Buah 7 Macam
Diajak pergi ke acara seserahan harta sama Oom saya di sebuah desa yang berjarak cukup jauh dari Luwuk, apa yang saya pikirkan?
Yap! Travelling gratis
Mungkin ini yang namanya sindrom pra-nikah. Orang-orang mendadak jadi pikun dan panikan. Padahal semua barang-barang seserahan sudah disiapkan sejak semalam tapi adaaa saja yang kelupaan. Jadilah ibu-ibu mulai sibuk dan panik kesana-kemari melengkapi hal-hal yang kurang dan bapak-bapak pada sibuk makan. Saya sibuk bengong memerhatikan mereka. Belum lagi ritual-ritual yang dilakukan sama bapak 'tetua adat'. Mulai dari nyemprotin parfum di sapu tangan yang dipakai buat membungkus uang mahar (dan tante saya juga minta parfumnya, katanya biar bisa merasakan parfum dari Swedia yang dibawa sama Oom saya yang lainnya lagi. Haha.), bingung sendiri bagaimana lipatan sapu tangan buat membungkus uang mahar (saya mikir, apa pentingnya gimana model bungkusannya? Paling dilirik juga tidak), bahkan sampe keluar dari rumah pun harus sama-sama keluar dari pintu yang sama. Tidak boleh berpencar. Jahhh....
Kami yang ngaku-ngaku manusia modern terpaksa menahan ketawa mengikuti semua ritual itu. Termasuk mama saya juga.
Lagi asyik poto-poto, kami dipanggil karena acara seserahannya sudah mau mulai. Para dayang-dayang yang bertugas membawa seserahan lagi ganti baju bodo (baju adat Sulsel. Saya baru ingat masih punya campuran darah Bugis juga). Setelah semua ganti baju, seperti biasa bapak tetua adat kembali mengarahkan. Mereka disuruh baris seperti orang yang mau gerak jalan menuju rumah calon pengantin perempuan. Saya nyempil di barisan paling belakang rombongan sambil nahan ketawa. Malu. Diliatin satu kampung.
Yap! Travelling gratis
Hari ahad kemarin, jam 9 pagi saya sudah siap sedia di rumah Oom saya yang satunya lagi di kilongan dan err...ternyata kami baru berangkat jam 12 siang
Mungkin ini yang namanya sindrom pra-nikah. Orang-orang mendadak jadi pikun dan panikan. Padahal semua barang-barang seserahan sudah disiapkan sejak semalam tapi adaaa saja yang kelupaan. Jadilah ibu-ibu mulai sibuk dan panik kesana-kemari melengkapi hal-hal yang kurang dan bapak-bapak pada sibuk makan. Saya sibuk bengong memerhatikan mereka. Belum lagi ritual-ritual yang dilakukan sama bapak 'tetua adat'. Mulai dari nyemprotin parfum di sapu tangan yang dipakai buat membungkus uang mahar (dan tante saya juga minta parfumnya, katanya biar bisa merasakan parfum dari Swedia yang dibawa sama Oom saya yang lainnya lagi. Haha.), bingung sendiri bagaimana lipatan sapu tangan buat membungkus uang mahar (saya mikir, apa pentingnya gimana model bungkusannya? Paling dilirik juga tidak), bahkan sampe keluar dari rumah pun harus sama-sama keluar dari pintu yang sama. Tidak boleh berpencar. Jahhh....
Kami yang ngaku-ngaku manusia modern terpaksa menahan ketawa mengikuti semua ritual itu. Termasuk mama saya juga.
Dan berangkatlah kami menuju Balantak, desa yg selama ini cuma pernah sy dengar namanya.
Memasuki desa Lao dan Kayutanyo saya dimanjakan oleh pemandangan pantai berpasir putih yang sepi. Hhh....mungkin nanti jika mau main ke pantai saya akan ke desa ini. Lagian jaraknya tidak begitu jauh dari Luwuk. Di Kayutanyo saya bahkan disuguhkan pemandangan gradasi warna air laut dan air sungai yang bersatu di muara. Kerennya subhanallah... Biru campur turqoise campur hijau.
Memasuki desa Baya dan Bantayan sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan indah pedesaan yang benar-benar pedesaan. Sawah yang luas, sabana, tanah lapang, rumah-rumah mungil di tengah sawah, mata saya tidak bosan menikmati pemandangan desa. Sayang saya tidak bisa singgah buat foto-foto. Buru-buru soalnya. Yang pasti pemandangannya lebih keren daripada pemandangan sepanjang jalan ke Toili. Yang ini benar-benar masih desa.
Melewati sekolah SD Baya, saya baru menyadari darimana obsesi tinggal di daerah pedesaan dalam diri saya ini berasal. Saya pernah tinggal di desa Baya selama 2 tahun waktu saya kecil karena mama pernah ditugaskan jadi guru di desa itu. Haduh, kenapa cuma 2 tahun? Padahal kalo saya dibesarkan di desa itu kan keren juga. Masa kecil saya bisa saya habiskan di sawah atau di tepi hutan, bukannya duduk manis di depan rumah liatin orang lewat -___-"
Sayangnya, keluar dari kecamatan Luwuk Timur tidak ada lagi pemandangan pedesaan yang indah karena kami mulai memasuki hutan, hutan, dan hutan.
Sampai di desa Toku, Balantak Utara saat ashar. Eeh...ternyata desanya ini di tepi pantai. Selesai sholat, saya langsung kabur ke pantai. Biasa...poto-poto. Tapi tidak ada yang bisa motoin saya. Untung sepupu saya yang masih kelas 4 SD datang, langsung saya suruh jepret-jepret. Hasil fotonya lumayan bagus (foto pemandangannya, bukan orangnya). Sepertinya dia berbakat jadi tukang foto nanti *tepok bahu Billy*
Hasil jepretan Billy, sepupu kelas 4 SD saya |
Sampai di rumah calon pengantin perempuan, saya juga ikut gabung sama para tetua kedua keluarga yang mau membicarakan hari-H. Soalnya saya penasaran jadi saya rela duduk dikerubungi asap rokok bapak-bapak tetua kedua keluarga yang mulai serius bicara. Pertama mengecek satu persatu barang seserahan mulai dari perlengkapan tempat tidur, sendal, sepatu, pakaian dalam, perlengkapan mandi, kue, sebilah golok, kain putih 20 meter dan 7 macam buah-buahan (seserahan semacam ini tergantung kerelaan pihak laki-laki jika memang tidak merasa keberatan. Tapi klo keberatan, ya tidak usah memaksakan diri. Yang penting kan akadnya kan? Kan? Bukankah perempuan yang paling banyak berkahnya itu adalah perempuan yang paling ringan maharnya?)
Jadi pas mau menentukan hari-H dan jam akad agak tegang gitu, ditambah dengan adanya si bapak-bapak muka tegang yang setiap kali beliau bicara seperti mau nabok lawan bicaranya. Bukan ngotot-ngototan sih sebenarnya, hanya berusaha mencocokkan dua kebiasaan masyarakat dari tempat yg berbeda. Jadilah kesepakatannya akad nikah ba'da ashar disambung resepsi ba'da isya. Btw, bapak-bapak muka tegang itu ternyata gaya bicaranya memang gitu. Beliau tidak lagi marah. Hihi...maapken saya ya pak!
Setelah semuanya selesai dan kami sudah siap-siap mau pulang, tau-tau saya dikasih sebutir apel dari seserahan 7 macam buah yang tadi. Katanya menurut adat (entahlah adat darimana), siapa yang makan buah dari seserahan itu bisa cepat nyusul menikah. Biar saya cepat laku katanya.
Saya cuma nyengir. Selain merasa terhina (masa saya dibilang tidak laku-laku?!) hal kecil begini bisa jatuh jadi sirik kalo sampe ada yang percaya dan benar-benar meyakininya. Okeh, klarifikasi saja, saya bukan tidak laku, hanya saja perempuan itu bukan barang obralan yang bisa 'dijual' dengan mudah. Kami butuh orang yang bisa 'membeli' kami dengan 'harga' yg tinggi, dan 'harga' yang tinggi itu tidak bisa dinilai dari uang dan materi duniawi lainnya (tsaahh...bahasanya).
Akhirnya rombongan keluarga calon pengantin pria pun pulang, dilepas oleh lambaian tangan dari keluarga calon pengantin perempuan.
Well, ini pertama kalinya saya hadir di acara seperti ini. Kebudayaan yang beragam membuatnya tampak unik dan menarik. Tidak masalah selama tidak melanggar syariat. Mungkin ini jadi pembelajaran dan pengingat buat saya, dalam kondisi krusial seperti masa-masa menjelang pernikahan ini, hal sekecil apapun bisa jadi masalah besar jika kita tidak meluruskan niat dan bergantung pada Allah. Bukankah setiap ada anak Adam yg akan menikah, syetan menjadi pihak yang paling sibuk untuk mengacaukan pernikahan itu? Syetan tidak menyukainya karena pernikahan membuat apa-apa yang dulunya diharamkan menjadi halal. Bahkan genggaman tangan sepasang suami istri dapat menggugurkan dosa-dosa mereka. Dalam rentang waktu itu konflik kecil pun bisa jadi besar. Dan kalimat yang selalu saya yakini, jika memang yang kita lakukan itu bukan untuk bermaksiat pada Allah, jika memang yang kita lakukan itu adalah ibadah, jadi segala halangan dan tantangan yang kita dapatkan dalam menempuhnya bukan berarti Allah tidak ridho. Allah hanya ingin melihat sejauh apa upaya kita untuk mencapainya :)
12.06
CPS Simpong
Comments
Post a Comment