Low Cost Carrier Part II

Yak! Setelah satu setengah hari terbaring sakit, akhirnya saya berkesempatan melanjutken tulisan ini.

Singapura

Melaka – Singapura sebenarnya cuma butuh waktu tempuh tiga jam tapi molor jadi empat jam gara-gara ada kecelakaan parah di jalan tol. Sampai di perbatasan Malaysia – Singapura di Woodlands, kami disuruh turun dari bus menuju imigrasi (lagi). Nah, saat di imigrasi Singapura dua orang teman saya ditahan. Satunya karena nama di paspornya beda satu huruf dengan nama di KTP (lagian juga kenapa sik KTP diselip-selip di paspor? Ria...Ria...) satunya lagi – mungkin – gara-gara jawab ‘sudah’ untuk pertanyaan apakah tiket bus ke Thailand sudah dibeli atau belum. Kenyataannya kami belum beli tiket.

Bus yang mengangkut kami dari Melaka menunggu semua penumpangnya selesai diperiksa di bagian imigrasi. Supir busnya itu agak menyebalkan waktu kami bilang dua orang teman kami masih ditahan di imigrasi dan meminta dia menunggu sebentar lagi. Entah dia marah-marah atau nada bicaranya memang begitu, dia bilang dia sudah tidak bisa menunggu lagi karena waktu sudah molor dari jadwal dan meminta dua orang teman kami yang masih ditahan itu menunggu bus yang lewat selanjutnya. Mungkin karena shock atau panik atau apalah, saya tidak bisa mikir dan malah iya-iya aja pas busnya pergi meninggalkan dua orang teman saya. Jengjeng! Kami terpisah di negeri antah berantah tanpa alat komunikasi yang memadai karena kami masih menggunakan kartu SIM lokal Malaysia.

Tak mau panik, kami memutuskan langsung ke hostel lebih dulu daripada harus nongkrong di pinggir jalan Singapura membawa tas sebesar Optimus prime di bawah terik matahari. Jadi kami menuju stasiun MRT terdekat untuk menuju China Town di Mosque Street. Sampai di dalam stasiun, kami bengong. Sumpah, beneran bengong! Tidak tau harus ngapain, kami bertanya ke CS gimana cara beli tiketnya. CS-nya nunjuk mesin jual tiket yang ada di pojok. Kami mendekat, menerka-nerka apa yang harus kami lakukan dengan mesin itu. Gampang sik, tinggal tekan-tekan layar sentuh mesinnya, pilih daerah yang dituju dan akan muncul berapa biayanya. Tinggal dimasukkan uang ke mesin maka keluarlah tiket sekali jalan dari City Plaza ke China Town. Kami terkesima. Canggih bener! Kalau di Indonesia mah masih pakai tenaga manual alias tenaga manusia buat menjual tiket busway.

Di hostel saya menunggu dua orang teman sekamar saya yang ditahan imigrasi itu. Mereka belum datang-datang juga padahal hari sudah sore. Karena malas bengong sendirian di kamar dan tiga orang teman lain ada di kamar mereka masing-masing di bangunan sebelah sementara saya tidak punya kartu akses untuk masuk ke bangunan sebelah, saya memutuskan jalan ke China Town dengan maksud untuk membeli pulsa dan menelepon teman saya yang masih terjebak di imigrasi. Catat itu! Cuma untuk beli pulsa! Nyatanya saya malah mendapati diri saya sudah ikut ngantri beli kartu pas dua hari unlimited untuk naik MRT kemanapun. Benar-benar impulsif! Maka bisa ditebak, sore itu saya jalan sendiri keliling Singapura dan tujuan pertama saya adalah Merlion Park.
2 Days Pass :p
Peta Jalur MRT

Saya turun di stasiun Raffles Place dan kelaparan. Jalan kaki dikit ketemu restoran muslim milik orang India. Saya pesan nasi (akhirnya ketemu nasi) dan ayam kari. Enak! Banget banget. Karinya benar-benar kaya rempah. Tapi pas bayar rasa enak itu terbang entah kemana. 5 dollar ding yang artinye harganya sekitaran 40 rebu. Wuahh...mulai terasa deh mahalnya kota maju seperti ini. Eh, pas saya tanya ke pemilik restonya dimana Merlion Park, dia cuma bengong. Ternyata saya salah sebut. Hihi...harusnya bilang Merlaien Park, bukan Merlion Park. Pantes bapak-bapak itu tidak ngerti #eaaa.

Jalan kaki menyusuri sungai sampai di Esplanade Park saya ketemu sepasang suami istri yang lagi foto-foto dengan latar Marina Bay Sands. Mereka minta tolong ke saya untuk mengambil gambar mereka. Setelah nanya-nanya, ternyata beliau berdua dari Indonesia juga. Berdua saja ke Singapura. Sederhana. Romantis. Saya diajak sama-sama nyari jalan ke Merlion. Istrinya heran liat saya cuma jalan sendiri. Apalagi pas saya bilang ini pertama kalinya saya ke Singapura. Pasti di pikiran ibu itu saya nekat bener. Mejeng sendirian jalan-jalan, pertama kali pulak, cewek lagi. Iyalah bu, daripada saya bengong di kamar sendirian.
Melaien Park :D

Pulangnya saya nyasar! Dua jam saya mutar-mutar cuma buat nyari stasiun MRT. Saya malah nyasar ke Fort Canning Park, museum pemadam kebakaran sampe kantor parlemen Singapura. Pokoknya di sekitaran situlah. Tapi enaknya, saya bisa melihat banyak spot-spot keren Singapura menjelang malam hari. Untunglah saya ketemu stasiun MRT City Hall. Sebenarnya stasiun City Hall dan Raffles Place itu kalo di peta MRT cuma sebelahan. Tapi karena saya buta arah, saya sampe nyasar di tempat yang sama dua kali. Coba kalo saya tidak nyasar, saya masih mau lanjut ke Jurong Bird Park. Sayang karena takut pulang kemalaman dan takut MRT tidak beroperasi lagi, saya buru-buru pulang.
Pemandangan Kala Tersesat

Kalau Tidak Tersesat Mana Bisa Liat Yang Ini


China Town Dari Atas Jembatan Penyeberangan

Ada satu pelajaran yang saya dapat di Singapura. Siapa yang hidupnya santai tidak akan bisa bertahan hidup di sini. Saya takjub melihat orang-orang Singapura yang berjalan cepat-cepat di stasiun MRT padahal keretanya selalu ada setiap beberapa menit. Belum lagi di dalam kereta semua sibuk dengan gadget masing-masing dan tidak ada yang saling tegur satu sama lain. Itu juga terjadi di stasiun, tidak ada yang saling sapa padahal saya yakin sekali, di kota sekecil ini pastilah orang dengan mudahnya saling mengenal satu sama lain. Bahkan eskalator di Singapura pun jalannya cepat. Mereka seperti tak mau membuang-buang waktu semenit pun. Bagus sih, tapi mengerikan juga karena setiap orang jadi terlihat seperti robot yang sudah diprogram.

Sampai di China Town *bernafas lega* saya singgah di Sevel beli air mineral yang harganya jengjeng 2 dollar! Enam belas ribu hanya untuk sebotol air mineral seharga lima ribu di Indonesia! Rasanya saya ingin ngunyah mesin kasirnya. Lagi asyik jalan kaki keliling China Town liat-liat lampion yang bertaburan, hujan turun dengan deras. Buru-buru saya berlari ke hostel dan menyebalkennya, saya baru ingat kalau saya tidak dikasih kartu kunci untuk naik ke kamar saya. Iseng saja saya tempel-tempelkan kunci manual saya ke mesin sensor, siapa tau ada keajaiban datang dan pintunya membuka. Sayang keajaiban tidak datang, yang datang malah pria bule yang menyapa saya dengan sangat ramah. ‘Excuse me, you have to use the card to open the door’ ucapnya sambil menahan tawa. Mungkin dikiranya saya seudik itu sampe tidak tau cara buka pintu (ini pikiran saya saja yang lagi esmosi karena kecapekan abis ngukur jalan di Singapura).  ‘I’ll show you the card’ dia mengeluarkan kartu kunci dari dalam ranselnya, masih menahan senyum. Aish! Masa sudah diketawain sama bapak-bapak dan anaknya di Melaka, kini saya diketawain sama cowok bule yang ramah itu.

‘They didn’t give me the card’ saya coba menjelaskan, yang berarti saya semakin menujukkan ketololan saya kepadanya. ‘No, no...they have to give you the card’ dia geleng-geleng kepala. Kemudian dia mengajak saya ke ruang resepsionis untuk meminta kartu kunci. Buru-buru saya merangsek masuk ke ruang resepsionis dan bicara dengan cepat kalau saya ingin ke kamar saya dan saya tidak punya kartu kunci, hanya punya kunci manual, dan kartu kunci hanya dipegang satu orang teman saya saja. Hanya dalam satu tarikan nafas saya menjelaskan semuanya. Resepsionisnya bengong, saya juga bengong. Dan err...bukannya kasih saya kartu kunci dia malah bilang ‘excuse me, do you speak english?’

Jengjeng! Teroretnengnong! *suara lagu dangdut remix heboh memenuhi telinga saya*

Saya baru sadar tidak semua orang Singapura bisa bahasa melayu. Langsung deh demi menyamarkan rasa malu, saya merepet persis MRT. ‘I wanna go to my room but my friend took the card. They didn’t give it to me, I just have this key’ saya nunjukin kunci manual ke mereka. Krik..krik...bengong lagi. Untunglah salah seorang dari mereka punya ide brilian dengan mengajak saya ke depan pintu kemudian membukakan pintu dengan kartu yang dia punya. Dari tadi kek! Etapi saya lupa bilang terima kasih sama si bule yang tadi senyum-senyum liat saya ngutak-ngatik pintu masuk. Biarkan saja deh, siapa suruh meremehkan kemampuan saya berinteraksi dengan segala sesuatu yang serba elektronik di Singapura (#eaaa...kata siape).

Selesai mandi saya dapat kabar buruk. Teman-teman tidak sanggup lagi ke Thailand. Jadi saya memutuskan pergi ke Hat Yai sendiri. Sendiri! Saya bertekad kuat harus ke Thailand apapun yang terjadi. Tapi ternyata saya tidak jadi pergi juga. Hiks... gara-gara pulang dari Universal Studio Singapura sudah hampir malam dan tidak dapat tiket jam 6 sore ke KL. Seharusnya rencananya sampai di KL saya langsung beli tiket bus ke Hat Yai pukul 11 atau 12 malam. Nyatanya kami sampai di KL jam 2 pagi, kucel, kumal, dan ngantuk berat. Jadi sisa waktu sehari untuk Hat Yai itu kami habiskan untuk pusing-pusing di KL, menyewa mobil bapak-bapak yang mengantar kami dari bandara tempo hari.

Dari Singapura kami naik bus lagi ke KL via Golden Mile Complex. Golden Mile Complex itu semacam tempat berkumpulnya berbagai agen bus dengan berbagai tujuan - awalnya saya pikir itu terminal. Dari China Town ke Golden Mile Complex kami memutuskan naik taksi biar tidak ribet. Tapi bahkan naik taksi pun kami harus berjalan sampai di tempat yang khusus disediakan untuk menahan taksi, tidak boleh sembarangan tahan taksi di pinggir jalan. Sampai di 'halte' taksi kami harus ngantri lagi karena banyaknya orang yang ingin naik taksi. Dan hanya di Singapura supir taksinya milih-milih jurusan yang mau dia angkut! Saya sampai bengong liat supir taksi dengan seenaknya menggeleng dan menolak calon penumpang yang sudah ngantri berjejer persis ulat.

Balik KL

Dengan 300RM kami diajak berkeliling KL seharian dimulai dari Putrajaya. Kami singgah di masjid Putrajaya untuk sholat dan lanjut ke Istana Negara Malaysia. Di sini turis bebas berfoto-foto di depan istana, bahkan berfoto dengan penjaga istananya yang tidak bisa bergerak kemana-mana. Pas lagi asyik foto hujan malah turun deras sekali dan kami juga sudah diminta pergi karena perdana menteri mau keluar dari istana. Dari situ kami lanjut ke Batu Caves.
Masjid Putrajaya

Istana Negara Malaysia

Batu Caves

Selesai sudah perjalan kami menjelajahi KL. Besok paginya kami ke bandara LCCT untuk balik ke Makassar. Di jalan ke bandara kami lewat sirkuit Sepang. Wuih...saya langsung membayangkan ajang balap-balapan kelas dunia di sirkuit itu. Kapan coba Indonesia punya satu sirkuit kelas dunia kaya gitu? Biar kalo mau liat Kimi Raikkonen tidak usah jauh-jauh ke Marina Bay maupun Sepang. Haha...

Sebelum berangkat, saya sholat di mushala bandara. Ketemu sama ibu-ibu dari Bandar Lampung yang mengeluhkan mahalnya harga barang-barang di Malaysia yang bisa mereka temui dengan mudah di Tanah Abang! (I’ve told you!). Kenapa saya tau mereka dari Lampung? Karena ada ibu-ibu yang bilang lebih enak di Bandar Lampung. Butuh apa-apa tinggal minta ke tetangga. Haha.. lagi-lagi pertanda itu mulai menghampiri *ngayal*

Oke, begitulah petualangan saya. Sekedar bocoran saja, saya tidak menghabiskan banyak uang karena bepergian dengan gaya bacpacker seperti itu. Yang jelas gaji sebulan masih bersisa lah. Makanya saya tidak beli oleh-oleh, saya ngirit teman-teman. Hehe...

21.08 PM
Kamar

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor