Kopi Pagi Ini

Pagi ini secangkir kopi yang saya minum rasanya pahit. Bahkan rasa pahitnya masih melekat di lidah hingga saat ini, pukul 11.13 siang padahal saya meminumnya tadi pagi sebelum berangkat kantor. Kenapa saya mau-maunya meminum kopi pahit? Ya karena saya terpaksa meminumnya. Saat kopi telah saya tuangkan di gelas, ketika hendak membuka tutup toples gula, saya baru sadar kalau gula di rumah sudah habis. Mau tidak mau saya harus menghabiskan kopi yang telah saya seduh di gelas itu.

Saya memandangi gelas kopi saya, menyesap aromanya perlahan. Aroma kopi masih menjadi salah satu aroma favorit saya selain aroma linen, bau tanah yang basah oleh hujan dan aroma hutan. Tak apalah, pikir saya. Meski rasanya pahit, tapi aromanya tetap sama. Tak ada orang yang akan menyadarinya sebelum dia mencoba sendiri kopi itu.

Secangkir kopi pagi ini seperti sedang menggedor-gedor salah satu sudut mati di kepala saya. Haruskah saya seperti dia? Tetap menguarkan aroma wangi yang menenangkan meski sesungguhnya ada yang kurang pada dirinya hari ini. Bahkan yang kurang itu adalah salah satu komposisi penting yang membuatnya begitu disukai banyak orang termasuk saya.

Ah, kopi pagi ini memang berbeda. Terlalu banyak cerita di dalamnya, terlalu banyak keinginan diaduk padanya dan terlalu banyak harapan-harapan kosong yang hendak dituangkan ke dalamnya. Seperti aroma rindu yang perlahan memenuhi ujung hidung, terlalu menyengat tapi terlalu wangi untuk tidak disesapi.

Seharusnya rindu tidak sesederhana maknanya. Seharusnya rindu tidak seharfiah susunan hurufnya. Rindu adalah paradoks bagi manusia-manusia yang tidak paham, untuk siapa rindunya itu hadir. Kenapa ada terlalu banyak rasa sesak untuk sebuah rindu yang tak bertuan? Andai rindu bisa sesederhana rasa rindu itu sendiri. Andai dia bisa dengan mudahnya diteriakkan, ya, saya rindu. Titik.

Kopi pagi ini, meski terpaksa, saya tetap menikmati setiap tegukannya. Karena enak tidak enaknya dia, dia tetap kopi – minuman yang akan selalu saya sukai.

1.01  PM

Kantor

“Coffee and chocolate—the inventor of mocha should be sainted.” 
― Cherise Sinclair

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie