While My Eyes Gently Weep
Aku memandangi gadis itu
lekat-lekat. Gesture tubuhnya yang seperti sedang membentengi dirinya sendiri,
jilbab panjangnya (yang terlalu panjang menurutku) berwarna coklat kopi manis
yang membuatku tiba-tiba merasa haus, gamis coklat gelapnya yang mengingatkanku
pada brownies di meja kantorku yang belum sempat aku sentuh gara-gara gadis
ini, dan wajah pualamnya yang bulat – sulit buatku untuk tidak mengakui kalau
dia memang gadis yang manis.
Oh, jadi ini ya gadis ‘itu’? Calon istri Rul?
Suara di dalam hatiku benar-benar
terdengar sengit, sinis dan…putus asa. Bagaimana mungkin aku mengalahkan gadis
manis yang ada di depanku ini? Usianya baru juga dua puluh empat tahun, selisih
sembilan tahun dengan usiaku dan Rul. Bukankah dia terlalu muda untuk Rul jika
tidak bisa kukatakan terlalu kekanakan? Dan kenapa aku menjadi begitu tidak
suka pada gadis ini padahal dia belum berkata sepatah kata pun kepadaku? Apa
karena aku cemburu? Oh...tentu saja tidak.
Aku akui aku memang gendut,
pendek, rambutku keriting, berkacamata, sederhananya aku tidak secantik gadis
calon istri Rul ini. Selama ini aku hanya ‘tempat sampah’ Rul. Tempat dia
curhat yang kalau dibukukan mungkin bisa jadi lima jilid buku setebal The Lost
Symbol-nya Dan Brown. Aku hanyalah seorang sahabat dekat Rul, sahabat kalau
lagi saat jelek saja. Maksudku Rul merasa tidak perlu dandan jika dia ingin
keluar denganku. Rul bahkan merasa tak perlu mencuci mukanya waktu aku datang
pagi-pagi ke rumahnya dan dia baru bangun tidur. Tidakkah Rul berpikir kalau
aku bisa menerima segala hal yang ada padanya?
“Kak…aku…” gadis itu akhirnya
berusuara, mengakhiri keheningan di antara kami berdua. Mungkin dia jengah
melihatku yang terus memandangnya dengan sinis (jujur saja aku tak bisa
menyembunyikan pandangan sinisku) atau mungkin dia merasa harus buru-buru
mengakhiri pertemuan ini.
“Kamu Maryam kan? Aku sudah tau
kok nama kamu dari Rul” potongku “jadi apa ada yang mau kau tanyakan padaku
sampai-sampai Rul rela mengerjakan pekerjaan yang seharusnya aku lakukan hanya
agar aku bisa duduk di sini denganmu sore ini? Jangan membuang-buang waktu Rul
yang berharga itu”
Astaga, ingin rasanya aku menepuk
pipiku sendiri. Kenapa aku bersikap begitu kasar pada gadis yang bahkan tak tau
apa-apa tentang perasaanku pada Rul? Pada pria yang telah menjadi sahabatku
sejak aku lulus SMA dulu? Pada pria yang menjadi satu-satunya alasan buatku
untuk menekuni dunia yang sama dengan dunianya, jurnalistik.
“Maaf kalau aku mengganggu waktu
kakak” katanya takut-takut “hanya saja kakak adalah satu-satunya orang yang
direkomendasikan oleh Kak Rul jika aku ingin bertanya-tanya banyak hal
tentangnya”
“Maksudmu?” tanyaku sengit.
“Iya, Kak Rul yang meminta aku
bertemu dengan kakak dan mengobrol. Kakak pasti sudah tau kalau aku dan Kak Rul
itu tidak melewati masa pacaran. Aku hanya dikenalkan Paman Kak Rul kepada Kak
Rul dan sebelumnya kami tidak pernah bertemu. Aku hanya pernah mendengar nama
Kak Rul saja tapi tidak pernah benar-benar tau seperti apa orangnya. Jadi mungkin kakak mau cerita kepadaku Kak Rul itu
orangnya gimana? Aku juga perlu tau seperti apa laki-laki yang akan menikah
denganku nanti”
Aku menarik nafas panjang
mendengar penjelasan gadis itu. Memang benar Rul sudah cerita kalau mereka berdua
hanya dikenalkan oleh pamannya (bukan perjodohan, Rul menolak keras penggunaan
kata itu) karena usia Rul yang sudah terlampau cukup untuk menikah tapi belum
menikah-menikah juga sementara kedua adiknya sudah menikah lebih dulu. Aku
sendiri pun tak paham, kenapa Rul begitu sulit untuk jatuh cinta. Pernah sekali
dua dia menyukai seorang perempuan, tapi hubungannya tak pernah berhasil entah
karena apa. Sampai-sampai Rul dicap terlalu pemilih oleh semua teman-temannya,
termasuk aku. Tapi aku tau, Rul ingin menyimpan harapannya itu untuk saat yang
tepat saja.
Tapi Maryam berbeda.
