Mungkin
Apa benar, berjanji untuk terus
mencintai seseorang itu sangat berat? Bisakah rasa cinta itu habis begitu saja
setelah orang yang kita cintai itu pergi? Entah kita yang meninggalkannya atau
dia yang meninggalkan kita.
Seharusnya tidak berat bukan? Toh
kita telah pergi. Tidak ada yang akan mempermasalahkannya. Semua telah
berakhir. Bukankah seorang suami cukup berjanji untuk menyenangkan hati
istrinya?
Aku pernah sekali meminta suamiku
untuk tetap berjanji mencintaiku meskipun aku telah pergi. Aku tidak bermaksud
untuk melarangnya menikah lagi setelah kepergianku. Aku hanya ingin dia
berjanji, cintanya untukku tak akan habis. Silahkan dia membaginya, tapi paling
tidak dia masih menyimpan sedikit bagian dari cintanya untukku. Sederhana
bukan? Dan dia tidak mau melakukannya.
“Itu sama saja kamu meminta aku
berdoa agar kamu meninggal lebih dulu dari aku” protesnya ketika itu. “Aku
tidak mau” pungkasnya, menutup pembicaraan. Aku diam saja, tidak membantah atau
apa.
Aku tau suamiku mencintaiku, saat
ini. Sekarang. Cinta yang diberikannya padaku lebih besar dari yang aku kira.
Lebih besar dari dugaanku ketika mengenalnya dulu. Aku tidak pernah mendapat
cinta sebesar itu dari seorang pria manapun. Karena aku tidak berpacaran, dan
kami berdua tidak melewati masa pacaran. Hanya masa perkenalan yang singkat.
Lantas aku memeluknya, “aku cuma
takut kamu akan melupakan aku. Makanya aku meminta kamu untuk berjanji.”
Dia mengusap kepalaku, menggeleng
kemudian tersenyum. “Tidak. Aku tidak akan berjanji. Ketakutanku akan kehilanganmu
terlalu besar. Aku tidak mau menutupinya dengan sebuah janji. Aku tidak ingin
kehilangan kamu lebih dulu”
Aku mengangguk, berusaha memahami
apa maksud dari suamiku.
Dan setelah kepergiannya yang
begitu tiba-tiba, barulah aku mengerti suamiku. Maafkan aku...
Hari itu semuanya tampak normal.
Sebelum berangkat kerja dia memelukku dan mencium keningku. Dia memang sering
melakukannya setiap pagi. Aku tidak memiliki firasat apapun kalau itu terakhir
kalinya aku melihat suamiku tersenyum.
Ya...dia pergi. Tiga jam setelah
pelukan hangat darinya. Tiba-tiba terjatuh ketika sedang bekerja. Serangan
jantung menurut dokter. Mengingat riwayat keluarganya yang pernah mengalami
serangan jantung, aku hanya bisa pasrah.
Berkali-kali aku beristighfar,
memohon ampun kepada Allah. Aku memohon ampun atas hati yang tak rela. Memohon
ampun atas diri yang tak ridho dengan takdirNya. Aku tidak pernah ingin suamiku
meninggalkan aku lebih dulu. Aku tidak ikhlas. Aku tidak terima. Kenapa bukan
aku yang pergi lebih dulu? Tak apa jika suamiku tidak bisa berjanji akan tetap
mencintai aku. Tak apa jika dia memberikan seluruh cintanya kepada perempuan
lain yang akan menggantikan aku. Tapi aku tidak pernah ingin melihatnya pergi.
Tidak pernah.
Jadi ini maksudnya? Ketika dia
menolak untuk berjanji? Ketakutannya akan kehilanganku lebih dulu.
Ridhokanlah aku dengan takdirMu
ya Allah...
Suamiku tidak bisa berjanji
karena justru akulah yang seharusnya berjanji untuknya. Untuk tetap
mencintainya meskipun dia telah pergi. Tentu saja. Tentu saja. Sejak awal
pernikahan kami, aku telah berjanji dalam hati, tak akan pernah sedikit pun
berhenti mencintainya. Aku bersumpah akan terus mencintainya meski itu hal
terakhir yang aku lakukan. Aku bertekad tak akan menyerah untuk terus
mencintainya meskipun itu akan jadi hal paling berat yang akan aku lakukan.
Lapangkanlah dadaku dengan
kasihMu ya Allah...
Dia suami terbaik. Tak pernah
sedikit pun membuat aku sedih. Tak pernah sedetik pun meninggalkan aku dalam
keadaan marah. Meskipun jika mencintainya adalah sebuah penderitaan, maka aku
akan terus menerus mencintainya. Meskipun jika mencintainya selalu terasa
sakit, aku tidak akan berhenti mencintainya.
Tubuhku menggigil. Beginikah
rasanya takut atas kehilangan seseorang? Beginikah rasanya kesepian setelah orang
yang selalu di samping kita pergi?
Mungkin
10 April 2013
Kantor
Comments
Post a Comment