Sekarang... Cinta


Apa kau pernah berpikir sekeras apa aku berusaha untuk menghindar darimu? Dari senyummu itu, dari tawamu itu? Aku benar-benar berharap kita tak ditakdirkan bersama. Aku benar-benar berharap kita memiliki jalan hidup masing-masing yang tidak harus saling bersinggungan. Aku dan dia, kau dan entah siapapun yang kau inginkan. Aku memang mencintaimu dan aku tidak pernah bilang aku telah kehilangan cinta itu. sama sekali tidak. Tidak ada yang benar-benar pergi, tidak ada yang benar-benar habis. Cinta itu masih selalu ada di sana, di tempat muasalnya hadir dan aku tidak pernah berusaha untuk mengusirnya pergi. Saat ini aku hanya lebih paham, ada seseorang yang benar-benar telah mewarnai hidupku dan aku bahagia karenanya. Aku hanya ingin hidup bahagia dari sisi sederhananya. Itu saja...

Kau membelai rambutku dan menyandarkan kepalaku di bahumu, sama sekali tak ingin berargumentasi denganku. Kau mendekapku, membuatku terdiam. Aku tahu, aku bisa merasakannya. Cintamu masih begitu besar dan semakin bertambah besar untukku dibanding saat pertama dia hadir di dalam hidup kita. Seperti lembah yang tengah kita tatap saat ini, seperti rumput yang tengah menyangga kita saat ini, seperti langit yang tengah memayungi kita saat ini. Bisakah kau tak melakukan apapun dan membiarkan aku dengan keinginanku? Bisakah aku menghidar darimu sementara kita berdua selalu saja dilekatkan oleh takdir. Bisakah kau memberiku celah untuk menyapanya dari lubang kecil yang kau buat?

Aku rasa tidak.

Aku bukan orang yang senang memberikan kesempatan kedua, bahkan untuk cinta itu sendiri. Jika cinta itu ingin pergi, maka aku tidak akan pernah mencegahnya dan jika dia ingin kembali, aku tidak pernah punya keinginan untuk mempersilahkannya hadir. Kau telah memilih untuk pergi dulu dan tidak akan pernah ada kesempatan kedua untuk itu, tidak bahkan untuk seseorang seperti dirimu yang sangat aku cintai. Cinta tidak akan pernah cukup membuatku mengubah pendirianku.

Aku bisa merasakannya, tetes hangat itu ketika dia jatuh di keningku. Tapi aku diam saja, berpura-pura tak peduli. Kau menangis, itu urusanmu. Urusanku adalah untuk terus menolakmu sekuat tenaga bahkan hingga tenagaku habis. Aku tidak peduli kita telah menikah, kau telah berhasil membuatku tak berkutik di hadapan keluarga besarku, aku tidak peduli. Sama sekali tidak. Bertahun-tahun kau membiarkan aku berjuang sendiri memperbaiki semuanya yang telah kau hancurkan. Hati itu, harapan-harapan itu, mimpi-mimpi hebat itu – semuanya. Jadi aku tidak ingin kau kembali, menemukan diriku yang telah kembali utuh kemudian menginginkan aku lagi. Itu lucu!

Kau menangis, tanpa suara. Penyesalan? Aku menggeleng. Kau tidak menyesal, kau hanya terlalu takut untuk mencintai orang lain. Kau tahu kita tidak akan bahagia. Tidak. Selama ada orang lain yang memberikan aku kebahagiaan itu.

Aku juga menangis, menangis seseunggukan di bahu kakak perempuannya saat kakaknya datang menghampiriku di depan semua orang yang datang dan menyangka aku tengah menikmati hari kebahagiaanku. Aku memeluk erat kakaknya, benar-benar tak ingin melepasnya. Aku mencintainya, aku mencintai dirinya, kakak perempuannya, ibunya, semuanya. Aku seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal oleh ibunya, menangis tak mau membiarkan dia pergi dan membuat semuanya selesai. Seharusnya dia tidak datang! Aku benci diriku yang tak berusaha lebih keras. Dan aku membenci dirimu!

Air matamu masih mengalir, aku masih merasakan dahiku yang basah. Apa yang sebenarnya tengah kita lakukan disini? Saling membicarakan penyesalan kita untuk hal yang tidak kita lakukan? Apa yang kita inginkan? Menatap hampa lembah di depan sana dan menangis? Berharap ada keajaiban kita bisa tersenyum bersama seperti dulu? Aku benar-benar tak ingin kembali ke masa lalu. Aku mencintainya.

Tiba-tiba kau tidak lagi berada di sisiku dan telah duduk berlutut di depanku, memandangiku dengan matamu yang basah itu. apa yang kau inginkan? Berhentilah menatapku seperti itu!

Aku tau kau ingin menggenggam tanganku tapi aku menariknya menjauh dari tanganmu. Aku tidak ingin. Genggaman tanganmu dingin, tak seperti genggaman tangannya. Kau berlutut di atas rumput yang basah, memandangku lama.

“Aku mohon...”
“Semuanya telah lewat”
“Aku ingin kita mengulangnya dari awal”
“Aku lelah harus mengulangnya lagi. Aku hanya ingin berhenti berjalan. Jika kau ingin berjalan tanpaku, aku tidak keberatan”
“Aku mencintaimu”
“dulu...”
“dan sekarang”
“sekarang tidak. Cintamu hanya ada di masa lalumu. Kau meninggalkannya di sana. Sekarang bukan cinta, hanya ambisi, hanya keegoisan.”
Mataku menyipit, menghindari cahaya matahari yang tiba-tiba menyelimuti kami. Sudah senja. Bukankah kita dulu berpisah saat senja? Aku memandangimu, tersenyum.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor