Kepada Tuan Di Masa Lalu

Di sudut kota kecil ketika hujan mengguyur

Pertemuan yang tak disengaja. Seperti itulah. Meskipun bagi saya tidak ada yang namanya kebetulan. Dan sore itu, sore yang biasa – bahkan teramat biasa – kembali Dia memaksa saya untuk belajar menata hati. Saya berbaik sangka padaNya. Mungkin ketika dulu datang badai menerpanya, saya serampangan saja menata hati saya kembali. Dan sore itu, di sore yang biasa, mau tidak mau saya harus kembali menata hati saya dengan benar. Mengembalikan semua yang berantakan ke tempat asalnya.

Kita bertemu lagi. Ya...setelah tiga tahun, kita akhirnya bertemu lagi. Dua orang yang dulunya pernah sangat dekat kemudian tiba-tiba saja harus saling menjauh tanpa alasan, terasa sangat canggung.

Saya sangat ingin bertanya bagaimana kabarmu, kemana saja kamu selama ini? Apa yang kamu lakukan? Bagaimana kabar keponakan-keponakanmu? Apa ayah dan ibumu sehat-sehat saja? Tapi rasanya terlalu berlebihan. Kita bukan lagi dua orang yang sama seperti tiga tahun lalu. Dulu kita saling bercerita apa saja. Soal kakakmu yang baru melahirkan ponakan laki-laki pertama di keluarga kalian setelah dua orang ponakan perempuan yang super cerewet. Atau tentang warung nasi goreng yang baru dibuka di dekat kantormu. Bahkan tentang berapa takaran gula yang biasa kita masukkan ke dalam cangkir kopi kita.

Saya sangat ingin menangis di depanmu, bilang kalau selama tiga tahun ini saya masih rindu leluconmu yang sebenarnya tidak pernah lucu. Saya masih rindu senyumanmu yang sok itu. Saya rindu pisang goreng layu yang kita makan bersama dan kemudian saling berebut untuk membayarnya. Saya rindu, cara kita saling bercerita, cara kamu berbicara menanggapi saya, cara kamu mengisi seluruh jeda yang saya ciptakan. Saya tidak pernah bisa sebahagia ini berbagi cerita dengan siapa pun. Sebelum dan bahkan setelah mengenal kamu.

Tapi semua itu saya simpan, saya sembunyikan baik-baik di balik senyuman saya yang biasa. Sebuah cincin perak melingkar indah di jemari manis tangan kananmu. Cincin perak itu membuat saya tidak mampu mengatakan satu hal pun di depanmu. Hanya senyuman.

Kepada Tuan di masa lalu, kenapa menghilang begitu saja? Dan kenapa kembali membawa segumpal rasa ngilu di dada saya? Apa saya tidak pernah cukup pantas untuk menerima kabar darimu? Entah itu kabar bahagia maupun kabar duka. Tentang ayahmu yang telah meninggal dunia. Pria tua yang ramah dan pendiam itu telah pergi beberapa bulan yang lalu. Hal yang membuatmu kembali ke kota ini. Membawa pulang seorang wanita yang membuatmu begitu jatuh cinta.

Itu saja. Kamu hanya mengabarkan kabar duka itu kemudian berlalu. Sama sekali tak bertanya bagaimana kabar saya, apa yang telah saya lakukan...atau apa yang telah saya rindukan selama tiga tahun ini. Saya sangat ingin kamu bertanya kepada saya, apa yang membuat saya menyukai keheningan ini, sendirian saja. Akan saya jawab, tidak akan ada lagi orang yang datang pukul 2 pagi di depan kantor saya, basah kuyup karena diterpa hujan, membawakan saya makanan yang dimasaknya sendiri hanya karena saya bilang saya lapar dan pekerjaan saya belum selesai, seperti yang kamu lakukan dulu.

Tuan di masa lalu, kita sekarang hidup di masa yang berbeda. Kamu di masa depan, dan saya masih tetap tinggal di masa lalu. Hati saya yang dulu saya rapikan serampangan saja, harus saya rapikan sebaik-baiknya. Pertemuan di sore yang biasa itu menyuruh saya menata hati saya kembali. Dia memberi saya kesempatan untuk menata hati kembali.

Sudut kota yang hujan, di sore yang biasa.

9.29 AM

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie