Cerita Milik Melati dan Ikrar (Bag. 2)
Cinta yang Kembali
Setelah cinta
itu pergi, dia selalu butuh waktu untuk kembali mencari jalan pulangnya.
Mencari tempat dimana dia merasa berada di rumah, merasa nyaman dan aman. Cinta
selalu begitu, bepergian ke tempat yang salah, singgah untuk beberapa waktu
sebelum akhirnya dia terbangun karena sebuah mimpi buruk. Dia telah salah
menempatkan dirinya. Hati yang dihuninya saat ini bukanlah rumahnya dan cinta
kembali bepergian untuk menemukan.
Melati yakin
sepatunya telah bersih, tidak ada debu sedikit pun di permukaannya. Ikrar akan
melihat sepatunya itu, dia yakin. Orang-orang lalu lalang di hadapannya, ada
yang santai tapi ada juga yang terburu-buru naik ke atas kereta. Melati
berjanji akan menjemput Ikrar di stasiun pagi ini.
Bahkan meski
posisinya sangat jauh, Melati tahu Ikrar telah berdiri di sana dan melambai ke
arahnya. Saling melempar senyum, untuk sebuah pertemuan mereka kembali.
“Hai” sapa
Ikrar setelah mereka berdua cukup dekat untuk mengobrol “terima kasih sudah
menjemputku di sini. Kau tahu kan aku tidak bisa bahasa Persia”
Melati
tertawa. Dia menjabat tangan Ikrar dengan erat. “Bagaimana kabarmu?”
“Menurutmu
bagaimana kabarku?”
“Hmm…kelihatan
baik”
Lagi-lagi! Melati bersemu
merah, bahkan meski dia tahu Ikrar tidak memberinya tempat untuk cintanya,
kalimat apapun dari Ikrar selalu mampu membuatnya tersipu dan bahkan berdebar.
Ada
sebuah kata yang tak bisa saya ucap ketika lagi-lagi saya harus dihadapkan
padamu, pada kisah-kisah tentangmu, pada masa-masa saat aku dan kau masih ada di sana dulu. Semua itu membuat saya salah tingkah
dan terlihat norak. Sangat. Melati hanya mampu
mengucapkannya dalam hati saat dia memandangi Ikrar.
“Jadi, kita
makan dimana? Aku sangat lapar” Ikrar mengelus perutnya.
Melati tak menjawab. Dia
menarik tangan Ikrar dan mengajaknya membeli roti dan memakannya di tepi
sungai.
Ikrar
menjulurkan kakinya di atas rerumputan, meletakkan ransel besarnya di samping
kemudian melahap roti sebesar lengan yang kini ada di dalam genggamannya.
“Kenapa kau
datang kesini? Tumben kau mau menghabiskan liburanmu di sini” ujar Melati
sambil menumpahkan saos di atas rotinya.
“Bukankah
sudah kubilang kalau aku ingin menemuimu?”
“Eh…iya sih.
Tapi untuk apa?”
Ikrar tak
menjawab, dia sibuk mengunyah roti. Melati mengangkat bahunya, ikut mengunyah
roti bersama Ikrar.
Menyelami
benak saya sendiri, di sana saya akan menemukan diri saya yang ternyata terlalu
menerima apapun dirimu. Terlalu tidak menuntut apapun darimu, dan saya yakin
saya akan bahagia denganmu. Karena hanya dirimu yang membuat saya tak peduli
apa yang orang katakan tentangmu, dan tentang kita. Ya, cerita tentang kita –
kalau saja cerita itu pernah ada atau setidaknya akan ada. Aku harap. Kembali Melati berdialog dengan hatinya sendiri, sambil memandangi Ikrar
yang masih serius mengigiti rotinya.
“Nah, sekarang
kau harus jawab kenapa kau ingin menemuiku” tuntut Melati setelah Ikrar menelan
potongan roti terakhirnya dan melempar kertas pembungkus roti ke dalam tong
sampah di dekat mereka.
“Sebentar!”
Ikrar membuka ranselnya dan mengaduk-aduk isi di dalamnya seperti sedang
mencari sesuatu. “Bukan benda yang penting, tapi aku yakin kau akan
menyukainya. Ah, ini dia…ketemu” Ikrar mengeluarkan sebuah benda mungil
berwarna kecoklatan dari dalam tasnya. Sebuah gelang yang terbuat dari berbagai
biji-bijian yang berkilau karena getah alami mereka.
“Darimana kau
mendapatkannya?” Melati tersenyum senang, mengambil gelang itu dari tangan
Ikrar dan mengenakannya “bagus sekali kombinasi warnanya”
“Diberi
seorang gadis dari Sudan. Dia bilang kau pasti akan menyukainya”
“Gadis itu
mengenalku?” tanya Melati terkejut “siapa dia? Apa dia juga pernah tinggal di
pengungsian?”
Ikrar
menggeleng, dia menatap Melati “gadis itu hanya bilang, gelang ini pasti akan
disukai oleh perempuan yang akan menjadi calon istriku nanti”
Melati
terperanjat, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dan rona di
wajahnya. Tapi dia juga tidak ingin menunduk dan membuat Ikrar tak dapat
memandangi matanya.
“Maukah kau
menikah denganku?” tanya Ikrar pelan dan tenang.
Melati tak
yakin dengan apa yang didengarnya meski kali ini Ikrar berbicara dengan wajah
serius. Dia sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi, tidak setelah
Melati tau kalau ternyata Ikrar mencintai wanita lain. Wanita yang membuat
Ikrar menolak Melati beberapa tahun yang lalu. Lantas kenapa sekarang Ikrar
malah melamarnya di saat seharusnya Ikrar mempunyai kesempatan untuk memiliki
wanita itu?
“Aku tahu ini
terlalu egois buatmu, Melati. Aku egois. Menemukan
kenyataan kalau aku dan kau hanya terlalu lelah berharap, dan
bukannya terlalu lelah untuk saling menyukai, tapi kemudian kita memutuskan
untuk tidak membuat kisah apapun. Kita tidak melangkah sedikit pun dan hanya
bisa menggerutu di dalam diam – kita tidak tercipta untuk satu sama lain. Aku tidak ingin kita berakhir seperti itu dan aku tahu ada hal yang bisa
aku lakukan untukmu”
Melati ragu,
tapi dia tidak punya jawaban lain selain sebuah anggukan. Cintanya pada Ikrar
tidak akan pernah habis.
Comments
Post a Comment