Senja Terakhir



Dermaga berubah sunyi. Tidak ada hiruk pikuk nelayan maupun bongkar muat barang dari atas kapal. Semua orang turun ke jalan-jalan merayakan kemerdekaan Indonesia. Tadi pagi pukul 10 di jalan Pegangsaan Timur Soekarno telah membacakan proklamasi kemerdekaan. Seluruh rakyat tumpah ruah saling mengabarkan kemerdekaan negeri mereka yang telah sejak lama menjadi cita-cita. Setelah berbagai perjuangan mengangkat senjata, berdiplomasi, dan berorganisasi, setelah penantian panjang selama 350 tahun, akhirnya Indonesia merdeka juga. Hasil dari sekumpulan pemuda yang tak sabaran ketika mendengar Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika Serikat. Jepang sedang goyah dan saat inilah kesempatan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan mereka. Jepang telah menyerah kepada sekutu.

Ayah Senja bersama ke empat adik laki-lakinya telah larut dalam kebahagiaan sejak pagi. di desa kecil seperti ini, kabar apapun langsung menyebar dengan sangat cepat. Semua penduduk berkumpul di alun-alun desa saling bertukar cerita. Kepala desa, carik, amtenaar, petani, buruh, semuanya berkumpul menjadi satu saling meluapkan suka cita mereka. Seolah-olah proklamasi kemerdekaan secara otomatis menghapus sistem kasta yang mereka anut selama ini. Perkebunan jagung sepi, sawah tak berpenghuni, kantor desa seperti kuburan. Tak ada yang bekerja hari ini. Semua kesedihan telah berlalu. Indonesia kini bukan lagi milik Belanda maupun milik Jepang. Kini Indonesia adalah negara yang berdaulat. Sebuah negara raksasa telah lahir meski masih tertatih.


Senja tidak ikut larut ke dalam kemerdekaan. Dia sedih sekaligus cemas. Kemerdekaan ini tidak seperti yang dia dan teman-temannya perjuangkan. Kemerdekaan ini terlalu cepat. Para pemuda di Jakarta terlalu gegabah menculik Soekarno dan Hatta dan mendesak mereka berdua untuk segera mengumumkan kemerdekaan.Bagi Senja, mereka sesungguhnya belum siap. Masih banyak hal yang harus mereka benahi sebelum menunjukkan kepada dunia kalau mereka adalah negara yang berdaulat. Meskipun memang kejatuhan Jepang adalah saat yang paling tepat, tapi bukan berarti Belanda tak berniat untuk ‘mengasuh’ mereka lagi. Senja merasa perjuangannya sia-sia saja ketika kabar penculikan Soekarno dan Hatta yang dibawa ke Rengasdengklok tersebar di kalangan organisasi pemuda yang lain. Ada banyak perdebatan di dalamnya, dan salah satu pihak yang memprotes penculikan itu adalah Senja. Serta merta dia dituduh anti kemerdekaan dan antek-antek belanda oleh teman-temannya. Senja kecewa pada mereka yang telah berjuang bersama-sama dengannya dalam tahun-tahun penuh ketidak pastian itu.

Burung camar terbang rendah di laut lepas. Perahu-perahu tertambat pasrah dipermainkan ombak di tepi dermaga. Kaki Senja bergoyang, menyelaraskannya dengan gerakan perahu yang terombang-ambing di depannya. Dia tak ingin orang lain melihatnya menangis. Senja bukanlah gadis yang mudah menangis ketika sedih. Tapi kemarahanlah yang selalu membuat Senja menangis, seperti sore ini. Kemarahannya pada teman-temannya yang tidak mau mendengarkan penjelasannya. Dia bukannya tidak setuju sepenuhnya dengan proklamasi kemerdekaan hari ini, tapi dia ingin paling tidak teman-temannya mau memahami bagaimana akibatnya pergerakan yang terlalu terburu-buru seperti ini. Paling tidak mereka sudah memperhitungkan semua kemungkinan yang akan terjadi jika akhirnya Indonesia harus merdeka. BPUPKI dan PPKI didirikan oleh Jepang sebagai rayuan untuk Indonesia dan mereka tidak bisa bergantung dari situ. Mereka harus punya kekuatan sendiri untuk mempersiapkan kemerdekaan secara utuh. Yang lebih utama adalah bagaimana mereka menjalani kemerdekaan itu sesudahnya. Hal itu yang menurut Senja belum diperhitungkan dengan serius oleh dirinya dan teman-temannya. Bagi pemuda yang lain, kemerdekaan adalah tujuan utama. Tapi tidak bagi Senja yang ingin mempersiapkan seluruhnya secara paripurna.

