Keuangan Pegawai Lajang VS Pegawai Berkeluarga
Sejak dulu hal ini sudah
nyangkut-nyangkut di benak saya dan hendak saya analisa lebih dalam lagi tapi
selalu tidak berkesempatan (entah itu karena saya sedang malas bertanya dan
menganalisa mungkin). Jadi kemarin saya membaca artikel mengenai keuangan perempuan
dan bagaimana agar mereka bisa menabung. Akhir-akhir ini saya sedang menyukai
artikel mengenai keuangan setelah menonton wawancara Ligwina Hananto di M*tro
TV sekitar setahun yang lalu. Saya merasa kepayahan mengatur keuangan saya dan
mulai mengikuti sarannya untuk mencatat setiap pengeluaran kita sampai hal
paling kecil agar bisa dikalkulasi di akhir bulan kemana saja uang kita terbang
melayang dan cara menyiasatinya untuk pengeluaran di bulan selanjutnya. Dan err...hal
itu hanya berjalan sebulan saja *ditabok penasihat keuangan*
Ahya, di artikel itu disebutkan
perempuan hanya menghabiskan uangnya untuk dua hal : belanja dan travelling. Perempuan
yang doyan belanja biasanya tidak suka travelling dan perempuan yang suka
travelling biasanya tidak doyan belanja. Oke...saya termasuk yang doyan
travelling dan agak doyan belanja buku, tidak begitu suka belanja yang
lain-lain kecuali dibelikan #sikap.
Nah, yang jadi pertanyaan besar
saya, kok bisa ya teman kantor yang sudah nikah hidup dengan gaji ‘segitu’? Maksud
saya, gaji kami sama, tapi kok bisa ya gajinya mencukupi seluruh kebutuhan
keluarganya sementara saya sendiri kadang masih kelabakan di akhir bulan. Saya
juga mikir lebih lama lagi, ‘kok mereka bisa ya hidup dengan tenang sampai
akhir bulan?’
Berangkat dari
pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan untuk diri saya sendiri itu maka saya
mulai menghitung-hitung berapa kira-kira pengeluaran sebuah keluarga kecil
setiap bulannya. Bayar zakat, biaya telepon, air, listrik. Uang belanja dapur,
belanja rumah tangga, cicilan rumah (kalau ngambil KPR), biaya tak terduga,
tabungan kesehatan, tabungan haji, tabungan pendidikan, investasi...dan hwuahhh...
saya nyaris semaput. Jika setiap bulan saya harus mengeluarkan sebanyak itu,
bagaimana dengan tabungan saya untuk jalan-jalan? Bagaimana dengan belanja buku
bulanan yang sudah saya anggarkan? Bagaimana dengan belanja jilbab? Uang pulsa?
Bensin? Cemilan? *mengkerut di balik kalkulator raksasa*
Saat itu saya mikir, oke, menikah
itu tidak mudah. Bukan proses dan akadnya, tapi kehidupan setelah pernikahan. Tapi
bukannya gentar, saya malah tertarik untuk mencari solusi dan alternatif
bagaimana menyiasati defisit bulanan jika nanti telah berkeluarga. Tapi saya
hanya menghitungnya dari penghasilan saya sendiri saja, belum saya akumulasikan
dengan gaji suami saya nanti karena saya masih belum dapat pertanda alam apa
profesi suami saya nanti dan saya tidak mau berandai-andai berapa besar
penghasilannya *kalem*
Yang pasti ada banyak hal yang
harus dikorbankan dalam pernikahan yang saya rasa tidak akan pernah sepadan
dengan banyaknya pahala yang akan kita raih dalam pernikahan itu. Yaa...meskipun
saat ini saya masih belum berhasil menemukan ‘formula’ bagaimana agar penghasilan bulanan
saya bisa paling tidak ngepas dengan pengeluaran keluarga (asal jangan sampai
defisit, syukur-syukur bisa surplus), tapi tenang saja, sedang saya kaji terus
menerus masalah defisit-defisit ini *ngomong sama tembok*
Tapi hey! Ada satu hal yang sering
kita – sebagai manusia – lupakan. Matematika Allah berbeda dengan matematika
kita. Kalkulator Allah berbeda dengan kalkulator segede gaban kita. Apa yang
menurut kita tidak cukup belum tentu tidak cukup menurut Allah. Bukankah Allah
telah menuliskan formula-Nya dengan sangat jelas di dalam Alquran surah An-Nur
ayat 32 :
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yag layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.
Mendadak saya malu dengan
pertanyaan di benak saya sebelumnya soal ‘kok bisa ya orang yang sudah nikah
hidup dengan gaji ‘segitu’?’
Tentu saja bisa kalau Allah
sendiri yang menjaminnya dalam Alquran. Bukankah janji Allah pasti terjadi? Kenapa
saya bisa sedangkal itu, berpikir dengan batas-batas logika duniawi saja tanpa
pernah berpikir dengan dasar keimanan bahwa ada Sang Maha Segalanya yang telah
menjamin kehidupan kita? Dan yang lebih memalukan lagi, pemahaman itu justru
datang dari teman saya yang notabene bukan anak ‘ngaji’. Bahkan orang awam pun
paham, Allah Maha Luas Pemberiannya. Saya semakin malu pernah meragukan janji
Allah yang jelas-jelas tertulis di kitab-Nya.
Jadi yang harus kita lakukan
sekarang adalah tetap mendengarkan nasihat dari pakar keuangan bagaimana
mengatur cash flow keluarga tanpa sedikit pun mengurangi keyakinan di dalam
diri bahwa ada Allah yang Maha Segalanya *pasang senyum paling elegan sedunia*
Catatan untuk diri di awal tahun
Rumah, isya
19.21 PM
2 Januari 2013
nah..
ReplyDeleteNah! (Juga)
ReplyDelete