Kehadiran gadis itu di
tengah-tengah kami seperti langsung menamparku dan membuatku terjaga. Ada
sinyal bahaya di diri Maryam yang memperingatkan aku bahwa untuk kali ini aku
akan benar-benar kehilangan Rul jika aku tidak segera bertindak. Kehadirannya
berbeda, maksudku Rul tetap saja menceritakan tentang Maryam kepadaku dengan
ekspresi wajah yang sama saat dia menyukai beberapa perempuan sebelumnya, tapi
Maryam membuatku takut bahkan sebelum aku melihatnya langsung. Dan aku semakin
ketakutan ketika pertama kali melihatnya sore ini.
Sepertinya Rul benar-benar akan
dibawa pergi olehnya dariku.
Apa aku belum bilang kalau aku
mencintai Rul?
Menjadi seorang gadis yang tumbuh
menjadi dewasa di sisi laki-laki seperti Rul, maka kau akan dengan mudah saja
jatuh cinta padanya. Semangatnya, kecerdasannya, cita-citanya…aku belajar
banyak dari diri Rul. Belajar untuk bahagia dengan hal-hal kecil, belajar untuk
menahan sakit, belajar untuk menyenangkan orang lain, benar-benar banyak hal
baik yang telah dia tularkan padaku. Kami telah berpetualang bersama selama 15
tahun terakhir ini dan tak pernah kutemui sesuatu yang tidak aku sukai darinya
– kecuali kegilaannya pada pekerjaannya. Rul adalah seorang workaholic sejati
dan kegilaannya pada pekerjaannya itu hanya bisa disaingi oleh kegilaannya pada
travelling.
“Pilihanmu tepat. Rul adalah
laki-laki yang tepat untuk perempuan manapun” kataku pada akhirnya.
Aku tidak akan pernah bisa
berbohong tentang Rul. Dia memiliki segala hal yang aku kagumi dan dia memang
seorang laki-laki yang tepat untuk perempuan manapun – sayangnya dia tidak
pernah mau menjadi laki-laki yang tepat untukku. Aku hanyalah seorang
sahabatnya, tak lebih.
“Kakak tidak perlu menyembunyikan
apapun tentang Kak Rul. Kebaikan maupun kejelekannya tidak perlu kakak
sembunyikan dariku.”
Aku tertawa meskipun tidak yakin
apa sebenarnya kalimat yang lucu dari Maryam. Hanya merasa aneh sekaligus geli
melihat gadis polos di depanku ini. Astaga, dia memang benar-benar terlalu muda
untuk Rul.
“Kau pernah pacaran sebelumnya?
pernah menyukai seorang pria sebelumnya?” tanyaku sambil memainkan sedotan jus
apelku.
Dia menggeleng “aku tidak pernah
berpacaran sebelumnya. Menyukai beberapa orang laki-laki sebelumnya mungkin iya.”
Jawabnya datar saja – gadis semanis dia dan belum pernah berpacaran sekalipun? Dan
laki-laki sehebat Rul yang hingga saat ini belum menemukan pasangan hidupnya? Mungkin
mereka memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama.
Takdir?
Lantas kenapa Tuhan tidak
menakdirkan aku saja dengan Rul? Kenapa harus gadis manis dari antah berantah
ini yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hidupku dan Rul? Bukankah aku sudah
15 tahun berusaha masuk ke dalam hati Rul? Kenapa tidak aku saja yang sekarang
berada di posisi gadis itu?
“Jadi kakak mau kan bercerita
kepadaku soal Kak Rul?” desaknya. Dia memilin-milin ujung jilbabnya dengan
jemarinya yang putih dan halus. Lihatlah jemarinya! Perempuan macam apa yang
akan menikah tapi tangannya sehalus itu? Dia pasti tidak pernah mengerjakan
pekerjaan rumah dan hidup serba mudah. Sementara aku? Aku menghabiskan
bertahun-tahun hidupku untuk berjuang, belajar memasak makanan kesukaan Rul,
belajar menyukai hobi Rul mendaki gunung, merusak sebagian besar sisi feminisku
hanya untuk menyeleraskan langkahku dengan Rul.
“Kau mau aku bercerita tentang
Rul dengan jujur?”
Dia mengangguk, matanya yang
kecil mengerjap-ngerjap gembira. Benar-benar kekanak-kanakan.
“Usia Rul sekarang 33 tahun dan
kau baru 24 tahun. Tidakkah kau pikir kau terlalu muda untuknya, anak kecil?”
tanyaku sengit dan kasar. Aku tidak bisa lagi tidak melampiaskan kekecewaanku
pada Rul di depannya. “Kau cantik, kau cerdas, kau bisa memilih laki-laki lain
yang sebaya denganmu tapi kenapa kau malah memilih Rul? Apakah menurutmu Rul
laki-laki menyedihkan yang terus menerus ditolak oleh banyak perempuan?”
“Tidak kak…bukan itu…” katanya
cepat-cepat dan takut.
“Menurutmu selama ini aku ini
siapanya Rul? Sampai-sampai Rul merekomendasikan aku kepadamu untuk mengorek
segala sesuatu tentangnya? Apakah kau tidak pernah berpikir kalau aku dan Rul
itu jauh lebih dekat dari sahabat manapun? Lima belas tahun aku menghabiskan
hidupku di sisinya, menemaninya, menjadi tempat sampahnya, tempatnya berbagi
suka dan sedih…dan kau, aku tidak tahu berapa lama Rul telah mengenalmu, tapi
kau bukan perempuan yang tepat untuknya!”
“Kak Nadia…aku…” suara Maryam
seperti mau menangis.
“Aku mencintai Rul, Maryam. Kau dengar
itu? memang Rul tidak mengetahuinya, SAMA SEKALI. Tapi aku tahu dia cukup
pintar untuk mendefinisikan kehadiranku di sampingnya selama ini. Aku tahu dia
juga tahu kalau aku mencintainya. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk
meyakinkan Rul kalau dia telah menemukan seorang yang tepat untuknya. Tapi tiba-tiba
kau datang dan…ya…kau merusak segalanya. Merusak hidupku!”
Wajah Maryam berubah pucat dan
air bening mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Kau mau tau warna kesukaan Rul? Film
favoritnya? Jam bangun tidurnya? Tempat liburan favoritnya? Tanggal ulang tahun
ibunya? Jumlah ponakannya? Apa yang kau ingin tau tentang Rul dariku? Tanyakan saja!
karena kau tidak akan pernah bisa mengetahui segala hal tentang Rul melebihi
aku!”
Maryam terisak. “Aku minta maaf
kak…” katanya lirih di sela isaknya.
“Baguslah kalau kau menyesal. Aku
hanya minta kau pergi dari hidup Rul dan biarkan kami berdua melanjutkan hidup.
Aku hanya butuh sedikit waktu lagi…” kataku mulai berangsur-angsur tenang setelah tadi meneriakinya.
“Tapi aku tidak pernah menyesal
kak” potongnya. Dia mengusap air matanya dengan tisu dan kemudian berdiri di
hadapanku. “Maaf kalau aku telah mengecewakan kakak dan merusak hubungan kakak
dengan Kak Rul. Tapi aku tidak menyesal dan tidak akan mundur. Aku akan tetap
menikah dengan Kak Rul, terserah kakak suka atau tidak. Maaf kalau aku juga
bicara agak kasar, karena aku pun belum pernah diteriaki oleh seseorang seperti
tadi. Itu urusan kakak dengan Kak Rul, bukan denganku. Aku rasa aku sudah cukup
mengetahui siapa Kak Rul dari teriakan kakak tadi. Terima kasih, aku permisi
dulu kak. Assalamu’alaikum…”
Dengan anggunnya Maryam berbalik
dan melangkah keluar restoran. Meninggalkan aku yang masih terpana di depan
meja. Skak mat. Maryam baru saja mengalahkan rajaku hanya dengan pion miliknya.
Ternyata ketakutanku pada Maryam bukannya tak beralasan.
***
Epilog
“Maaf kak, aku tidak pernah
menceritakan perasaan Kakak kepada Kak Rul” kata Maryam padaku saat kami berdua
sedang duduk-duduk di teras belakang rumah Rul, dua bulan setelah pernikahan
Rul dengan Maryam. Aku baru bisa mengunjungi mereka setelah aku lari
menenangkan diri ke kampung halamanku dan setelah beberapa kali paksaan dari Rul
agar aku mau berkunjung ke rumahnya.
“Tidak apa” kataku “mungkin
sebaiknya Rul juga tidak perlu tau”
“Aku rasa juga begitu. Kak Rul
tidak perlu tau karena kak Rul juga mencintai kakak sebagai sahabatnya. Kakak tau?
Dua bulan terakhir ini pembicaraan kami hanya berkisar tentang kakak saja. kak
Nadia yang baik, Kak Nadia yang pintar masak, Kak Nadia yang tangguh, Kak Nadia
yang cantik…”
“Rul bilang aku cantik?”
potongku, tersenyum geli.
“Tentu saja” Maryam mengangguk
mantap “bagi Kak Rul, kakak adalah perempuan yang paling cantik yang pernah dia
temui. Hati kakak cantik, begitu kata Kak Rul – “
Aku tertawa, Rul memang selalu
begitu, selalu membelaku, selalu memujiku. Meskipun mungkin aku yang salah.
Ya, aku memang salah, salah
mengartikan semua pujian dan belaan itu.
Tak terasa air mataku menetes…
semoga benar kata orang bahwa waktu akan menyembuhkannya.
UPS Pelita
10.37 AM
Friday the 13th :p
July, 2012
ouhhh... kereeen...
ReplyDeleteKa Nadia harusnya juga dpat cowok yg kereen kaya ka Rul :)
Iya, setuju!
DeleteTapi coba kalo Nadia segera bertindak. Sy yakin Rul jg suka sm dia :p