“Kau tidak bergabung dengan teman-temanmu?”

Sebuah suara yang datang dari punggungnya mengagetkan Senja. Dia menoleh dan mendapati Peter tengah berdiri di belakangnya, sepertinya telah sejak tadi. Mata birunya berbinar dan senyumnya merekah. Rambut pirang bergelombagnya terlindung oleh sebuah topi pet berwarna coklat kusam.

Peter berjalan mendekati Senja dan duduk di sampingnya. Pria itu melepas topi pet yang dikenakannya dan kemudian menarik keluar pipa dari saku celana. Senja memperhatikan Peter yang sedang menyalakan pipanya.

“Aku tidak mengerti” ucap Senja “mengapa kau mau membunuh dirimu sendiri dengan asap dari pipa itu. kelakuanmu sama persis dengan bangsamu. Kalian hanya akan membunuh diri kalian sendiri dengan terus-terusan menindas kami…”

“Hey, bukankah masa itu telah berlalu? Bukankah kalian juga pernah mengeluh kalau ternyata kami jauh lebih ramah kepada kalian daripada si kecil Jepang itu?”

“Tapi kalian kembali lagi” tukas Senja “aku tahu kalian pasti akan kembali lagi. Kami terlalu cantik untuk kalian tinggalkan bukan? Kami terlalu penurut untuk kalian sepelekan bukan?”

“Senja….kami sudah ‘mengasuhmu’ selama tiga setengah abad. Dalam rentang waktu itu kalian telah berubah dari seorang manusia primitif menjadi manusia terpelajar. Berkat kamilah kalian dapat mengecap megahnya pendidikan Eropa. Dulu bangsamu tidak tahu apa-apa dan kamilah yang menuntun kalian untuk mengenal diri kalian sendiri. Dan lihatlah apa yang kalian beri pada kami?”

“Hasil kekayaan alam yang melimpah, tanam paksa, buruh dengan gaji rendah, dan rasa rendah diri setiap berhadapan dengan orang Eropa” jawab Senja serta merta “itulah yang telah kami berikan kepada kalian.”

Peter tertawa mendengar jawaban Senja. Dia menghirup pipanya dalam-dalam. Setelah itu dia memutar-mutar pipa berwarna hitam mengkilap itu di tangannya “pipa terbaik ini berasal dari negerimu” katanya “jawabanmu memang benar, kalian memberikan semua itu kepada kami. Tapi percayalah, tidak sedikit dari kami yang ingin membantu kalian. Tidak semua rakyat kami setuju kalian terus menerus ditindas…”

“Kau hanya ingin bilang kalau kau adalah salah satu dari mereka kan?” potong Senja dengan nada sinis “sudahlah Peter, berhentilah bersikap seolah-olah aku ini tak mengenal dirimu. Aku sudah mengenalmu sejak masih remaja dan aku tahu kau akan selalu membela kami. Kau satu-satunya asisten residen – ah, mantan asisten residen – yang aku kenal sangat baik kepada kami. Kaulah yang terbaik. Kau bahkan lebih baik daripada pemimpin kami yang sok Eropa itu. Untunglah dia keburu ditangkap karena korupsi sebelum rakyatnya sendiri yang menggulingkannya”

Peter kembali tertawa. Dia menyimpan pipanya ke dalam saku dan bersandar dengan kedua tangannya ke belakang. Beberapa ekor camar berputar-putar di atas perahu. Langit telah berubah warna menjadi merah saga.

“Jadi apa rencanamu setelah ini? Melanjutkan sekolah? Bergabung di partai politik? Atau kau mau ikut denganku ke Belanda?”

Untuk pertama kalinya sejak tadi dia meyendiri di dermaga, Senja tertawa lepas. Bahunya berguncang. Anak rambutnya menari-nari di atas kepalanya. Tawa Senja begitu lepas, begitu ganjil. Ada nada getir di dalam tawa itu. tawa yang tidak dia paksakan tapi entah mengapa dia hanya ingin tertawa. Peter selalu mengeluarkan lelucon yang sama. Mengajaknya ikut ke Belanda.

Peter hanya menarik nafas panjang melihat reaksi Senja. Gadis itu adalah seluruh manifestasi perjuangannya. Dia telah berhasil mengubah Senja dari seorang gadis pendiam dan pemalu menjadi seorang gadis yang tangguh dan ikut berjuang dalam organisasi kepemudaan. Peter merasa tugasnya telah selesai sejak Senja mulai berbalik menyerang negerinya. Senja kini bukan lagi gadis pendiam yang malu-malu. Dia kini seorang pemikir, seorang pejuang, dan tak mudah diusik. Senja bahkan jauh lebih memahami keadaan bangsanya dibandingkan Peter.

“Terima kasih untuk telah membuatku menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan ini” kata Senja pelan setelah tawanya reda “maafkan aku”.

Langit yang merah perlahan berubah menjadi gelap. Senja telah lindap berganti malam. Suara adzan masjid lamat-lamat terdengar syahdu, memanggil ummatnya untuk bersujud setelah perjuangan panjang selama tiga setengah abad. Tapi Senja berusaha meyakinkan dirinya, perjuangan mereka kaum muda justru baru dimulai pada titik ini. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, dia harus menerima kenyataan kalau Peter tak akan ‘mengasuhnya’ lagi. Belanda tak akan mengasuh Indonesia lagi. Mereka akan belajar berjalan tanpa tongkat.

Sesungguhnya ada rasa takut di dada Senja ketika mendengar kabar kemerdekaan itu. Rasa takut bagai seorang anak kecil yang akan masuk sekolah untuk pertama kalinya. Kata merdeka masih terasa asing di telinganya meski itulah yang dia perjuangkan selama ini. Seperti seseorang yang telah lama memimpikan sesuatu dan kemudian hal yang dia impikan itu tiba-tiba telah ada di depan matanya. Dia gugup dan berusaha menutupi rasa gugup dan takutnya itu dengan sebuah logika dasar yang selama ini diyakininya. Akan ada masanya tapi belum sekarang. Tapi jika memang keadaan telah berubah dengan sangat cepat, maka dia pun harus ikut ke dalam pusaran perubahan itu.

Senja berdiri dari tempatnya duduk di tepi dermaga, hendak pulang ke rumahnya dan berusaha menerima kenyataan meski tidak sesuai dengan rencana-rencananya. Tapi sebelum dia melangkah meninggalkan Peter, dia kembali menatap pria itu lamat-lamat. Peter masih duduk di tepi dermaga, masih bersandar dengan kedua tangannya dan kakinya bergoyang-goyang menggantung di atas lautan. Camar-camar itu rupanya masih terlalu menarik perhatiannya.

“Jadi kapan kau akan kembali ke Belanda?” tanya Senja pada akhirnya, berusaha menguasai rasa yang menyentak-nyentak di dalam dirinya, di logikanya.

Peter tak menjawab, masih memandangi lautan yang telah menghitam.

“Peter…” panggil Senja lagi ketika Peter hanya diam “Tuan Peter…”

“Untuk apa kau bertanya jika kau tidak membutuhkan jawabannya?” Peter balas bertanya tanpa sedikit pun memandangi Senja.

Diam-diam air mata Senja telah jatuh menetes, untuk pertama kalinya di dekat Peter. Tuan Peter, begitulah seharusnya dia memanggil pria yang duduk di tepi dermaga itu. Tuan Peter, seorang mantan asisten residen ketika Indonesia masih bernama Hindia belanda yang telah mengajarkan padanya banyak hal. Terlalu banyak hal malah.

“Aku…” kata Senja parau “aku hanya ingin tahu saja. mungkin aku masih bisa mengucapkan selamat tinggal padamu sebelum kau pergi dari negeriku ini”

“Tidak perlu” Peter berdiri dari tempat duduknya dan mengenakan kembali topi pet miliknya. Dia berjalan mendekati Senja dan berhenti di depan gadis itu. mereka berdua saling berpandangan. “akulah yang akan pamit pulang dari negerimu. Aku hanya menumpang di sini dan masa kontrakku telah habis. Kaulah pemilik sah negeri ini, silahkan kalian merawatnya dengan baik. Tugasku telah selesai Senja, sesuai dugaanku, Soekarno-lah harapan kalian. Dukung dia membenahi negeri ini karena Belanda belum mengakui kedaulatan kalian secara resmi”.

“Kau tak akan kembali lagi ke sini?” Senja terus bertanya, tak peduli dengan perkataan Peter.

“Entahlah” Peter mengangkat bahunya “Mungkin aku tak akan pernah kembali ke sini lagi. Aku akan memulai kehidupanku yang baru di sana.”

“Ah, ya. Tentu saja. semoga kau berhasil Tuan…”

“berhentilah memanggil aku Tuan. Masa-masa itu telah berlalu. Aku bukan lagi majikanmu”

“kau adalah guruku” sahut Senja.

“Mantan gurumu” koreksi Peter “kau lebih banyak belajar sendiri dan sekarang kau jauh lebih baik dari diriku. Aku kini hanyalah seorang pria tua yang membutuhkan ketenangan menjelang hari tuanya. Mungkin di kampung halamanku aku akan menikah, beternak dan merawat anak-anakku…” Peter terkekeh “sayang aku tidak bisa membawamu ikut serta dan menunjukkan padamu bahwa negeriku tak kalah indahnya dengan negerimu. Tapi sudahlah, kau memang tidak pernah ingin ikut denganku bukan?”

Air mata Senja mengalir lebih deras lagi. Dia mengangguk mantap. Sampai kapanpun dia tidak pernah berniat meninggalkan negerinya yang masih muda belia ini. Senja paham betul konsep pengorbanan dan saat ini mereka berdua tengah berada di dalam konsep itu. Mereka berdua tengah saling berkorban untuk menepis rasa masing-masing. Keputusan Senja dan Peter telah sama-sama bulat. Mereka akan tetap tinggal di negara mereka masing-masing. Itulah bentuk pengorbanan mereka berdua terhadap apa yang tidak seharusnya mereka rasakan dalam bertahun-tahun perjuangan bersama. Sama seperti banyak bangsa yang singgah di negerinya mulai dari Portugis, Inggris, Belanda sampai Jepang, pada akhirnya mereka semua harus angkat kaki dari Indonesia. Indonesia bukanlah tempat bagi mereka yang serakah, dan anak cucu mereka pun harus menanggung semua itu. indonesia bukanlah tempat yang nyaman bagi Peter setelah di keningnya telah tercap kata ‘penjajah’ oleh para inlander.

“Baiklah, aku rasa aku harus pulang berkemas. Kapal yang mengantar kami ke Belanda akan berangkat besok”

Senja mengangguk, pasrah.

Peter berjalan menjauh diiringi bunyi siulan yang keluar dari mulutnya. Langit telah sempurna gelap, menyelimuti seluruh dermaga, mengusir terang. Senja masih berdiri mematung di tempatnya, memandangi punggung Peter yang semakin menjauh.

Kalau saja Peter dilahirkan sebagai seorang pribumi… mungkin Senja masih akan berlari mengejarnya. Mereka berdua harus membayar dengan harga yang teramat mahal sebuah garis darah. Mereka sama-sama saling mengagungkan apa yang telah mereka bawa sejak lahir.

Peter telah menghilang di kegelapan, dan Senja hanya bisa mengusap air matanya.

23 Februari 2012
10.53 AM
UPS SOHO

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an