Gravity : It's Time To Go Home
Inner space is so much more interesting, because outer space is so empty - Theodore Sturgeon
Bukan karena faktor Sandra
Bullock sehingga saya akhirnya memutuskan menonton Gravity meskipun saya pernah
membuat semacam janji tidak resmi pada diri saya sendiri untuk menonton semua
film-film Sandra Bullock. Saya mulai menyukai dia sejak film Miss Congeniality
bertahun-tahun silam (atau sejak While You Were Sleeping? Ah, saya lupa. Lagipula
itu film jaman saya SD -,-“) dan makin menyukainya di film The Proposal dan The
Lake House, serta tentu saja di film yang membuatnya meraih piala berbentuk
patung pria ramping itu, The Blind Side. Hanya karena berbagai review positif
yang saya baca mendorong saya untuk menontonnya, dengan format 3D tentu saja
karena semua review merekomendasikan untuk menonton film ini dengan format
tersebut. Oke. Saya menunda untuk nonton Insidious Chapter 2 dan memilih
Gravity.
Hampa. Ruang angkasa hampa
membuat saya ikut merasa hampa *halah*
Ah, pembukaan film ini membuat
saya seperti terlempar ke masa-masa SMP saya dulu dimana saya pernah begitu
mencintai langit, luar angkasa dan seluruh isinya. Dimana buku-buku yang saya
baca adalah tentang astronomi, tentang benda-benda langit, tentang tata surya
yang saya dapatkan di perpustakaan sekolah. Saya ingat dulu saya pernah punya
cita-cita menjadi ahli astronomi atau bahkan astronaut atau minimal bekerja di
NASA. Haha...mimpi yang sangat tinggi. Itulah kenapa saya begitu ngotot ingin
ke Bosscha. Kenapa saya begitu suka melihat bintang-bintang dan bulan di ruang
terbuka. Dan kenapa milky way begitu
memesona saya. Saya masih percaya dengan ruang waktu yang mungkin saja terselip
di suatu tempat di antara ribuan galaksi di luar sana. Saya masih percaya, dengan
kata-kata Oom Einstein, kita bisa menjelajahi ruang waktu jika kita mampu
bergerak melebihi kecepatan cahaya. Dan yang mampu bergerak melebihi kecepatan
cahaya tentu saja adalah lubang hitam *mulai ngelantur*
Yap, film ini dibuka dengan
pemandangan luar angkasa yang menakjubkan. Sebagai orang yang bukan ahli dalam
dunia perfilman, saya tidak mengerti tentang visual efek, sinematografi,
scoring dan lain-lain, dan lain-lain. Saya hanya benar-benar menikmati filmnya,
itu saja. Duduk di kursi sutradara ada Alfonso Cuaron dan dua orang pemeran
film yang luar biasa : Sandra Bullock dan George Clooney.
Tidak usah saya ceritakan disini
bagaimana kerennya akting keduanya karena hampir semua review memberikan pujian
untuk mereka berdua. Bahkan mereka semua memprediksi kalau Sandra Bullock akan
memenangkan Oscar untuk aktingnya yang hebat itu (tentu saja hebat menjadi
satu-satunya pemeran dalam film dan berjuang untuk hidup di angkasa luar. Hanya
Bullock yang bisa melakukannya). Dan khusus George Clooney, semoga saya punya
suami seperti dia yang semakin tua justru semakin keren. Haha *dilempar ke atmosfir
bumi*
Bayangkan saja kita berada di
ruang hampa udara. Tidak ada suara apa-apa karena tidak ada media yang bisa
menghantarkan bunyi. Tidak ada gravitasi dan lebih parah lagi, tidak ada
manusia. Membuat saya berpikir, senyasar-nyasarnya kita, paling tidak masih
nyasar di bumi, masih ada manusia yang kita jumpai meski kita tidak kenal. Sesendiri-sendirinya
kita, paling tidak kita masih ada di bumi, masih ada orang lain yang bisa kita
ajak bicara. Film ini benar-benar membuat sesak nafas karena suasana yang
senyap dan kesendirian itu terasa sangat nyata. Membuat saya merasa film ini
jauh lebih menakutkan daripada film horor sekelas The Conjuring dan Isidious
Part 2. Bahkan Insidious part 2 sama sekali tidak menakutkan -____- *curahan
hati penonton yang kecewa*
Alurnya sederhana, tentang dua
orang astronaut yang memiliki misi di luar angkasa. Ini misi angkasa luar yang
pertama untuk Dr. Ryan Stone (Bullock) dan sekaligus menjadi misi terakhir bagi
astronaut veteran, Kowalski (Clooney). Tetapi sebelum mereka menyelesaikan misi
tersebut, pesawat ulang alik mereka ditabrak serpihan satelit Rusia yang
sengaja dihancurkan sehingga seluruh awak kapal meninggal dan hanya mereka
berdua yang selamat, melayang-layang di luar angkasa mencoba mencapai satelit
Soyuz milik China untuk pulang ke Bumi. Sekali lagi, plot yang sederhana selalu
mampu memukau jika disajikan dengan benar. Kisah bertahan hidup di ruang
angkasa ini menjadi satu paket dengan kisah kelam Dr. Stone di masa lalu yang
kehilangan putrinya. Di saat dia harus berjuang untuk pulang ke Bumi, Dr. Stone
juga harus berjuang melupakan kisah sedihnya itu. Dengan halus sebuah pesan
disampaikan oleh film Gravity. Tentang kelahiran kembali seorang manusia. Tentang
‘berpindah’ dari masa lalu. bahwa untuk ‘move on’ yang kita butuhkan justru
adalah kemauan dari kita sendiri. Mau untuk berjuang keluar dari kesedihan yang
membelit. Mau berjuang untuk kembali ke bumi meski hanya seorang diri. You have to learn to let go kalau kata Kowalski.
Setelah menonton film ini apakah
saya masih bercita-cita menjadi astronaut? Tentu saja tidak. Earth sweet earth :D. Lagipula sejak SMA
cita-cita saya sudah berubah menjadi wartawan olahraga. Saya benar-benar iri karena
wartawan punya akses ke pinggir lapangan pertandingan. Haha. Pokoknya yang
pernah bercita-cita jadi astronaut, pernah ingin ‘melayang-layang’ di luar
angkasa, wajib nonton film ini.
It’s time to stop driving. It’s time to go home – Dr. Ryan Stone
18.54
Kamar
“One word I’d use to describe space is lonely" - Jarod Kintz
Comments
Post a Comment