Embun Tentang Tegar
Berikan sedikit waktu, dan biarkan jemari ini menari
untuk menerjemahkannya
Sanggupkah saya menerima semua resiko itu? Dengan mencintai
seseorang sepertimu?
Ataukah rasa cinta saya tidak cukup besar untuk
membuat saya kuat menanggung segala resiko itu? Bukankah seharusnya cinta
memberi kita kekuatan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan? Bukankah
cinta punya ha-hal ajaib untuk membuat kita tetap bertahan dalam dunia yang
tidak kita inginkan?
Saya tau, kau pun butuh untuk berkorban hingga dapat
sampai di titik ini. Saya pun berkorban agar bisa sampai di titik yang sama denganmu.
Tapi ketika kita mencapai titik yang sama, saya menjadi ketakutan dan ragu.
Saat ini saya benar-benar tak tau apa yang harus saya
lakukan. Saya bingung jalan seperti apa yang harus saya lewati. Melewatinya
bersamamu atau tanpamu. Saya takut telah memilih teman seperjalanan yang salah,
tapi saya juga takut melewati jalanan itu sendirian saja tanpamu. Bukankah
cinta adalah sebuah kebiasaan?
Saya hanya meminta waktu, meminta jeda untuk berlari.
Mungkin memang saya lelah, mungkin juga saya dipaksa untuk berhenti berlari.
Ada banyak kemungkinan untuk itu. Dan maukah kau menunggu, Tuan pemilik segala
hal yang saya kagumi?
Embun
***
Jemari Embun menjadi kaku, membuat pena yang digenggamnya terlepas dan
jatuh menggelinding di atas lantai. Seperti inikah rasanya? Takut akan perasaan
sendiri? Seperti inikah rasanya? Tidak menginginkan orang yang kita cintai.
Seharusnya ini bukan cinta.
Bagaimana mungkin saya mengatakan saya mencintainya sementara saya tak
menginginkan dia menjadi bagian dari hidup saya untuk berpuluh-puluh tahun
kemudian? Saya tau ada yang salah. Cinta tak seperti ini. Cinta selalu
sederhana. Pasti ada yang salah.
Tubuh Embun menggigil. Rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Rasa takut
kehilangan bercampur rasa takut untuk memiliki. Dia tidak mengerti, ada apa
sebenarnya? Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan Tegar, di sisi lain dia
tidak menginginkan Tegar menjadi bagian dari hidupnya. Ada apa ini? Tidak bisakah
cinta yang dia rasakan menjadi lebih sederhana seperti cinta orang kebanyakan?
Tidak bisakah dia berlari menyambut kedatangan Tegar dengan wajah bahagia? Tidak
bisakah dia menjalani perasaannya seperti perasaan orang kebanyakan?
Dia mencintai Tegar dan Tegar ingin menikah dengannya. Seharusnya dia hanya
perlu mengangguk dan mengatakan ‘ya’. Sesederhana itu. Seharusnya dia
mengangguk dengan penuh keyakinan, menyadari betapa beruntungnya dia akan
menikah dengan orang yang dia cintai ketika banyak gadis-gadis di luar sana
yang tidak bisa menikah dengan orang yang mereka cintai. Tapi ketakutan aneh itu
tiba-tiba menggerogotinya, memaksanya untuk berpikir ulang, berkali-kali,
benarkah dia ingin menghabiskan hidupnya dengan Tegar? Dengan Tuan pemilik
segala hal yang dia kagumi?
Embun berusaha keras meraih pena yang tergeletak pasrah di atas lantai sambil
berusaha keras menahan tangannya yang bergetar dan tubuhnya yang menggigil. Dia
butuh Tegar saat ini sekaligus sangat ingin melarikan diri dari Tegar.
Saya mencintaimu, Tegar. Seperti saya
mencintai Senja.
Tapi saya juga takut, seperti
ketakutan saya pada malam yang akan menjelang setelah senja pergi.
Seharusnya saya mencintai pagi hari,
atau malam hari, asal jangan mencintai Senja.
Apa yang harus saya lakukan Tegar? Dengan
diri ini? Dengan perasaan ini? Saya tidak tau. Saya sama sekali tidak tau.
Embun meremas berhelai-helai kertas yang ada di depannya kemudian
menghamburkannya ke atas lantai. Dalam sekejap lantai kamarnya berubah menjadi
lautan kertas putih yang penuh dengan coretan tangannya.
Saya tidak tahu, Tegar. Saya sama
sekali tidak tahu.
13.57PM
Comments
Post a Comment