Tempat Nginap 'Horor'


Setiap kali bepergian tentu kita tidak bisa menyepelekan tempat kita menginap entah itu hostel atau hotel. Mengingat urusan tidur pun membutuhkan biaya yang lumayan (biasanya hampir 30% dari total budget jalan-jalan hanya untuk membayar hotel) makanya saya selalu berlama-lama menentukan pilihan hotel dimulai dari mengeceknya via Agoda atau Hostelworld, mengecek langsung ke web hotel yang bersangkutan, membaca review di TripAdvisor, membandingkan harga, fasilitas, barulah saya menentukan pilihan. Biasanya sih saya lebih suka dengan hotel yang review kebersihannya tinggi, masalah fasilitas dan yang lain-lain bisa nyusul. Yang penting bersih dulu. Siapa juga yang mau kalau sudah capek seharian jalan-jalan dan harus tersiksa batinnya menginap di tempat yang ‘nggak banget’.

Bicara soal kebersihan, saya punya cerita lucu dengan Ramla teman saya. Sepulang dari Bali dan hidup super nyaman selama 5 hari di sebuah hotel berbintang di Kuta, tentu saja tiba-tiba berada di sebuah hotel antah berantah di Manado dengan penampilan lebih mirip hotel tempat syuting film horor membuat kami tertekan. Karena sampai di Manado sudah tengah malam dan hotel yang sudah kami tentukan sejak awal untuk kami inapi ternyata sudah penuh (pesan moralnya, jangan pernah menyepelekan yang namanya book di awal), dengan sangat terpaksa kami harus menginap di sebuah hotel tua yang harga per malamnya cukup mahal. Belum cukup sampai di situ siksaannya, ternyata kamarnya pun apek sampai-sampai Ramla tidak tahan tidur di atas kasurnya. Remote AC-nya rusak, Siaran TV-nya diacak. Kamar mandinya jangan ditanya, bath tub-nya tidak berfungsi, shower-nya entahlah, enggan saya coba. Kumuhnya minta ampun. Saya saja yang masih menyempatkan diri untuk cuci muka benar-benar tersiksa dengan suasana kamar mandinya. Ramla jangan ditanya, dia enggan beranjak dari sudut tempat tidur dan berbaling melingkar persis ulat tidak mau menyentuh lebih banyak bidang di tempat tidur itu.

Maka bisa ditebak, esoknya, pagi-pagi sekali kami langsung menggeret koper keluar dari kamar hotel itu. Belum mandi, masih pakai baju tidur. Haha...

Saking tidak tahannya, tanpa ba bi bu kami langsung check-out dan pindah ke hotel yang lebih layak disebut hotel meskipun kami belum yakin hotel itu masih punya kamar kosong atau tidak. Alhamdulillah...masih ada sisa satu kamar kosong. Sampai di hotel yang baru, Ramla langsung mandi habis-habisan. Haha...

Tapi kalau mau lebih hemat lagi, usahakan di kota yang kita tuju kita punya kenalan atau saudara biar bisa nebeng gratis. Misalnya kalo mau ke Makassar saya nebeng di kost adik saya, kalau di Bandung nebeng sama Sari dan kalau di Surabaya malah tinggal pilih karena semua keluarga mama ada di sana. Makanya kenapa saya tidak berkeberatan kalo harus ke Bandung lagi, mumpung ada tempat nginap sekaligus guide yang gratis. Hehe. Sebagai budget traveller kita memang harus cermat dan hemat.

Selain itu lokasi juga jadi salah satu faktor saya memilih hotel. Misalnya waktu di KL saya sengaja pilih hotel di daerah China Town karena berada di tengah kota dan dekat dengan stasiun bus. Waktu di Jakarta saya sengaja pilih Studio One Hotel di dekat bundaran HI karena saya mau nonton bulu tangkis di Istora Senayan. Diliat dari Google Earth sih kayanya dekat sama Istora dan alamatnya sepertinya gampang saja ditemukan. Tapi ternyata seluruh supir taksi Blue Bird di Jakarta tidak ada yang tau nama jalan Talang Betutu yang sebelahan sama Jalan Teluk Betung itu. #Eaaa. Jadi kami harus mengeluarkan biaya ekstra karena setiap taksi (Blue Bird loh padahal) yang kami tumpangi harus mutar-mutar dulu nyari alamatnya. Dear manajemen Blue Bird, you should buy GPS for your fleet. Saya sama teman saya mana tau harus menjelaskan bagaimana ke supirnya. Pokoknya dari bundaran HI belok kiri masuk dalam, nyempil bla bla bla atau dari Jalan Jaksa tinggal lurus saja belok kanan bla bla bla. Benar-benar hotel yang menyengsarakan. Padahal per malamnya lumayan murah, hotelnya minimalis tapi elegan trus serba elektronik. Recommended sih, tapi untuk orang yang masih buta dengan Jakarta seperti saya sebaiknya cari saja hotel yang pas di depan jalan. JW Marriot misalnya.

Tapi fasilitas bukanlah segalanya. Saat di Poyalisa, kepulauan Togean, saya menginap di cottage yang airnya harus nimba, listriknya padam jam 12 malam dan tanpa signal telepon tapi tetap saja saya betah menginap di sana. Mungkin karena pemandangan di depan cottage yang super keren, pantai yang super jernih (warnanya turqoise loh), dan suasana yang super tenang, makanya saya seperti enggan beranjak pulang dari sana.

Ada juga budget hotel, namanya Tune Hotels. Dia mirip sama budget airlines, bayar yang diperlukan saja. Misalnya Cuma mau pakai AC 6 jam saja, nonton acara TV untuk 12 jam saja, bahkan kita bisa early check-in dengan membayar biaya tambahannya. Jadi kalau kita seharian jalan-jalan ya tidak perlu biaya tambahan seperti AC dan TV, cukup biaya menginap yang tentu saja lebih murah. Hotel ini baru ada di Malaysia dan Indonesia. Nanti kalau ke Jakarta lagi InsyaaLlah saya mau coba deh timbang nginap di hotel antah berantah di jalan Talang Betutu itu :D

16.42PM

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor