bagasi mobil. Aku dan Tania
mengucapkan terima kasih banyak kepada Kim yang berdiri di depan lobbi sambil
melambai dan tersenyum ke arah kami. Sekali lagi aku memandang ke arah tangga. Tidak
ada tanda seseorang yang akan muncul tiba-tiba dari atas.
Aku
menutup pintu taksi dan bersandar di jok mobil.
“Tidak
pamitan sama Rayyan?” tanya Tania. Aku menggeleng. Tania kemudian meminta bapak
supir untuk menjalankan mobilnya.
Tapi
ketika mobil baru berjalan beberapa meter, aku melihat bayang seseorang yang
berlari dari lobbi hotel. Ah, aku benci harus melakukan hal ini. Tapi mau tidak
mau aku meminta taksi untuk berhenti kemudian aku keluar dari dalam taksi.
Rayyan
sudah berdiri dengan terengah-engah di belakang mobil kami. “Maaf, aku
benar-benar ketiduran. Aku sudah memasang alarm di semua teleponku tapi yang
lain langsung mematikannya begitu alarmnya bunyi.”
Aku
tersenyum “well, thanks for coming. I just want to say goodbye”
“Hello?”
sambung Rayyan
“Hello?”
tanyaku heran.
“Hello
Goodbye. You said goodbye, I said Hello” lanjut Rayyan. Dia tersenyum.
Aku
baru sadar kalau dia baru saja mengucapkan satu lirik lagu dari The Beatles.
“Boleh
aku minta alamat emailmu? Atau nomor teleponmu? Atau akun media sosialmu?”
Aku
menggeleng “sebaiknya tidak usah”
“Kenapa?”
“Aku
rasa tidak perlu. Cerita ini akan aku tulis sampai disini saja. Setelah itu
biarkan mengalir dengan sendirinya. Lagipula aku tidak suka menjadi terlalu
dekat dengan orang yang sebenarnya jauh. It’s terrible.”
“Bagaimana
kalau kita bertemu lagi?” usulnya cepat-cepat.
“Seperti
Before Sunrise?” aku tertawa
Rayyan
mengangguk “Ya, seperti Celine dan Jesse. Setahun...ah tidak, enam bulan lagi. Kita
bertemu disini, di Abbey Road hotel ini.”
“Hmm...aku
tidak yakin aku bisa kembali kesini dalam waktu 6 bulan...”
“Baiklah.
Setahun?”
“Entahlah...”
“Tapi
aku tidak ingin menunggu sembilan tahun seperti Before Sunset”
“Jika
kita mencari, kita akan menemukan. Tidak perlu menunggu selama sembilan tahun...”
“Apa
aku harus menulis buku seperti Jesse? Buku yang membawanya ke Paris? Buku yang
membuat Celine menemukannya?”
“Mungkin”
aku tertawa “atau mungkin kita bisa bertemu di Eropa? Aku sangat ingin kesana
nanti. Siapa tau kita akan bepergian dengan tanggal yang sama, bertemu di
negara yang sama, atau bahkan hotel yang sama seperti saat ini. Siapa yang tau?
Tidak ada yang namanya kebetulan kan?” aku melirik jam tanganku.
“Baiklah”
Rayyan tersenyum “Eropa. Aku pasti akan menemukanmu disana.”
“Deal”
kataku. “So, I’m saying goodbye now”
“Hello”
canda Rayyan “Hello Goodbye. It’s terrible...” dia tampak kecewa.
“Belive
me, if it’s meant to be, it will be. I’m happy to know you and I’ll write about
you later.”
“I’ll
search it in google” dia akhirnya tertawa “google understands”
“I’ll
go. We’ll miss our fligth”
“Goodbye
then”
Aku
berbalik masuk ke dalam taksi. Dia masih berdiri disana ketika taksi yang kami
tumpangi bergerak pergi.
Aku
sudah memikirkannya semalaman, untuk tidak berkomunikasi setelah kami kembali
ke negara masing-masing. Itu jauh lebih baik daripada membuat kisah yang
menarik ini menjadi hambar. Daripada memaksakan tulisan yang telah dibuat oleh
Tuhan dengan tulisan kami sendiri.
There are no accidents –
Master Oogway
Hidup dan nasib, bisa
tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya
adalah subsitem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima
kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi
karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan. – Harun Yahya
9.11
Kamar
Comments
Post a Comment