Low Cost Carrier Part I
Awalnya mau saya tunda, tapi saya memutuskan untuk menuliskannya sebelum saya lupa detil
perjalanannya. Maklum, saya punya ingatan jangka pendek soal hal-hal yang tidak
begitu penting untuk diingat *sarkas*
Ini perjalanan pertama saya ke
luar negeri jadi mau tak mau saya agak tegang juga. Sumpah, saya merasa sangat
norak padahal cuma mau ke KL saja, cuma ke atas Sumatera sana. Banyak orang
yang menjadikan perjalanan pertama mereka ke luar negeri ketika berhaji ke
Makkah dan seharusnya saya juga begitu. Tapi tak ada yang bisa menahan godaan
tiket promo Air Asia 79 ribu perak Makassar – KL. Jadi Malaysia mendapat
kehormatan sebagai negara luar pertama yang saya kunjungi.
Tanggal 24 September sore saya dan
lima orang teman telah berdiri manis di depan petugas imigrasi bandara Sultan
Hasanuddin yang memeriksa dan memberi cap paspor kami. Kebetulan kami berangkat
bersama-sama dengan mahasiswa Arsitek UNM (kalo tidak salah) dan saya kebagian
jatah diperiksa paling akhir. Sampai di depan petugas imigrasi saya ditanya, ‘ikut rombongan mahasiswa juga?’ dan saya menggeleng senang. Kenapa
senang? Karena itu berarti saya memang berwajah innocent khas mahasiswi. Haha...
*digetok*
Kami boarding jam setengah 7
malam. Oke, sebenarnya saya mau skip bagian yang ini tapi tidak kuasa untuk
tidak menceritakannya. Terus terang kami bertingkah norak ketika melihat
pramugari dan pramugaranya. They’re
really beautifull. Mungkin kami penumang pesawat yang paling rame karena
banyak minta yang macam-macam ke pramugarinya, termasuk permintaan poto bareng
dengan pramugari berwajah bule bernama Zainab yang – sayangnya – tidak diikuti
dengan poto bareng bersama pramugaranya *tunjuk Ramla*.
Setelah tiga jam ganti-ganti
posisi tidur (banyak kursi kosong di pesawat yang bikin kami leluasa merebahkan
badan) akhirnya kami sampai juga di terminal LCCT KL. Terminal khusus
penerbangan low cost carrier alias
penerbangan murah semacam Air Asia dan Tiger. Hiks..kasian ya? Kami merasa
terdiskriminasi *halah*
Kami menyewa mobil dari bandara
ke hotel di Petaling street seharga 140RM. Ternyata dari bandara ke China Town
di Petaling Street itu jauhhh. Dan sepanjang jalan bapak supir itu ngajak kami
ngobrol. Awalnya sih asik-asik saja. Tapi lama kelamaan obrolan panjang lebar
itu makin bikin kami mikir untuk mencerna artinya. Maklum, telinga belum
terbiasa dengan bahasa Melayu dan logatnya. Saat itu saya benar-benar berharap
kami cepat sampai dan segera tidur di hotel. Lebih capek mendengar bapak-bapak
itu bicara sepanjang perjalanan daripada duduk tiga jam di pesawat.
Petaling Street, China Town |
Besoknya petualangan kami
dimulai. Sesuai jadwal, hari pertama kami pergi ke Genting naik bus dari
stasiun Puduraya yang sangat dekat dari China Town. Jadi kami hanya perlu jalan
kaki ke stasiun itu. Di tengah jalan kami mampir buat sarapan. Nasi lemak, 3.5
RM saja. Air mineral sebotol 1 RM. Bapak-bapak yang jual air mineral setelah
menerima bayaran dari kami langsung bilang ‘abis cerita’. Haha...mungkin
maksudnya selesai urusan ya?
Di stasiun yang lebih mirip
bandara saking kerennya itu kami beli tiket bus plus skyway ke Genting. Waktu ditanya
mau pulang jam berapa sama petugasnya, saya bilangnya jam setengah lima. Tapi di
tiket malah tercetak 5.30 sore. Nanti setelah di Melaka baru kami ngeh kenapa
tiketnya salah cetak. Ternyata di Malaysia itu kalo mau bilang jam setengah
lima berarti harus bilang jam empat setengah. Klo jam setengah tujuh berarti jam
enam setengah. Lucu ya?
Dan saya menyesal menyusun
perjalanan ke Genting. Sangat.
Saya tau kalo Genting itu
letaknya di atas gunung. Saya juga tau disana sangat dingin dan sering hujan
plus berkabut. Tapi saya tidak tau kalo gondola alias skyway ke Genting itu
tingginya minta ampun dan lama. Benar-benar melintasi gunung dan hanya
bergantung pada tiang penyangga dan seutas kabel! Seteres! Sepanjang perjalanan
dari bawah ke atas yang makan waktu cukup lama saya cuma bisa menutup mata dan
berpelukan di lengan Fika. Eaa... that’s
my embarassing moment. Saya cuma berani melirik-lirik sekilas.
Genting Highlands |
Seharian di Genting dan pulang
sorenya kami langsung lanjut ke Petronas Twin Tower dan KL Tower. Naik taksi
dari Puduraya dan supirnya orang India. Berasa kaya lagi di India soalnya di
taksi diputar lagu India yang sama sekali tidak terkenal dan waktu bapak-bapak
itu berbelok di depan Petronas kami di dalam taksi sampai terlempar-lempar. Persis
kaya taksi India yang lagi dikejar-kejar penjahat.
Seperti biasa, di depan Petronas
yang bisa kami lakukan hanya moto-moto. Kalau mau naik ke atas kami harus antri
dari pagi biar dapat tiket. Eh, FYI saja, akhwat-akhwat melayu cantik-cantik
loh. Pakaiannya baju kurung sama jilbab minimal menutup dada. Suka sama baju
kurung mereka sampai-sampai saya juga beli satu yang kaya gitu. Hihi...jadi
keliatan sangat Malaysia. Paling tidak, empat hari di KL saya belum (tidak
pernah) melihat cewek Malaysia yang berpakaian tidak sopan. Beda sama di
Indonesia yang pakaiannya tidak karu-karuan. Mereka berusaha keras menjiplak
budaya luar sementara cewek-cewek Malaysia bangga menunjukkan budaya mereka
lewat pakaian muslimah. Miris. Ironis.
Pemandangan cewek-cewek Malaysia di Petronas. Maap kurang jelas *sengaja* |
Hari ke dua kami ke Melaka. Dari Puduraya
kami naik bis sampai ke Terminal Berpadu Selatan dan beli tiket di Bandar Tasik
Selatan menuju Melaka. Waktu tempuh KL-Melaka Cuma dua jam saja. Di itinerary sebenarnya kami tidak
berencana nginap, makanya tidak booking hostel lebih dulu. Tapi namanya
backpacker memang harus punya rencana cadangan. Karena ke Singapura lebih dekat
dari Melaka – tiga jam saja – jadi kami memutuskan menginap semalam di Melaka
dan besok paginya langsung ke Singapura.
Karena belum book, hostel yang
kami tuju tidak bisa menerima tamu lagi, sudah penuh. Persis tuna wisma, kami
berenam duduk di emperan toko sambil browsing lewat hape hostel terdekat dari
tempat kami. Alhamdulillah...kami nemu hostel yang jauh lebih keren dari hostel
sebelumnya dan bahkan jauh lebih keren dari hotel yang kami tinggali di KL. Namanya
Traveler’s Planet Hostel And Guest House. Bagi yang mau ke Melaka, tempat ini
sangat saya rekomendasikan. Selain murah (sangat), kamarnya luas dan fasilitasnya
lengkap plus pengelolanya tiga orang bapak-bapak yang sangat ramah meski salah
seorang dari mereka bertampang sangar dan bertato. Hehe...benar-benar jangan
menilai seseorang dari penampilannya. Mereka bertiga baiiikkk sangat. Tempatnya
bersih, cozy, pokoknya tidak rugi nginap di sini. Dan ini murni pendapat
pribadi saya, bukan lagi ngiklan :D
Di Melaka kami jalan kaki dari
satu tempat wisata ke tempat yang lain karena jaraknya berdekatan. Mulai dari
museum Samudera yang berbentuk replika kapal Portugis, menara Tamim Sari,
Gereja Merah sampai ke Benteng Formosa peninggalan Portugis. Pas mau beli
souvernir di depan gereja merah eh yang jualan malah mbak-mbak dari Jawa. Jadilah
kami dapat souvernir dengan harga miring plus tukar-tukar cerita dengan
mbak-mbak itu.
Dan err...saya jatuh cinta dengan
Melaka :’)
Kota kuno dengan bangunan kuno...Melaka benar-benar saya banget. Haha...
Benteng Formosa |
Pas lagi foto-foto di benteng Formosa, saya melihat anak kecil kurus bertopi memakai baju merah yang becaknya dipinjam turis buat foto-foto. Anak kecil itu tidak menolak pas becaknya di’jajah’ buat jadi model foto para abege-abege SMA sampai sepasang turis suami istri. Seperti biasa, saya paling tidak bisa melihat anak kecil yang harus bekerja, narik becak lagi. Jadi saya ajak Ramla teman saya untuk menyewa becak anak itu. Awalnya kami ragu, jangan-jangan dia tidak mampu memuat kami berdua di becaknya. Tapi dengan senang hati dia menerima tawaran kami untuk berkeliling satu putaran naik becak sampai ke hostel. Pertama naik, saya tanya lagi ke anak itu untuk memastikan ‘bisa dek bawa kami naik becak?’ dan dia mengangguk mantap. Terus pertanyaan penting yang harus selalu saya tanyakan pada anak kecil yang bekerja adalah ‘sekolah tidak?’. Bagi saya itu pertanyaan terpenting untuk mereka. Tidak apa sih bekerja membantu orang tua, tapi mereka harus sekolah! Alhamdulillah anak itu menjawab dengan riang kalau dia sudah pulang sekolah. Sampai di hostel kami membayar 20RM ke adik itu dan ditambah 5RM oleh Ramla. Dia senang, Ramla juga senang. Semua senang *halah*
Bayangkan tubuh sekurus ini mengangkut dua orang cewek doyan makan tidur |
Setelah maghrib pukul 7 kami keliling
Melaka naik bus tingkap dan duduk di lantai dua yang terbuka. Seru juga
keliling naik bus ini, apalagi harganya murah. 5RM saja kami sudah bisa
mutar-mutar seluruh Melaka. Setelah itu pergi ke tepi sungai Melaka untuk naik
perahu keliling sungai. Kami akan menempuh jarak 9 KM dalam waktu 45 menit. Cukup
romantis, mungkin rasanya beda tipis dengan sensasi naik perahu di Venesia. Haha...
apalagi di perahu diputar lagu-lagu lawas nan romantis.
Tepi sungai Melaka. Kurang romantis apa coba? *pake toa* |
Turun dari perahu, kelaparan tapi
sudah malam. Jalan kaki nyari tempat makanan yang buka tidak ada. Semua sudah
tutup. Dengan sangat terpaksa kami harus antri di McD yang buka 24 jam dan
tidak menjual nasi! Ini benar-benar sebuah siksaan! I have to eat burger for my very late dinner! Di saat seperti ini
baru saya merasa benar-benar rindu rumah dan rindu nasi! Sudah kaki pegal-pegal
lagi, saya harus melahap burger dengan banyak mayones itu. Euchhh... saya benci
mayones.
Junk food *aish* |
Ngomong-ngomong saya punya satu
kejadian memaluken di Melaka saat saya memutuskan jalan-jalan sendiri sementara
teman-teman yang lain pergi makan. Saya ditertawai seorang bapak-bapak dan
anaknya gara-gara berdiri bengong saja di pinggir jalan menunggu traffic light berubah jadi warna merah
agar bisa menyeberang. Ternyata oh ternyata, jalan yang cuma satu arah itu
lampu merahnya tidak akan menyala kalau tidak ditekan tombol dengan gambar
pejalan kaki yang ada di tiang traffic
light. Dem! Pantas sejak saya berdiri di pinggir jalan tadi lampunya tidak
merah-merah juga dan tetap ijo mempesona. Setelah ada seorang bapak-bapak dan
anaknya yang ingin menyeberang dari arah yang berlawanan dan mereka menekan
tombol pejalan kaki yang ada di tiang traffic light barulah saya ngeh kalau
saya sudah berdiri bengong untuk alasan yang salah. Saya ditertawakan dong sama
mereka. Ugh...mana saya tau kalo lampunya tidak otomatis merah sendiri. di
Indonesia kan saya tidak pernah liat, apalagi di Luwuk *cedih cekali*
Tombol nista yang bikin saya diketawain anak kecil |
cedih skali,,hihihi
ReplyDelete