Cerita Milik Melati dan Ikrar (Bag. 1)

Melati Di Kamp Pengungsian

Melati memperhatikan sepatunya sekali lagi. Sempurna, tidak ada noda di sana. Dia tahu Ikrar tidak suka dengan noda di sepatu, merusak penampilan katanya. Karena itu sejak tadi dia berulang-ulang mengecek sepatu ketsnya, memastikan tidak ada debu yang singgah disana dan merusak semuanya. Tak lama lagi Ikrar akan datang menemuinya.
Ikrar, tentara yang ditemuinya di kamp pengungsian di Pantai Gading beberapa tahun yang lalu. Seorang tentara keamanan PBB yang cerewet dan ramah, sangat asyik menjadi teman bicara. Melati yang pemalu dan jarang bicara berhasil dibuatnya berkisah panjang lebar tentang hidupnya setelah memutuskan menjadi relawan UNHCR PBB membantu pengungsi-pengungsi yang negaranya sedang mengalami konflik. Tentang pengalaman pertamanya bertugas di Sudan, kemudian pindah ke Kenya, sempat singgah sebentar di Turki dan Mesir – membantu pengungsi dari Gaza, kemudian ke Pantai Gading. Pertemuan pertamanya dengan Ikrar.
“Kau tidak bosan terus menerus bergelut dengan mereka?” tanya Ikrar suatu hari saat dia menemani Ikrar berkelliling kamp “sudah berapa tahun kau melakukannya? Delapan? Apa kau tidak pernah pulang sesekali?”
Melati tersenyum, dia menggeleng “tidak, aku tidak pernah bosan menghadapi wajah-wajah mereka, karena aku tahu mereka sedikit banyak berharap pada kami. Apalagi anak-anak itu” dia menunjuk sekelompok anak kecil yang bermain di depan mereka, tanpa alas kaki dan bertelanjang dada “kau tidak akan pernah tega untuk meninggalkan mereka sendirian di sini. Beberapa dari mereka ada yang tidak lagi memiliki tempat tinggal dan orang tua. Sebelum negara mereka mengurusnya, kami yang merawat mereka. Yah, delapan tahun memang bukan waktu yang singkat. Sesekali aku pulang, jika sempat dan memungkinkan”
Ikrar berlari mendekati kerumunan anak kecil itu. mereka sedang bertengkar, mempermasalahkan gol yang dianulir oleh seorang tentara yang menjadi wasit mereka.
“Itu bukan gol! Bagaimana mungkin kalian menyebut sebuah bola yang dilempar menggunakan tangan adalah sebuah gol?” tentara itu berusaha menjelaskan kepada mereka meski agak kewalahan “dan aku belum menghitung kecurangan kalian yang sengaja memindahkan gawang agar bola lawan tidak bisa masuk ya!”
Melati tertawa. Ikrar sudah berdiri di tengah-tengah mereka. “Aku boleh ikut main?” tanya Ikrar kepada mereka. Anak-anak itu diam saling berpandangan, tak mengerti apa yang Ikrar katakan.
“Ah, aku lupa. Sudahlah, ayo kita langsung main saja…” Ikrar merebut bola dari tangan wasit dan menendangnya ke seberang lapangan dan…GOOOLLLLL. Semua anak-anak berteriak senang.

***

Kadang diam-diam Melati memperhatikan Ikrar ketika dia sedang bermain dengan teman-temannya, atau ketika mereka sedang olahraga, atau ketika sedang berlatih. Ikrar selalu menjadi penyemarak suasana di kamp, menghibur anak-anak kecil dengan komunikasi satu arahnya, selalu membawakan mereka kue-kue yang entah dia dapatkan darimana. Melati tidak pernah bosan dengan lelucon Ikrar meskipun dia sudah mengulang-ulangnya sampai beberapa kali, dan meskipun teman-teman Ikrar selalu melemparinya jika dia mengulang lelucon yang sama.
Pernah sekali Julian – sahabat Ikrar – memergokinya sedang memandangi Ikrar ketika sedang duduk di depan posko di sore hari. Gadis itu tak melepas pandangannya ketika Ikrar sedang berebutan bola dengan anak-anak kecil.
“Kau tidak pernah mengajaknya berbicara” tegur Julian yang ternyata telah berdiri di sisinya sejak tadi. Wajah Melati bersemu merah.
“Aku tidak punya hal menarik yang bisa dibicarakan dengannya”
“Siapa bilang? Menurut Ikrar dia selalu suka ketika kau bercerita tentang desa kecilmu, atau tentang cita-citamu, atau tentang tempat-tempat yang telah kau kunjungi. Ikrar yang selalu kehabisan bahan pembicaraan jika berhadapan denganmu. Kau terlalu cerdas baginya”
Wajah Melati semakin bersemu, dia pura-pura menyibukkan diri dengan kertas-kertas yang ada di tangannya.
“Kenapa kau tidak ikut bermain dengan mereka?”
“Aku tidak suka bermain bola”
“Tidak suka bukan berarti tidak bisa kan? Hey!!! Ikrar!!! Ada seorang peserta lagi yang mau bermain” tiba-tiba Julian sudah berteriak memanggil Ikrar yang masih seru berusaha merebut bola dari tangan seorang bocah laki-laki kecil dan berlarian hingga keluar garis lapangan yang mereka buat seadanya dengan kapur hasil menyelinap di tempat para tentara.
Ikrar berhanti berlari, menoleh ke arah Julian dan Melati yang kini semakin tertunduk dalam.
“Siapa? Kau?” teriak Ikrar.
Julian menggeleng, dia menunjuk Melati. Melati menggeleng, menunjuk Julian. Tapi anak-anak kecil itu telah menarik tangan Melati hingga dengan pasrah gadis itu ikut bergabung ke tengah lapangan.
“Kau tidak bilang kalau kau juga suka bermain bola” tegur Ikrar yang langsung berlari mendekatinya. Melati hanya tersipu-sipu malu. “Nih, ambil bolanya”
Hup. Melati menangkap bola yang dilemparkan Ikrar ke arahnya. Tapi serta merta semua anak kecil menyerbu Melati hingga gadis itu nyaris terjatuh.
Tadinya dia pasti terjatuh kalau saja Ikrar tak meraih bahunya dan menahannya. “Hati-hati” bisik Ikrar di telinga Melati.
Belum pernah Melati berdiri sedekat itu dengan Ikrar. Dadanya berdebar, membuatnya takut Ikrar dapat mendengar debaran di dadanya.

Some people live for the fortune
Some people live just for the fame
Some people live for the power
Some people live just to play the game
Some people think that the physical things
Define what's within
And I've been there before
That life's a bore
So full of the superficial
Some people want it all
But I don't want nothing at all
If I ain't got you, baby
If I ain't got you, baby

“Jadi, kapan kau akan pulang?” tanya Ikrar, sore terakhir untuk mereka berdua mungkin. Melati akan pulang selama beberapa minggu karena kakaknya akan menikah dan Ikrar bersama teman-temanya akan ditarik dari Pantai Gading dua minggu lagi.
“Besok” jawab Melati singkat sambil memainkan ujung sepatunya.
“Sepatumu ada nodanya” tegur Ikrar, menunjuk ujung sepatu Melati yang ditempeli tanah.
“Ah, iya. Akan aku bersihkan…nanti sebelum pulang”
“Hati-hati di jalan” lanjut Ikrar, tak lagi membahas masalah sepatu yang kotor. Dia memandangi Melati “aku senang mengenal gadis sepertimu. Kau sangat cerdas” pujinya tulus. Kali ini wajah Melati tak lagi bersemu merah, dia tidak menunduk tersipu-sipu malu lagi. Dia juga memandangi Ikrar.
“Ikrar…ada yang ingin aku sampaikan” Melati memeluk lututnya dan menengadahkan pandangannya ke atas, ke taburan bintang di langit. Malam ini kesempatan satu-satunya yang dimilikinya untuk berbicara dengan Ikrar.
“Hmm…?” Ikrar menggumam, ikut memandangi bintang di atas mereka.
“Kau tahu kisah cinta Fathimah, putri Rasulullah dengan Ali? Suatu saat setelah mereka berdua menikah, Ali bertanya kepada Fathimah, apa ada pria yang dia cintai sebelum mereka menikah. Dan Fathimah menjawab ‘ya, ada’. Ali menjadi cemburu dan bertanya siapa pria itu…”
Melati tak melanjutkan pembicaraannya, dia menunduk menekuri ujung sepatunya.
“Fathimah menjawab” Ikrar melanjutkan “kalau pria yang dia cintai itu adalah Ali. Sejak dulu dia memendam cintanya pada sepupu ayahnya itu dan kisah mereka berakhir dengan manis”
“Bagaimana jika aku menjadi Fathimah dan duduk di hadapanmu untuk mengatakan hal yang sama? Apakah kau akan memberi jawaban yang sama seperti jawaban yang diberikan oleh Ali? Bahwa ternyata Ali juga mencintai Fathimah sejak dulu saat Fathimah menanyakan hal yang sama kepada Ali?”
Ikrar menarik nafas panjang. Dia menoleh kepada Melati yang kini telah membenamkan wajahnya di atas lututnya.
“Aku bukan Ali, dan tidak akan bisa memberi jawaban yang sama dengan jawaban Ali untuk Fathimah. Seorang pria yang bukan Ali tidak akan pernah pantas untuk seorang perempuan seperti Fathimah”
Melati masih menunduk, tapi bahunya bergetar.
“Melati…aku minta maaf. Aku tidak…”
“Tidak apa-apa” kata Melati parau. Gadis itu mengangkat wajahnya, air matanya telah jatuh setitik demi setitik dengan anggunnya membasahi pipinya. Dia berusaha tersenyum. “Kita perlu bertemu beberapa orang yang salah lebih dulu bukan? Dan kau adalah orang yang salah pertamaku”
Ikrar merasa seperti ada sebuah tangan yang menamparnya. Dia tidak mampu memadandangi wajah Melati yang telah basah itu.
“Aku benar-benar minta maaf…aku…”
“Sudahlah. Paling tidak kita telah berusaha untuk jujur. Kejujuran pasti baik meski tidak selalu menyenangkan.”
“Memang…” kata Ikrar pelan. Dia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat “kau memiliki sebuah tangan yang sangat indah. Aku tak mau kau menyia-nyiakannya dengan menamparku nanti”
Melati kembali tersenyum…tersenyum…dan kemudian dia tertawa.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an