Dia Perempuan Bodoh!
“Sudah berapa lama?” tanya perempuan yang
duduk di depanku itu kepadaku.
Aku memutar-mutar gelasku
dan membuang pandangan ke sisi luar jendela restoran. Pemandangannya indah dan
untuk sesaat aku hampir lupa untuk menjawab pertanyaan perempuan berwajah
tegang itu. Aku tertawa dalam hati. Dia seharusnya bisa lebih santai karena aku
tidak akan lari dari hadapannya. Tidak setelah apa yang telah aku lakukan
kepadanya.
“Setahun” jawabku singkat
tanpa sekalipun memandanginya. Aku berusaha bersikap senyaman mungkin meskipun
ada sedikit rasa gentar harus berhadapan dengannya dan duduk di kursi terdakwa.
Dari sudut mataku aku bisa
melihat garis hijau di tangannya yang terkepal. Dia pasti berusaha keras
menahan dirinya, berusaha menjaga harga dirinya sebagai perempuan terhormat dan
terpelajar. Sayangnya dia bodoh dan aku jauh lebih cerdas darinya. Siapa yang
tidak akan dibilang perempuan bodoh ketika kehidupan rumah tangganya berhasil
ditelikung oleh perempuan lain selama setahun?
“Siapa yang lebih dulu?”
tanyanya lagi.
Aku mendengus, mengalihkan
pandanganku padanya. Kini sulur hijau itu bermunculan di dahinya. “Kau ingin
aku menjawab apa? Aku yang lebih dulu merayunya atau suamimu yang lebih dulu
merayuku? Karena tidak akan ada bedanya. Yang harus kau salahkan adalah dirimu
sendiri, bukan aku atau suamimu” aku tersenyum santai, meneguk hingga tandas minuman
milikku.
Perempuan itu seperti
bersiap hendak menamparku tapi tak jadi dilakukannya. Dia menarik nafas panjang
kemudian bersandar di kursinya. “Kau masih muda” desisnya “suamiku sembilan
belas tahun lebih tua darimu. Kau bisa mendapatkan seorang pria yang lebih baik
dengan kecantikan dan kecerdasanmu. Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri
dengan mencintai suamiku?”
“Apa itu berarti kau juga
merendahkan dirimu sendiri dengan mencintai suamimu?” aku balas bertanya sambil
menyengir. Perempuan di depanku ini semakin membuatku gentar.
“Bukan itu maksudku”
tukasnya “kau mencintai seorang pria beristri, itu masalahnya. Apa di dunia
ini, dunia yang kau kenal ini tidak ada laki-laki yang lebih baik dari suamiku
sampai kau harus memilikinya?”
“Memang...” jawabku pelan,
memandangi bola matanya yang berwarna kecoklatan “memang tidak ada laki-laki
lain yang lebih baik dari suamimu. Aku tidak pernah jatuh cinta dengan seorang
pun sebelumnya. Suamimu adalah laki-laki terbaik yang pernah aku kenal. Laki-laki
pertama yang aku cintai...”
Perempuan itu seperti
tercekat. Dia mengalihkannya dengan memanggil pelayan untuk menambah minuman
kami.
“Suamimu...dia sangat baik”
lanjutku “kau tau, dia sering melakukan hal-hal kecil untukku. Membelikan aku
kopi ketika kami lembur, membawakan aku makanan saat aku tak bisa meninggalkan
pekerjaanku, membelikan aku buku yang sangat ingin aku beli, hal-hal kecil
seperti itu yang membuatku yakin tak akan ada pria lain sebaik dia. Meminjamkan
jaketnya saat hujan, memayungi aku saat menunggu taksi. Apa kau pikir aku tidak
akan jatuh cinta pada pria seperti itu? membiarkannya berlalu begitu saja
meskipun aku tau dia punya kau dan kebahagiaannya yang lain? Sayangnya aku
egois dan itu membuatku tak peduli padamu” aku tersenyum sinis “kita sedang
berada dalam sebuah kompetisi dan aku hampir menang meskipun kau yang memulai
start lebih dulu”
“Suamiku bukan piala yang
harus diperebutkan” dia berkata setenang yang dia bisa “dan aku tidak tertarik
untuk berkompetisi dengan perempuan sepertimu. Aku tidak pantas untuk itu”
senyum di wajahnya merekah, jauh lebih sinis dariku.
“Begitu menurutmu?” aku
tertawa kecil, memberikan gelas kosong di tanganku kepada pelayan yang baru
datang mengantarkan gelas minuman yang baru untuk kami “toh aku sudah menjadi
pemenang”.
Kemudian kami berdua
sama-sama diam, sama-sama memandang ke luar jendela dan menonton anak-anak
kecil di pinggir jalan yang saling berkejaran. Selama beberapa saat keheningan
menyelimuti kami dan waktu terasa menggantung. Kami butuh jeda untuk saling
memahami posisi kami satu sama lain. Kami mencintai orang yang sama yang kini
mungkin sedang duduk bekerja di kantornya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi di luar sini. Dua orang perempuan yang saling berhadap-hadapan dan
berusaha saling memenangkan diri masing-masing.
“Aku dijodohkan dengannya”
perempuan itu memecah keheningan “dulu aku sama sekali tak mencintainya dan
bahkan bersedia melakukan apapun agar dapat meninggalkannya di dua tahun
pertama pernikahan kami. Lucu jika sekarang aku berusaha keras mempertahankannya.
Ternyata hukum karma benar-benar ada” dia tersenyum getir “dia selalu berusaha
membuat aku mengubah pikiranku hingga aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan
sekarang aku yang harus berusaha meyakinkan dia agar tidak meninggalkan aku.
Aku benci situasi ironis seperti ini.”
Perempuan itu mengangkat
wajahnya dan memandangi langit-langit restoran sambil menggosokkan tangannya ke
bawah matanya. Percuma saja dia menahan air matanya agar tidak jatuh di
hadapanku. Karena aku pun sedang berusaha keras menahan air bening itu keluar
saat ini di hadapannya.
“Kau bisa meninggalkan dia
saat itu jika kau mau, tapi kenapa kau tetap mempertahankannya?”
Dia tersenyum dan
menggeleng. Air mata itu akhirnya jatuh juga ke pipinya, mengalir hingga ke
dagunya yang runcing. “Aku tidak bisa...dia terlalu baik padaku. Semua
kebaikannya itu membuatku menjadi ragu. Dia benar-benar memperlakukan aku
dengan sangat istimewa. Apa kau pikir aku akan meninggalkan pria seperti itu? Dia
menyuapi aku ketika aku sakit dan aku malah memuntahinya. Tengah malam dia
menggendongku ke mobil dan mengantarkan aku ke dokter kenalannya. Dia bahkan
memasakkan makanan kesukaanku saat aku berulang tahun dan memberikan aku pesta
kejutan. Sampai akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padanya, aku tidak pernah
berani untuk meninggalkannya.”
Aku menggigit bibirku.
Betapa aku iri pada perempuan di hadapanku ini. Kalau saja dia tahu butuh waktu
bagiku untuk dapat duduk dengan santai di hadapannya seperti sekarang ini. Aku
butuh waktu untuk meyakinkan diriku untuk berhenti, berhenti dari menyakiti
dia, berhenti dari mencintai suaminya. Aku menghabiskan satu minggu hanya untuk
menangis dan meratapi diriku sendiri. sampai kapanpun aku tidak akan pernah
memiliki suaminya.
Tapi
dia egois dan ingin memiliki suaminya untuk dirinya sendiri! Dan dia bodoh!
Seruku dalam hati, memandang sedikit ke mata perempuan yang sembab itu. Dia bodoh karena memilih untuk tetap setia
kepada suami yang telah berkhianat itu. Dia bodoh karena lebih memilih mengusir
aku dari kehidupan mereka alih-alih mengusir suaminya dari kehidupannya.
Dia
memilih untuk tetap mencintai suaminya. Dia tidak akan bercerai dengan suaminya
dan membiarkan aku memiliki pria itu.
“Kalau saja aku bisa memilih
dengan siapa aku jatuh cinta...” gumamku tanpa sadar. Bisa. Sesungguhnya aku bisa memilih untuk tidak membiarkan diriku larut
di dalam pandangan mata suaminya. Seharusnya aku bisa berlari dan pergi begitu
saja dari segala kebaikan yang ditawarkan pria itu. Dari segala kelembutan yang
diberikannya padaku.
“Kau bisa memilih!” seru
perempuan itu dengan sengit, mengejutkan aku. “Kau bisa memilih untuk tidak
memilih! Kau bisa memilih untuk mengubur dalam-dalam cintamu itu, tapi kau malah
memilih untuk merusak hidup orang lain” nadanya semakin sinis. Air mata di
wajahnya tidak lagi membuatnya terlihat lembut.
“Tentu saja aku bisa
memilih!” balasku. Klimaks. Kini giliran air mataku yang jatuh perlahan ke
wajahku. “Aku bisa memilih untuk hanya mencintai suamimu dalam diam, berharap
Tuhan memisahkan kalian berdua dan menjadikan aku penggantimu. Aku bisa memilih
tentu saja, memanfaatkan semua kebaikannya tanpa perlu melibatkan perasaan. Ada
banyak pilihan, tapi cinta tak mengijinkan aku untuk memilih yang lain. Kau
pikir aku akan dengan mudah duduk di hadapanmu saat ini jika aku bisa memilih
hal lain?” aku nyaris berteriak padanya, menumpahkan semua yang telah mengendap
dalam diriku selama setahun terakhir ini sejak aku mulai jatuh cinta pada pria
itu. “Aku berusaha keras untuk tidak mempedulikanmu dan nyatanya aku tidak
bisa. Dia terlalu baik dan itu membuatku tak bisa menganggap kau tidak ada.”
Perempuan itu menutup
wajahnya dengan kedua tangan sementara bahunya berguncang. Menangislah, menangis untuk kemenanganmu sore ini. Desisku.
“Aku kesini...” nada suaraku
perlahan melemah “untuk minta maaf padamu. Aku menyerah, aku lelah harus terus
menyembunyikan cinta kami dari orang lain.” Kutarik nafas dalam-dalam “kau
dengar itu?” nada suaraku kembali meninggi “aku akan meninggalkannya saat ini
juga. Kau senang? Silahkan kau tertawa bahagia!”
Dia membuka kedua tangannya
dan memandangiku. “Kenapa?” tanyanya bingung. Dia tampak berantakan dengan air
mata itu.
“Aku lelah. Aku lelah dengan
semua kesalahan ini, denganmu, dengan dia...aku lelah menjadi orang yang selalu
disalahkan. Sebaiknya aku memang pergi dari dirinya agar orang-orang sepertimu
dapat tertawa bahagia. Bukankah begitu? Bukankah kita sesama perempuan selalu
dapat tertawa bahagia melihat perempuan lain dapat kita kalahkan? Bukankah kita
memang egois, menginginkan seorang pria hanya untuk diri kita seutuhnya? Aku
tidak akan memintamu berbagi, tenang saja. Jika aku jadi kau, aku juga tak akan
pernah mau untuk berbagi dengan perempuan lain. Jadi, selamat! Kau berhasil
memenangkan suamimu dariku. Jaga dia baik-baik karena jika tidak, aku bisa
kembali kapan saja dan tertawa bahagia di depanmu”
Aku meraih tas yang
tergeletak di sisiku kemudian berdiri dari kursi. Sejenak aku pandangi dirinya
yang masih duduk diam dalam keterkejutannya kemudian aku julurkan tanganku
kepadanya. “Kau masih bersedia berjabatan tangan denganku kan?” tanyaku.
Tersadar dengan teguranku,
dia langsung menghapus air mata di wajahnya. Setelah itu dia juga ikut berdiri
dan bukannya menjabat tanganku tapi malah merangkulku.
“Terima kasih” bisiknya di
telingaku “terima kasih untuk kesempatan kedua yang kau berikan untukku. Semoga
kau mendapat seseorang yang lebih baik dari dia.”
Aku mengangguk saat dia
melepas rangkulannya setelah itu aku berjalan pelan keluar restoran. Diam-diam
tanpa aku sadari, air mataku kembali mengalir.
Aku bahkan belum mengucapkan
selamat tinggal untuk pria baik itu.
Rasanya sakit. Sakit sekali.
----------------------------------------------------------------------------
*Cerpen yang tadinya mau dilombakan tapi lupa dikirim sampai batas waktunya habis -___-"
Comments
Post a Comment