Buku Enam Puluh Ribu Kata
Berpuluh ribu kata pun tak mampu
untuk mendefinisikanmu. Semakin saya ingin mengenalmu, semakin saya tidak
mengetahui apa-apa tentangmu. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Kau harapkan? Kau
impikan? Kenapa semua terasa begitu gelap bagi saya? Kenapa saya tidak bisa
menebak satu hal saja dari keinginanmu, tuan? Paling tidak saya bisa
menerjemahkanmu dari mimpi-mimpimu itu. Kau seperti buku yang tertutup bagi
saya. Saya tidak akan bisa mendefinisikanmu hanya melalui sampul bukumu, atau
melalui sinopsis di sampul belakang bukumu. Tidak semudah itu menarik
kesimpulan dari sebuah buku berisi enam puluh ribu kata hanya dengan memandang
sampulnya. Kalau seandainya bisa, mungkin saya tidak akan pernah membeli buku
The Last Ember karangan Daniel Levin karena isinya ternyata sangat membosankan.
Tidakkah hal itu membuat saya
takut? Saya takut ‘membeli’ buku yang salah, yang pada akhirnya hanya akan
menjadi penghias lemari buku saya karena saya tidak akan pernah mau menyentuhnya
untuk yang kedua kali. Saya ingin sebuah buku seperti tetralogi Laskar Pelangi
dan Pulau Buru yang membuat saya jatuh cinta berulang-ulang. Yang setiap
halamannya selalu memanggil saya untuk selalu membaca mereka kembali. Dan setiap
kali saya membaca ulang buku-buku itu, saya merasa seperti baru membaca mereka
untuk pertama kalinya. Saya masih selalu tertawa dengan paragraf-paragraf lucu
di dalam buku seperti belum pernah membacanya saja meskipun saya akui
misterinya berkurang drastis kali itu. tapi paling tidak saya tidak pernah
bosan menenggelamkan diri saya ke dalamnya.
Jadi sebenarnya apa yang
membuatmu begitu tidak ingin terbaca oleh saya?
Lucu bukan jika saya harus
membacamu diam-diam tanpa seijin pemilikmu? Dia yang menuliskan kehidupanmu
dengan tinta-Nya. Mana mungkin saya bisa memahami isi bukumu jika hanya
membacanya sekilas-sekilas di toko buku? Sebuah buku enam puluh ribu kata! Saya
juga tidak ingin membaca tanpa membayar. Itu pencurian namanya. Dia yang menulismu
pasti tidak akan suka saya melakukan hal itu. Kau adalah hasil karya-Nya sama
seperti saya. Jadi tentu saja saya butuh ijin-Nya bukan?
Lantas kenapa kau tidak
memberitahu saya cara agar saya dapat membacamu? Atau paling tidak kau membiarkan
saya memikirkan cara untuk membacamu? Cara yang diijinkan-Nya tentu saja. Kau seperti
menutup semua kemungkinan itu. Kau berjuang sendirian dan tak mengijinkan saya
untuk berjuang bersamamu. Bagaimana mungkin saya hanya bisa duduk dan diam saja
memikirkan bagaimana caramu berjuang. Dan sayangnya saya tidak suka hanya
menjadi penonton.
Bagaimana kalau kita membuat
kesepakatan saja?
Kau, silahkan dengan caramu
sendiri. Anggap saja saya tidak peduli dan kau tidak butuh kepedulian saya. Dan
saya, saya akan menemukan buku yang lain yang tidak akan membuat saya membuang
banyak waktu hanya dengan menerka-nerka sampul dan sinopsisnya tapi akan
langsung membacanya. Mudah bukan? Temukanlah bukumu sendiri dan berpikirlah dua
kali lebih lama untuk membuat buku itu menunggumu membacanya. Karena menunggu
yang terselip di setiap helaian kertas, di antara derit meja kayu di taman, di
antara suara hiruk pikuk di pasar, di antara gesekan bebatuan tidak akan pernah
dapat bertahan selamanya. Bisa jadi karena dia lelah menunggu, tapi bisa juga
karena objek yang ditunggunya tak memberinya kesempatan lagi untuk menunggu.
Dan saya berada pada alasan kedua
itu.
UPS SOHO
13 Februari 2012
Hari Senin (lagi)
Ambil – tulis – antar undangan
walimah
10.16 AM
Comments
Post a Comment