Bukan Batu Dari Langit


Macet. Selalu begini jika terburu-buru pergi ke suatu tempat. Percuma aku menekan klakson berkali-kali hingga kupingku sendiri pun berdenging. Tak ada yang mau peduli kalau 3 jam lagi pesawat yang akan membawanya ke ke Merauke berangkat. Tak ada yang mau peduli kalau aku butuh bertemu dengannya sebelum dia benar-benar pergi ke sana dan lupa untuk pulang menemuiku lagi. Paling tidak aku masih punya waktu 3 jam yang sepertinya akan terbuang sia-sia di atas jalanan ini.

“And when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it” dia membacakan sebuah kalimat dari dalam buku The Alchemist yang sedang dibacanya. Aku pernah mendengar kalimat itu, atau membacanya. Lupa. Yang pasti itu bukan kalimat asing. Banyak yang telah menulisnya berulang-ulang entah itu di status facebook mereka atau di twitter. Siapa yang peduli? Ada banyak orang yang menginginkan banyak hal. Apa seluruh jagat raya juga harus berkonspirasi untuk membantu keinginan mereka? Lucu!

Kemacetan di depan mulai terurai. Mobil mulai bisa berjalan perlahan. Pelan sekali sampai-sampai aku merasa sedang tidak bergerak maju. Sekali lagi aku menekan klakson. Rasanya aku ingin berteriak pada semua kendaraan di depanku agar mereka mau membantuku meraih kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya.

“Kau tau, sebenarnya menyerah dan melepaskan adalah pilihan paling mudah yang bisa kita ambil. Kita tidak perlu bersusah-susah lagi untuk memperjuangkannya. Tapi kenapa kita tidak mau mengambil pilihan yang sangat mudah itu? kita malah lebih memilih untuk merasa capek, merasa lelah, merasa tertekan dengan semua upaya yang kita lakukan”

Aku memandangi bola matanya yang berkedip beberapa kali. Iya, kenapa? Kita punya pilihan yang mudah tapi kita malah mengambil pilihan yang sukar. Kenapa?

“Karena kita tau, tak selamanya pilihan yang mudah itu bisa membahagiakan” jawabku, berusaha tersenyum.

Aku menekan pedal gas perlahan. Kini kecepatan mobilku 40 km/jam. Aku masih berharap di depan sana kemacetan benar-benar habis. Masih ada waktu dua jam. Ah, seharusnya aku menyadarinya lebih awal. Bahkan sebelum dia memutuskan untuk pergi ke Merauke. Atau paling tidak pada malam sebelum dia pergi ketika dia meneleponku. Seharusnya aku mencegahnya.

“Kenapa harus Merauke?” tanyaku meskipun aku tau apa jawabannya.

Dia hanya tertawa kecil di seberang. Dia tau aku tau jawabannya.

“Tidak ada cinta yang datang mendadak. Sebab dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit” dia menarik nafas panjang.

“Apa maksudmu?”

“Itu kalimat dari Jean Marais untuk Minke”

“Oh...” aku ingat dia baru saja menyelesaikan buku Bumi Manusia entah untuk yang keberapa kalinya.

“Mencintai adalah sebuah kepastian. Sepasti batu yang akan hancur jika perlahan-lahan ditetesi air. Sepasti bumi yang mengitari matahari, sepasti adzan maghrib yang akan berkumandang ketika matahari terbenam. Tapi kepastian itu akan terjadi jika kita berada dalam kehendak yang sama, dalam sebuah ‘budaya hati’ yang sama. Benar, cinta bukan batu dari langit yang akan jatuh dengan tiba-tiba menghempas bumi. Jika cinta adalah anak kebudayaan, maka kebudayaan itu adalah kebersamaan, ketertarikan pada hal yang sama, tertawa pada hal yang sama...”

“Apakah kita punya ‘budaya hati’ yang sama?” potongku.

Dia tidak menjawab. Hanya memberiku ucapan selamat malam dan menyuruhku segera tidur. Dia tau aku selalu tidur pukul 10 malam dan sekarang sudah sejam lewat dari kebiasaanku itu.

