Wanderlust : Episode Nikahan Teman di Bualemo
Sebenarnya jika memungkinkan,
saya ingin mengunjungi satu desa setiap akhir pekan. Sayangnya justru jadwal
saya padat setiap hari ahad. Jadi kemarin bisa dibilang saya melarikan diri
dari jadwal akhir pekan saya demi memenuhi keinginan jalan-jalan (baca : kaki
gatal) saya. Alasan lain karena sudah lama saya tidak kemana-mana selain menjalani
pola berulang : rumah – kantor cabang – kantor unit – rumah – kamar.
Nama desa tempat kondangan
berlangsung : Bualemo
Yep, Bualemo. Waktu masih
keciiiil sekali saya pernah kesini, di ajak sama asisten rumah tangga yang
berasal dari sana. Disanalah pertama kalinya saya mencicipi biji bunga teratai
yang sampai sekarang tidak pernah saya temui lagi.
Jarak Luwuk – Bualemo via darat sekitar 3-4 jam tergantung kondisi. Iya,
tergantung kondisi. Misalnya kondisi lapar mau tidak mau harus singgah makan
dulu di jalan. Atau kondisi malas-malasan jadi mobilnya jalannya juga
malas-malasan. Tapi normalnya sih 4 jam perjalanan dengan pernak-pernik jalanan
rusak dan ternak yang berkeliaran di jalan.
Saya sedang sangat butuh spasi, juga sekali ketukan di tombol ‘pause’. Dan 4 jam bengong di mobil sambil
memandangi jalanan cukup membantu. Saat itulah saya sadar, saya butuh lebih banyak
bepergian *bikin tanggalan sendiri yang banyak warna merahnya*
Anda Memasuki Kecamatan Bualemo
Seharusnya sih pemerintah daerah
bisa lebih kreatif lagi seperti di luar negeri. Harusnya dicantumkan juga berapa
populasi penduduknya dan kalau bisa populasi ternak karena tidak jarang mobil
harus beradu ego dengan sapi yang asyik nongkrong di tengah jalan. Well...saya
berasa seperti sedang berada di Afrika meskipun belum pernah kesana sebelumnya.
Thanks to NatGeo. Pemandangan padang rumput luas dilatari gunung berwarna hijau
kekuningan membuat saya berasa sedang syuting NatGeo episode alam liar Afrika. Yang
membuat saya masih ngeh kalau saya berada di Indonesia yang di-zoom out ke
ujung timur Sulawesi, di-zoom out lagi ke Kabupaten Banggai, kemudian di-zoom
out lagi ke kecamatan Bualemo adalah, hanya di Indonesia banyak tiang listrik
karatan yang kabelnya dijarah penduduk untuk dijual kiloan dan akhirnya PLN
ngambek tidak mau kasih listrik ke desa itu.
Saya nanya ke mas supirnya, sudah dekat atau masih jauh? Ibu bos tanya masih berapa jam lagi? Kata mas supirnya, ‘dekat, sejam lagi’. Sudah di kampung mana? Jawab mas supirnya ‘dekat, satu kampung lagi.’ Kami lupa satu hal kalo mas supir itu orang Jawa. Tanpa bermaksud SARA karena mama saya juga orang jawa timur asli, saya lupa kalau definisi ‘dekat’ atau ‘sebentar lagi’ mereka berbeda dengan orang Sulawesi. Karena jawaban ‘sejam’ dari mas supirnya artinya masih 2 jam lagi dan jawaban ‘tinggal satu kampung lagi’ itu artinya masih 5 kampung lagi.
Sampai di tempat kondangan acara belum mulai tapi saya sudah lapar *abaikan*
Pulang kondangan kami nginap di
rumah teman kantor yang ada di desa Binsil (yang oleh ibu bos dibilang ‘pinsil’).
Tidur nyenyak karena didukung oleh segenap suasana yang desa-banget. Besok paginya
sebelum pulang mampir dulu di bekas penangkaran burung Maleo. Pantai Pasir
Putih namanya (namanya pasaran tapi aku rapopo). Dulu tempat ini dikontrak oleh
pihak asing untuk penangkaran burung Maleo dan penelitian. Setelah kontrak
selesai, kembali diambil alih warga. Menurut informasi, telur-telur
burung Maleo yang kalau diukur size-nya menggunakan ukuran baju bisa seukuran
XXXL, banyak digali oleh warga dan dijual seharga 20 ribu rupiah per butir. Duh...apa
mereka tidak tau burung Maleo termasuk satwa yang dilindungi karena populasinya
yang mulai mengkhawatirkan? Kurang sosialisasi dari pemerintah kah? Mungkin saja
sepuluh dua puluh tahun lagi anak cucu kita hanya bisa mengenal mereka dari
gambar di buku pelajaran atau internet. Saya beruntung masih sempat melihat
beberapa ekor dari mereka sedang berjalan di atas pasir. Tapi sedikit saja
menimbulkan suara, mereka langsung berloncatan ke atas pohon dan menghilang.
Ketika mau pulang, seorang bapak
menawarkan kami jika ingin melihat mereka menggali telur burung tersebut, tapi
harus menunggu sampai jam 11 siang. Ibu bos menolak karena kami harus segera
pulang ke Luwuk, besok masuk kantor (ah, kalimat besok-masuk-kantor ini selalu
berhasil membuat noktah di kanvas liburan saya). Saya juga tidak mau, bukan
karena tidak tertarik, sebenarnya saya antusias karena selama ini hanya melhat
telur burung maleo yang sudah melalui prosesi adat Tumpe (sedikit penjelasan
tentang upacara adat Tumpe di sini),
tapi jika saya ikut setuju berarti saya juga mendukung perbuatan mereka
menggali telur burung Maleo. Jadi sedikit acuh tak acuh saya beranjak pergi
dari lokasi penangkaran (padahal dalam hati mau pake banget).
Bagian dalam penangkaran. Mau foto burung Maleonya tapi sudah terbang duluan :( |
Keluar dari sana, kami diajak
lagi ke pantai yang saya sebut pantai pribadi saking sepinya. Suasananya enak,
rindang dan adem. Uniknya karang disitu berwarna pink. Dan saya selalu lupa diri
kalau sudah ketemu pantai. Lupa tidak pakai krim pelindung yang mengandung SPF
di atas 35 sesuai saran pakar kecantikan agar kulit tidak terbakar sinar matahari, asyik saja lari-lari di atas pasir
dan jalan-jalan di atas karang sambil foto-foto. Matahari cukup terik, hasilnya
tangan dan muka berubah jadi pink gimanaaa gitu.
*Pantai pribadi* |
Karang warna pink |
Sebelum beranjak ke Luwuk, masih
sempat-sempatnya dijamu sarapan sama ibu teman kantor kami. Agak tidak enak sih
karena merepotkan. Tapi karena saya lapar dan makanannya enak, untuk kali ini
saya memaafkan diri saya sendiri. Plus karena kami baru saja menghabiskan
setoples kripik pisang yang super enak.
Kadang kita butuh spasi. Butuh jeda. Butuh tombol ‘pause’ sebelum
kembali menekan tombol ‘start’. Bukan untuk melarikan diri, bukan juga untuk
melupakan. Tapi untuk beristirahat sejenak, kemudian memandang kembali dengan
sudut pandang yang berbeda. Bukankah travelling selalu tentang melihat dari
perspektif yang berbeda?
12.02
Tanpa matahari, tetap menyengat.
Comments
Post a Comment