Suatu Sore Di Belakang Rumah Pantai Kami


Rumah Impian Di Tepi Pantai :P


Aku memandanginya yang berdiri tak jauh dariku, rambutnya yang memang sudah seperti cemara jarum itu semakin tajam dan berkibar diterpa angin pantai. Kaos oblong warna merah, celana gantung, dan sebuah tas selempang kecil tersampir di bahunya. Begitulah kostumnya sore ini, santai saja seperti yang hendak kami lakukan. Bersantai.

Aku memanggilnya si cemara jarum, dan dia memanggilku Doraemon. Astaga, hanya karena wajahku bulat sempurna persis Doraemon, dia memanggilku seperti itu. Padahal panggilanku padanya tidaklah terlalu buruk. Cemara jarum tidak buruk bukan? Aku suka rambut cemara jarumnya. Kadang aku mengacak-acaknya ketika dia sedang berbaring atau saat dia sedang lengah. Kalau dia berhasil menangkapku maka dia akan menjawil pipi dorayaki milikku dan diakhiri dengan berkejaran sepanjang koridor rumah – rumah baru milik kami. Sebuah rumah mungil yang menjadi impianku selama ini. Rumah mungil di tepi pantai, dengan balkon yang menghadap langsung ke arah deburan ombak dan horizon serta siluet mentari.


“Hey” panggilku padanya yang entah kenapa masih terkesima memandang pantai di depannya. Rutinitas kami di sore hari kala mentari akan tenggelam adalah duduk di pantai belakang rumah – atau di balkon jika aku sedang tidak ingin kemana-mana – dan memandangi bola merah saga itu terbenam bersama-sama dengannya.

“Ada apa?” dia berteriak. Sore ini ombak begitu kencang sampai-sampai kami berdua yang hanya berjarak sepelemparan batu harus saling berteriak.

“Duduk disiniiii” balasku.

Dia hanya mengedipkan sebelah matanya dan alih-alih berlari ke arahku, dia malah melepas tas selempangnya dan langsung berlari masuk ke dalam air. Ah…curang! Dia mandi laut tanpa mengajakku! Aku hanya bisa teriak-teriak mengomelinya sementara dia tertawa-tawa dari dalam air, melambai-lambai kepadaku dengan penuh semangat, menghasutku agar ikut berenang bersamanya. Aku menggeleng kuat-kuat. Meskipun aku sangat menyukai pantai, tapi aku tidak bisa berenang. Dan lagi ombak terlalu besar, aku takut terhempas jauh dari pantai dan dia sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menolongku dan hanya bisa menertawaiku yang megap-megap karena banyak menelan air laut.

Angin bertambah kencang. Aku merapatkan sweater rajutku dan memperbaiki jilbabku yang berantakan diterpa angin. Sebentar lagi bola merah saga itu akan terbenam dan dia buru-buru keluar dari air kemudian berlari duduk di sampingku.

Aku berjengit…air laut di bajunya menerpa-nerpa tubuhku. “Ih, jangan dekat-dekat duduknya. Nanti aku ikut basah”

Dia tertawa – sepertinya dia memang senang melihat wajah Doraemonku yang cemberut ini. Bukannya menjauh, dia malah meraih tanganku yang berpasir dan menggenggamnya. Ah, bahkan meskipun kami telah menikah selama setahun, dia tetap selalu berhasil membuatku berdebar-debar hanya dengan menggenggam tanganku dengan erat seperti saat ini. Apalagi jika dia memandangku sedemikian rupa dan harus kuhentikan dengan sebuah jeweran di kupingnya yang lebar.

Angin membuat aroma parfum yang dikenakannya – meski telah bercampur dengan bau air laut – tercium olehku. Aku suka aroma parfumnya, membuatku merasa nyaman dan tenang. Rasanya seperti ada tameng yang melindungiku dari serangan panah persis di film-film perang. Dalam hati aku menertawai kekonyolanku sendiri.

“Kok senyum-senyum sendiri?” tanyanya heran “hati-hati loh…nanti kesambet..”

“Hussh…” aku menarik rambut cemara jarumnya dengan tanganku yang lain. Rambutnya jadi penuh pasir.

“Apa kau bisa membayangkan bagaimana jika setahun yang lalu kita tidak menikah?” tanyaku padanya “bagaimana jika setahun lalu kau tak cukup berani untuk menikahiku? Atau aku yang tak cukup yakin untuk menjadi istrimu? Apakah kita akan sebahagia ini sekarang?”

Dia tersenyum, aku tau dia pasti teringat akan kekonyolan kami berdua setahun yang lalu. Kami berjalan maju mundur. Kami takut dan penuh keraguan. Dia yang masih belum memiliki keberanian yang cukup untuk menikah dan aku yang masih belum yakin apakah dia orang yang tepat untukku. Berbulan-bulan kami bergelut dengan pertanyaan yang sama, meminta nasihat dari banyak orang, mempertimbangkan ini itu, menganalisa banyak hal sebelum akhirnya kami sadar apapun yang kami lakukan tidak akan membuat hati kami yang ketakutan dan ragu ini berubah menjadi berani dan yakin.

Pada titik jenuh itulah kami nekat untuk melangkah maju meski hati masih terus diselimuti oleh banyak hal yang membuat kami gentar. Hanya sebuah kalimat dari seorang teman (yang bahkan tidak begitu aku kenal) yang menambah kenekatan kami itu.

“Jika kalian yakin hal yang kalian lakukan itu bukanlah sebuah hal yang buruk, bukan sebuah dosa, lantas kenapa kalian harus takut dan ragu?”

Sebuah kalimat yang cukup menampar.

“Tak menikah denganmu pun aku tetap bahagia” katanya sambil tersenyum jahil.

Aku sudah bersiap-siap untuk menarik rambut cemara jarumnya lagi.

“Tapi aku lebih bahagia setelah menikah denganmu” dia tertawa.

Aku juga ikut tertawa. Ada banyak hal yang bisa kami tertawai bersama. Sandal yang kebesaran, kemeja yang kekecilan, noda susu di kerah baju, majalah yang sobek, kami punya selera humor rendahan yang sama.

Bola merah saga itu perlahan-lahan turun bersembunyi di horizon, menyisakan merahnya yang masih melapisi awan-awan di sekelilingnya.

“Aku punya lagu untukmu!” katanya bersemangat.

“Mana? Coba nyanyikan!” seruku. Aku tau dia payah dalam bernyanyi, suaranya fals dan tidak seimbang. Setiap kali dia bernyanyi, maka itu adalah hiburan tersendiri bagiku.

“When I get older losing my hairs many years from now. Will you still need me? Will you still feed me? When I’m sixty four”

Aku tertawa, kemudian mengacak-acak rambut jarumnya yang semakin tajam karena basah.

“Me, a family, house, a family. Can we be a family? And when I’m 80 years old and sit next to you. You make me wanna say I do…” aku juga ikut bernyanyi di sisinya. “Sampai di usia 80 tahun pun akan tetap duduk di sampingmu. Punyamu hanya sampai 64 tahun. Wee…”

Aku dan dia kembali tertawa bersama.

UPS SOHO
10.20 AM
10 Juli 2012

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an