Aku tersenyum bahagia ketika melihat ujung dari kemacetan. Akhirnya. Rupanya ada kecelakaan di depan sana. Beberapa orang polisi dan petugas jalan raya berusaha mengarahkan kendaraan yang lewat. Sedikit lagi. Aku tidak akan terlambat. Jarak normal perjalanan ke bandara hanya memakan waktu 1 jam. Aku masih bisa mengejar pesawatnya. Semoga penerbangannya delay. Semoga...semoga...

Aku tidak pernah mengendarai mobil sekencang ini sebelumnya. Pedal gas aku injak penuh, menyalip kendaraan yang menghalangi jalanku. Sedikit lagi. Aku tidak mau terlambat. Tidak sebelum aku bertemu dengannya.

Aku berlarian dari tempat parkir menuju pintu keberangkatan. Di depan pintu terpampang jadwal penerbangan. Dia akan transit di Makassar lebih dulu dan pesawat ke Makassar baru akan berangkat 50 menit lagi. Alhamdulillah...tak terasa air mataku menetes.

Aku berlari menuju pintu masuk. Ditahan seorang petugas bandara yang ingin melihat tiket pesawatku. Aku menggeleng, kemudian memelas agar dibiarkan masuk dengan pengawalan sekalipun. Petugas itu tetap menolak. Aku menjelaskan alasanku, dia berpikir sebentar. Aku melirik jam tanganku. Tinggal 45 menit lagi.

And when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.

Aku melihatnya berjalan keluar, perlahan melangkah ke arahku...

***

“Kenapa kita lebih memilih pilihan yang sulit? Karena kita lebih mempersiapkan diri kita untuk berjuang alih-alih mempersiapkan diri kita untuk menyerah. Kita lebih memilih merasa kelelahan karena berjuang daripada merasa kelelahan karena penyesalan. Bukan begitu?”

Dia mengangguk. “Dan karena tak ada perjuangan yang sia-sia” lanjutnya.

“Sekalipun kita gagal?”

Kembali dia mengangguk “ya, sekalipun kita gagal, tidak akan ada yang sia-sia...”

“Menurutmu kita telah gagal?”

Kali ini dia tak menjawab, hanya memandangiku dengan pandangan lembut yang selalu dia berikan. Sesaat kemudian aku merasa dia hendak mengangkat tangannya dan mengusap kepalaku. Tapi dia tak melakukannya. Tidak akan bisa selama kami belum berhasil memperjuangkannya.

“Aku tidak ingin kita gagal” ucapnya, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya “tidak setelah apa yang kita lewati. Kita telah menjadi dewasa bersama-sama, dan aku ingin kau menemaniku untuk terus lebih dewasa. Tapi ini keinginanku, belum tentu ini adalah keinginan Allah juga.”

“Darimana kita tau kalau ini bukan keinginan Allah juga? Bagaimana jika ternyata Allah hanya ingin menguji kita sejauh mana kita bertahan untuk memperjuangkannya? Ketika kita akhirnya menyerah – dan kita sadar kalau menyerah adalah sebuah kesalahan – apakah kita akan menyesal? Apakah kau akan menyesal?”

“Pasti...akan ada hikmahnya. Penyesalan pun hikmah bukan?”

“Darimana kita bisa tau Allah telah berkata ‘tidak’ untuk hal yang kita perjuangkan ini?”

“Ketika kita menyerah. Itulah ketika Allah mengatakan ‘tidak’ untuk perjuangan kita. Kitalah yang memilih jawaban ‘tidak’ dari Allah. Allah Maha Tahu. Kita dibiarkanNya berusaha dan ketika kita lelah dan menyerah, Allah telah menyiapkan jawaban ‘tidak’ untuk kita”

Aku menyeka air mataku “aku tidak ingin kata menyerah menjadi pilihan. Itu yang ingin aku sampaikan. Kalimat itu yang membuat aku berlari mengejarmu kesini.”

Dia tersenyum, melirik jam di tangannya “aku harus pergi” ucapnya.

Setelah itu dia berbalik pergi, meninggalkan aku begitu saja. Rupanya sejak awal dia memang telah menyiapkan jawaban ‘tidak’ untuk perjuangan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie