Bromo. Dia (Wonderful Indonesia)

Seharusnya aku tidak berlari dan meninggalkanmu begitu jauh. Tapi aku perlu berlari, agar kamu tak dapat menyusulku dan melihat luka menganga yang amat dalam. Tidak, kamu tidak boleh melihatnya.

Bromo, akhir tahun 2012
Aku menyesap udara dingin di Cemoro Lawang, memenuhi paru-paru dengan udara segar pegunungan. Jaket milikku terlalu tipis, pertanda kalau aku pergi ke Bromo tanpa persiapan matang. Ah, tak apa, pikirku. Aku ingin menggigil, merasakan hawa dingin yang menyusup di antara sendi, agar perasaan linu di dada dapat tertutupi. Kadang luka yang ditutupi dengan luka yang lain mampu membuatku sejenak melupakan bekas luka yang masih menganga seperti kawah Bromo yang selalu mengeluarkan asap.

Beberapa orang sudah bersiap-siap naik ke atas jip. Beberapa orang yang sama sekali tidak aku kenal, hanya sekedar berbagi biaya kendaraan yang akan mengantar kami menyentuh kaki Bromo. Mereka semua berjaket tebal, sarung tangan, bahkan ada yang mengenakan masker. Dalam hati aku menertawakan diriku sendiri. Aku ini bodoh atau apa? Hanya ingin melarikan diri atau ingin bunuh diri?

Jip berguncang kemudian berjalan membelah kegelapan. Semua yg ada di dalam jip hanya diam, termasuk aku. Keadaan gelap membuat kami sulit untuk saling mengenal satu sama lain. Ada sedikit rasa khawatir ketika jalan mulai menanjak. Meski gelap, aku tau di sisi jalan pastilah jurang. Melewati lautan pasir yang diselimuti kabut, aku memandangi bapak supir jip yang tampak yakin mengendarai mobilnya masuk ke dalam hamparan kabut. Bapak itu pasti sudah terbiasa, aku tidak perlu cemas.

Setelah jalan menanjak dan berkelok-kelok yang sepertinya tanpa ujung, kami sampai juga di Penanjakan. Hari masih gelap ketika kami bertujuh bersingut naik. Salah seorang dari kami mengajak singgah di salah satu warung yang telah buka. Menghangatkan badan katanya. Dia memesan bakso, yang lain memesan gorengan, aku memesan segelas kopi. Udara dingin semakin menggigit.

"Jaket dan sarung tangan ini disewakan mbak" kata bapak-bapak pemilik warung yang mendapatiku tengah memandangi tumpukan jaket dan sarung tangan di dalam lemari kaca, juga ada yang digantung di dinding warung. Aku pikir dijual.

"Sepuluh ribu saja mbak. Di atas nanti dingin loh. Jaket mbak terlalu tipis"
 
Aku menggeleng halus dan tersenyum "tidak usah pak. Skali-skali" kataku keras kepala.

Setelah menyantap semua hidangan yang kami pesan, kami kembali melanjutkan perjalanan mendaki menuju puncak penanjakan. Di atas sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu. Sama seperti kami, mereka juga ingin menyaksikan keajaiban dunia ke delapan. Matahari yang terbit di atas awan. Sebentar lagi, semburat merah akan memenuhi pemandangan di depan sana. Sebentar lagi...

Dingin. Benar-benar dingin. Aku mulai menggigil dan tanganku kebas. Aku mencoba mengusir dingin dengan berjalan mondar mandir tapi tetap tak berhasil. Kuku-kuku jemariku mulai membiru dan gigiku bergemeletuk. Seharusnya aku tidak perlu senekad ini. Untuk apa? Tidak ada dia disini yang bisa meminjamkan aku jaketnya.

Aku tertawa. Menyedihkan sekali. Aku sama sekali tidak punya kemauan untuk menyembuhkan luka. Empat tahun yang lalu aku ke tempat ini dengannya, mengenakan jaketnya yang dia pinjami dengan sukarela sementara dia menjambret sarung milik teman yang lain. Iya, sarung. Sudah empat tahun, tak sedikit pun luka itu sembuh.

Penanjakan semakin ramai, orang-orang mulai berdatangan. Sebentar lagi matahari terbit, menghadirkan pemandangan paling spektakuler yang pernah aku lihat. Empat tahun lalu ketika terpukau, aku mencengkeram tangan kurusnya. Ketika nafasku seakan terhenti menyaksikan maha karya agung yang ada di depanku itu, dia berada di sisiku.

Sumber
Perlahan, semburat oranye menyeruak dari balik awan. Suasana mendadak hening. Tiba-tiba aku merindukannya.

Bola merah itu perlahan menyembul dari balik awan seperti bayi yang baru dilahirkan. Bagian tubuhnya nampak sedikit demi sedikit. Cahanya bagai tangan yang hendak mencengkeram awan untuk menyeimbangkan diri. Tapi sepi. Tidak ada dia disini.

Beberapa orang di depanku berseru penuh kekaguman. Keajaiban dunia ke delapan baru saja terjadi di depan kami. Bagiku sudah saatnya menutup rapat luka yang terbuka. Empat tahun tidak pernah sebentar. Tidak pernah mudah.

***

Jip membawa kami turun dari Penanjakan. Kali ini tanpa kabut sehingga terlihat jelas lautan pasir luas yang kami lalui tadi. Kami berhenti di parkiran mobil, pemandangan berwarna-warni jip yang terparkir menjadi suguhan pertama sebelum kami naik ke kawah Bromo. Serombongan laki-laki dengan kuda mereka mendatangi kami menawarkan jasa untuk mengantar kami sampai di kaki gunung Bromo.

Yang lain sibuk memilih kuda, aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Nampak gunung Batok berdiri gagah di sisi Bromo, dikelilingi lautan pasir yang seakan tak bertepi.


"Kuda mbak?" Seorang pemuda bermata coklat madu menawarkan padaku. Tanpa pikir panjang aku mengangguk karena teman-teman yang lain sudah lebih dulu pergi dengan kuda-kuda sewaaan mereka.

Saatnya menyembuhkan luka. Mengakhirinya di tempat dimana kami mengawalinya.

Kuda berjalan santai menuju kaki Bromo. Aku mengelus-elus surainya yang berwarna legam. Memang benar, berpindah bukan soal mampu tapi soal mau. Sejak dulu aku memang enggan untuk berpindah dari kenanganku, membiarkannya terus menerus masuk ke dalam mimpi-mimpiku.

Sebuah pura berdiri gagah di tengah-tengah lautan pasir. Keheningan, ketenangan, itulah yang dibutuhkan hati. Membujuk hati dan mengajaknya pindah. Bromo mengajakku untuk berkontemplasi. Pindah memang tidak akan pernah mudah tapi itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sama seperti hewan yang harus bermigrasi dari habitat mereka ke tempat lain demi mempertahankan eksistensi mereka.

Tanpa sadar kuda telah berhenti berjalan, sudah sampai. Kali ini aku harus berjalan kaki menuju anak tangga yang pegangannya dicat berwarna kuning untuk naik ke kawah. Aku menapak anak tangga itu satu persatu sambil sesekali istirahat dan menikmati pemandangan di bawah sana. Hamparan pasir berwarna hitam dan jalur yang tampak seperti aliran sungai. Aku menghembuskan nafas panjang. Aku hanya ingin pindah. Aku tidak hendak kemana-mana. Hanya ingin pindah dari kawah masa lalu yang asapnya masih menyisakan sesak. Yang asapnya masih memerihkan mata hingga berair.

Setelah berpuluh-puluh anak tangga kemudian, sampailah aku di puncak Bromo. Aku jatuh terduduk dan memandangi puncak gunung Batok yang berdiri angkuh seolah hendak mengawal sang Bromo. Seolah gunung Batok hendak berkata, hidupnya akan dia abdikan untuk Bromonya yang cantik. Samar-samar aku seperti sedang melihat dia berdiri di bawah sana, melambai ke arahku dan tersenyum lebar. Aku balas tersenyum. Dia tertawa. Aku juga ikut tertawa hingga tanpa sadar mengalirkan air mata. Aku teringat kalimat terakhirnya sebelum meninggalkan aku. "Berjanjilah kau harus bahagia tanpa aku".

Aku ingat. Masih selalu ingat. Dari kejauhan dia mengangguk, seolah mengingatkan padaku apa yang dikatakannya dulu.

Perlahan aku menghampiri sisi kawah, melongok ke bawah sana, ke lubang dalam yang mengeluarkan asap putih. 'Aku pindah. Jaga dirimu baik-baik' bisikku. Tersenyum. Menangis.

Bromo berdiri cantik dengan warnanya yang legam. Selalu begitu dan akan terus begitu.

1.46 PM
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Panorama Spektakuler Gunung Api dan Padang Pasir Indonesia.Travel

Comments

  1. Sunrise-nya tidak ada duanya. Wajib menyempatkan diri datang kesana :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor