Cangkir Kopi Kedua

Adukan terakhir di gelas kopiku baru saja aku selesaikan. Dari sendok mungil yang aku angkat masih tersisa beberapa tetes yang enggan beranjak. Segerombolan gadis yang duduk dua meja di depanku tertawa, mengalihkan pandangan beberapa orang pria dari lawan bicara mereka. Pakaian mereka ketat seadanya dengan riasan wajah yang mencolok. Pantas saja semua pria di tempat ini menoleh begitu ada kesempatan atau mencuri-curi pandang ke arah gadis-gadis itu. Semua pria kecuali yang kini sedang duduk di hadapanku.

Aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku ke atas lantai ubin berwarna kelabu sembari memandang sekeliling kedai kopi yang seluruh mejanya penuh. Tepat di meja di depanku empat orang pria dengan asap mengepul di tengah-tengah mereka sedang bercakap-cakap seru. Entahlah tentang apa. Sepertinya mereka berempat, yang masih mengenakan kemeja rapi, bekerja di kantor yang sama. Bisa jadi mereka sedang membahas masalah pekerjaan atau bisa jadi mereka sedang membahas gerombolan gadis yang masih tertawa cekikikan itu.

Pria di depanku baru selesai mengaduk kopi di cangkir porselen berwarna hitam miliknya. Dia menyesap sedikit kemudian mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja. Jemari itu, untuk ukuran seorang pria, cukup lentik. Kuku-kukunya pun terawat rapi. Pada lengan sebelah kiri yang masih menimbulkan bunyi tuk tuk di atas meja melingkar arloji merk Tag Heuer berwarna keperakan. Entahlah arloji seri ke berapa dari produsen jam tangan mahal itu.

Di belakang mejaku duduk dua orang bapak-bapak tionghoa yang sejak kami datang tadi telah menghabiskan berbatang-batang rokok dan tak henti-henti mengepulkan asap ke udara, sama seperti gerombolan pria berkemeja di depanku sana. Aku dan pria di depanku ini tidak pernah nyaman dengan polusi udara. Tapi kami tidak punya pilihan. Kedai kopi memang selalu ramai di akhir pekan.

Aku kembali mengaduk, membuat pusaran kecil di kopi milikku sambil sesekali menggiring pandanganku ke arahnya. Pria di depanku, memang dia tidak terlihat lebih keren daripada gerombolan pria di depan sana dengan kemeja-kantoran mereka. Juga tidak terlihat lebih kaya daripada dua orang bapak-bapak tionghoa yang duduk di belakangku. Penampilannya sederhana bahkan cenderung biasa saja. Sedikit lebih rapi dari pria kebanyakan (aku suka bagian yang ini), dengan raut wajah yang juga sederhana tapi binar matanya itu, ada sesuatu di sana yang membuat pandanganku terkunci pada satu titik. Pada bola matanya yang hitam dan dalam.

Pekerjaannya biasa-biasa saja, tidak nyeni. Dia bukan penulis yang mampu menghipnotisku dengan kata-kata. Dia juga bukan seorang aktor yang mampu menghipnotis banyak wanita dengan ketampanannya. Dia tidak berasal dari keluarga terpandang, teman bergaulnya pun bisa aku hitung dengan jumlah jemariku yang kurus ini.

Lantas apa?

Bertahan duduk di depannya tanpa suara selama tiga puluh menit, menikmati diam yang mengungkungi kami. Menghidu aroma kopi, mengetuk-ngetuk permukaan meja, mengedarkan pandangan, sambil sesekali memandangi binar matanya. Semua itu membuatku bertahan untuk tidak beranjak kemana-mana. Bahkan sekedar mengecek telepon genggam milikku yang tergeletak di sisi cangkir kopi pun aku enggan.

Berapa lama lagi sampai salah satu dari kami akhirnya menyerah dan membuka percakapan yang seharusnya sejak awal telah terjadi?

Satu jam baru saja berlalu. Kopi di depanku telah tandas. Miliknya tinggal seperlima, ampas kopinya pun telah kelihatan. Tapi aku masih merasa nyaman untuk tidak mengusik keheningan kami. Tawa kembali pecah di meja gerombolan gadis di depan sana. Kepulan asap putih menari-nari di atas kepala kami.

Cangkir kopi kedua dihidangkan.

Rambutnya dipotong pendek, sempat membuatku menahan tawa ketika pertama kali melihat potongan rambutnya yang baru itu. Jika dibiarkan panjang rambutnya akan bergelung aneh di kepala, sedikit berbeda dengan rambut keriting kebanyakan orang. Mungkin itu yang membuat dia rutin memangkasnya setiap bulan. Tapi kali ini potongan rambutnya jauh lebih pendek daripada yang biasanya.

Dari tempatku duduk, aku bisa mencium aroma mint yang menguar dari baju kaos putih berkerah yang dikenakannya. Sebuah kaos dengan kantong di dada berlogo kecil warna hitam seorang pria yang naik di atas kuda dan memegang mallet. Tiga buah kancing berwarna kelabu berjejer rapi di bawah kerah bajunya. Dan dua buah garis tebal berwarna kelabu juga melingkar manis di lengan bajunya. Senada dengan sepatu kets yang dia kenakan. Warna kelabu gelap dengan dua buah garis berwarna putih dan tali sepatu berwarna merah.

Sudut bibirnya bergerak. Dia sepertinya sedang berusaha memulai untuk mengatakan sesuatu. Aku menunggu dengan diam, berdebar, dan tak sabar. Soal rasa berdebar-debar itu, sudah sejak tadi denyarnya tidak mau pindah. Sejak sejam yang lalu ketika dia menghampiriku dan duduk di depanku. Rasa berdebar-debar yang terus terang aku sukai. Aku suka bagaimana jantungku berdetak sedikit lebih cepat daripada biasanya. Memberi euforia yang asing namun indah. Sesuatu yang sulit aku jelaskan bagaimana bisa terjadi.

Seorang pria tiba-tiba menghampiri meja kami, menyapa dan menjabat tangannya. Dia tersenyum, balas menjabat tangan pria itu dengan erat. Mereka bercakap, sekedar menanyakan kabar dan hal-hal remeh lainnya. Aku tidak berminat ikut mendengarkan, hanya ingin melihat gesture tubuhnya, ekspresi wajahnya ketika dia tertawa menceritakan sesuatu, binar mata yang penuh antusias ketika pria itu bercerita tentang keluarga kecilnya. Dia yang diam dan dia yang sedang bercerita bagai dua orang yang berbeda, paling tidak di depanku. Ada terlalu banyak detil yang tidak sama ketika dia hanya diam mengaduk kopinya dibandingkan ketika dia bercerita dengan mimik yang konstan penuh penghargaan pada lawan bicaranya.

Pria itu kemudian berlalu. Teman SMA. Ucapnya. Hal pertama yang dia katakan padaku hari ini. Dia teman yang paling terakhir menikah di kelas kami. Dia melanjutkan. Sedikit informasi yang tidak cukup penting untuk aku ketahui tapi bisa menjelaskan kenapa tadi pria itu begitu ceria mengabarkan keluarga kecil barunya. Aku menggedikkan bahu, tidak kenal. Aku dan dia tidak berasal dari sekolah yang sama.

Dua orang bapak-bapak tionghoa di belakang kami telah berdiri dari kursinya. Menutup pertemuan mereka dengan saling berjabat tangan erat. Sepertinya sebuah kesepakatan bisnis baru saja terjadi malam ini, di sini, di sebuah kedai kopi yang harga menunya tak seberapa dibanding nilai bisnis yang sedang mereka perbincangkan.

Kapan? Tanyanya.

Apanya? Aku balas bertanya setelah merasa lega salah satu sumber kepulan asap putih di kepala kami telah beranjak.

Dia tersenyum, menenggak hingga tandas cangkir kopi keduanya. Aku selalu menunggu kabar baik darimu. Kapan kau tidak akan merasa betah lagi sendirian saja menikmati kapal yang bersandar di dermaga sambil minum kopi hingga matahari terbenam?

Aku tertawa kecil dengan spontan. Sekalinya bicara, dia menghabiskan banyak kalimat untuk menanyakan satu hal. Kapan? Seharusnya dia bertanya sampai kapan.

Aku masih betah. Jawabku singkat, ikut menenggak hingga habis cangkir kopi keduaku.

Masih mau menyalahkan waktu? Dia tersenyum, melirik arlojinya. Jam sembilan lebih dua puluh lima menit. Berarti nyaris satu jam setengah kami bersama dan baru sekarang kami memulai pembicaraan.

Waktu... Gumamku pelan. Time is a b*tch. Aku pernah membaca kalimat itu entah dimana. Tentang keluhan orang pada waktu yang tidak pernah tepat. Tidak. Bukan waktu yang harus disalahkan. Aku menggeleng, menunjukkan ekspresi wajah menyesal pernah sekali waktu menyalahkan waktu. Demi masa. Siapa aku berani menyalahkan waktu?

There's no right time. We create it. Make everything seems right. Or we just pretend to be right?

We are pretending to be right. Jawabku meski setengah tidak suka dengan jawaban yang aku berikan sendiri.

Dia tertawa, pelan saja. I love your honesty. I love when you said what's in your mind no matter what. I love the way you upset to your self after saying that silly things.

Why didn't you put word 'you' after saying 'love'? Tanyaku spontan. Kembali mengucapkan hal bodoh seperti yang baru dia katakan. Aku merutuki diriku sendiri dengan menepuk dahiku.

Kembali dia tertawa, sedikit di atas pelan tapi tidak begitu kencang. Dia selalu mampu mengendalikan setiap gesture, ekspresi dan kata yang keluar darinya. Sementara aku sebaliknya, selalu spontan, terburu-buru, ceroboh dan berantakan.

Kidding. Buru-buru aku mengklarifikasi.

Dia menggeleng. I know you. You always say the truth. That's why I believe in you and share every little things about me. I'm not shy to tell everything. I'm like an open book in front of you.

Well...couldn't agree more. I know you more than her. Aku tertawa. Getir. Tapi ada sedikit nada sinis di dalam tawa itu yang entah apa dia bisa menangkapnya atau tidak.

And you know me more than I know my self. I didn't know how you make it. To understand me more than anyone. More than her. Although we just knew each other.

That's my special ability. Ucapku bercanda. Tentu saja hanya bercanda. Dialah yang terlalu spesial hingga membuatku yang bahkan belum setahun dikenalnya mampu membaca setiap lembar dirinya.

Dia kembali melirik arlojinya. Pulang? Tanyanya kepadaku.

Aku tidak terburu-buru. Cangkir kopi ketiga baru saja dihidangkan.

Tapi ini sudah larut. Dia menggeleng ketika pramusaji menawarkan cangkir kopi ketiga untuknya.

Jangan dulu mengakhirinya. Aku menunduk mengaduk kopiku. Membuat pusaran yang sedikit banyak mengasosiasikan pusaran yang tengah berputar di kepala, dada dan perutku. Rasanya aku akan mual.

Siapa yang ingin mengakhirinya?

Memang seharusnya tidak ada. Tidak ada yang berencana mengakhirinya malam ini. Belum. Tapi aku harus. Tidak pernah ingin sebenarnya.

This is it. Aku tersenyum, meletakkan sendok mungil yang baru saja aku gunakan untuk mengaduk ke atas alas piring cangkir kopi milikku. Sendok mungil itu tergeletak miring bersandar pada cangkir dan menimbulkan noda di sana. Kali ini cangkirku berwarna putih pucat.

Ekspresi wajahnya awalnya terkejut dan berhasil dia sembunyikan dengan sempurna.

Kau bertanya padaku kapan. Aku pikir kau juga ingin buru-buru mengakhirinya. Aku menyesap kopi.

Tidak. Aku belum menemukan alasan untuk itu.

Meski banyak orang yang mampu memberi seribu lima alasan untuk kita?

Aku ingin alasanku sendiri.

Entahlah.

Kami berdua sama-sama diam. Gerombolan pria pengepul asap di depanku sudah beranjak entah kapan. Tidak lagi aku perhatikan. Hanya geromobolan gadis-gadis itu yang masih bertahan. Riasan mereka pun masih bertahan. Mungkin nanti aku akan bertanya kosmetik apa yang mereka kenakan hingga sampai jam segini riasan mereka tetap cantik.

Baiklah. Dia berdiri dari kursinya dan memanggil pramusaji untuk meminta tagihan. Setelah membayar dan memberi tip, dia memandang ke arahku. I want you but we don't always get what we want, right?  Dia tertawa, seolah baru saja mengatakan hal yang lucu. No matter how many prays we prayed...no matter how many tears we shed.

We are not worthy to ask Him what we want. Getir.

Dia tertawa.

Aku tidak ingin terburu-buru tapi kita memang harus buru-buru mengakhirinya. Aku juga ikut berdiri dari kursiku. Aku pulang sekarang. Kau jaga diri baik-baik. Aku mengambil tas yang tergeletak di sisiku, memindahkan telepon genggamku dari atas meja ke dalam tas, mengancingkannya kemudian melangkah pergi. Begitu saja. Selesai.

Tunggu! Aku harap aku mendengar dia mengucapkan kata itu. Atau bahkan berlari mengejarku. Tapi langkahku semakin menjauh dan dia hanya diam. Kami semakin jauh dan tak terjangkau. Selesai. Aku baru saja melakukan hal yang paling tidak aku inginkan di dunia. Berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

6.08 AM
11 Juni 2014
Pagi mimpi :)

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor