Prestise
Aku selalu berada di antara
orang-orang yang harus dipilih. Dan selalu pula aku menjadi orang yang tidak
dipilih, orang yang kalah.
Keheningan kali ini terasa lebih
menyakitkan daripada biasanya, daripada sebelum-sebelumnya.
Dia tidak ingin berbicara lebih banyak dan aku tidak ingin mendengar hal apapun
lagi darinya.
“Aku mengejarnya kemarin, begitu saja, di jalanan ramai nyaris
tertabrak mobil. Sesuatu yang sangat besar mendorongku untuk mengejarnya dan
ingin rasanya aku menangkap tangannya. Aku ingin bilang agar dia jangan
kemana-mana lagi, tidak sekarang maupun besok. Mendadak rasa takut
kehilangannya menghantuiku, rasa yang sebenarnya sejak dulu telah ada tapi
enggan menunjukkan eksistensinya di dalam kepalaku. Dan ketika dia benar-benar
berkata dalam diriku untuk jangan pernah membiarkan perempuan itu pergi, perempuan
itu nyaris pergi, sehingga aku harus mengejarnya, menimbulkan sedikit keributan
di jalanan, jadi tontonan. Perempuan itu memandangku dengan wajah sebal tapi
yah...dia masih selalu mencintaiku”
Dia berbicara cukup panjang
sehingga memberiku waktu untuk mengendalikan diriku dan bersikap biasa saja di
depannya. Apa katanya tadi? Berlari mengejar perempuan itu? Tidak ingin
kehilangannya? Heroik sekali dia. Lantas dimana aku saat itu? Ada di memori bagian mana dari
dirinya dia meletakkan namaku saat itu? Dimana dia menyimpan kalimat ‘aku ingin
menikah denganmu’ yang telah dia ucapkan padaku sebulan yang lalu? Apa aku
tidak cukup penting buatnya sehingga dia tidak mempedulikan perasaanku ketika
dia mengejar perempuan itu di jalanan dan nyaris ditabrak mobil? Aku mencengkeram
lututku hingga buku-buku jariku memutih dan sulur-sulur hijau itu semakin
terlihat jelas. Sama jelasnya dengan wajah kebingungan laki-laki di depanku ini.
“Jadi?” tanyaku. Hanya itu yang
bisa aku ucapkan, atau paling tidak hanya itu hal baik yang bisa aku ucapkan
sementara hal buruk lain berusaha aku simpan rapat-rapat di dalam diriku. Tidak
untuk siapapun. Dia tidak cukup berharga untuk mendapat amarah dariku.
Dia menggedikkan bahu, tampak
benar seperti orang linglung. Pandangannya tidak fokus, sesekali dia melempar
pandang ke arah jalanan di bawah sana, sesekali ke arah meja-meja kafe yang
masih kosong, bahkan sesekali dia tampak menatap hampa cangkir capuccino yang
isinya masih penuh itu. Dia tidak menyentuh apapun sejak tiba di kafe ini,
hanya pandangannya yang menyentuh semuanya.
“Oh, baiklah. Akan kusimpulkan
saja. Kau tidak ingin melanjutkan rencana pernikahan ini karena kau tidak ingin
kehilangan perempuan itu. Bukan begitu? Baiklah, tak masalah buatku. Lagipula aku
tidak pernah mengenalnya, kau tidak pernah mau cerita padaku tentang dia, kau
ingat? Jadi tidak masalah, dia bukan temanku atau siapa. Aku tidak perlu harus
bersikap pura-pura baik padanya kan? Karena akan sulit harus berpura-pura baik
pada teman atau kenalan sendiri padahal jelas-jelas aku pasti akan membencinya
nanti, ketika dia memakai namamu di belakang namanya. Oke, masalah ini selesai.
Aku akan pulang.”
“Nadira” panggilnya lirih, “aku
minta maaf. Aku benar-benar minta maaf” katanya dengan nada sangat terluka. Kalau
saja dia sedang akting, maka bisa aku pastikan aktingnya benar-benar bagus.
Aku memaksa diri untuk tertawa. Kali
ini aku juga berakting cukup bagus dengan tetap bersikap santai dan
berpura-pura untuk tidak peduli. Aku mengibaskan tangan di depannya. “Tidak
perlu. Maaf hanya akan menegaskan kalau kita berdua telah berbuat kesalahan
dengan pernah merencanakan sebuah pernikahan. Ya, sebuah pernikahan tanpa cinta
harusnya menjadi kesalahan sejak awal...”
“Tapi aku memang...” dia
tiba-tiba memotong “aku memang mencintaimu” katanya parau.
“dulu” sambungku “dan sekarang tidak. Sekarang cinta itu sudah
habis. Bukan begitu?”
Dia menggeleng. Aku menggerutu
dalam hati. Dia benar-benar menyebalkan. Seharusnya dia mengangguk saja,
menyetujui apa yang aku katakan. Menyetujui kalau dia memang tidak pernah
mencintaiku atau memang pernah – menurut pengakuannya – dan kini tidak lagi.
“Aku tidak pernah bilang tidak
mencintaimu lagi. Aku hanya bilang kalau kita sebaiknya tidak melanjutkan
rencana pernikahan ini. Itu tidak sama dengan bilang kalau aku tidak
mencintaimu lagi. Itu dua hal yang berbeda...itu bukan...”
“Restu” potongku “sudahlah. Itu sama
saja bagiku. Semua hal ini sederhana saja. Jika kau menyukai seorang perempuan
maka kau akan menikahinya, jika tidak maka kau tidak akan menikahinya. Selesai.”
Lagi-lagi Restu menggeleng “tidak
sesederhana itu. Kau tidak mengerti!”
Ingin sekali aku melabrak meja di
depan kami dan membuat capuccino coklat pucatnya itu tumpah ke atas celana
denim panjang miliknya. Tapi aku bertahan. Reputasiku sebagai perempuan
santun dan penyabar harus tetap terjaga, bahkan di depan laki-laki menyedihkan
seperti Restu sekalipun. Lelaki yang selalu mengelak dan berusaha membuatnya
terlihat baik-baik saja...dari luar.
“Apanya yang tidak aku mengerti?”
aku bertanya dengan nada tenang nyaris datar. Aku cukup heran dengan
kemampuanku mengendalikan diri sore ini.
“Perempuan itu, yang aku kejar
hingga nyaris tertabrak, sudah lama aku tak mencintainya lagi sejak aku bertemu
denganmu. Saat dia tiba-tiba muncul di depanku, aku seperti tersadar saat itu
juga. Bukan cinta, bukan. Bukan cintaku yang membuatku mengejarnya dan
meninggalkanmu. Karena jika aku memilih cintaku, maka aku akan memilihmu. Selesai.
Tapi...”
“Tapi dia masih mencintaimu. Itu masalahnya
kan? Kau tidak akan memilihnya jika kau bertanya pada dirimu sendiri siapa yang
kau cintai kan? Masalahnya kau tidak mau bertanya pada dirimu dan mengabaikan
perasaanmu sendiri tapi bertanya padanya.
Pada perempuan itu. Kau memilihnya hanya karena dia masih mencintaimu meskipun
kau tidak mencintainya lagi. Kau memilihnya karena kau tidak yakin aku
mencintaimu kan?”
Kali ini dia mengangguk,
menangkupkan kedua tangannya di atas meja. “Kau benar.”
“Memang” kataku datar “jika kau
menganggap aku seperti itu, maka akan aku iyakan saja. Laki-laki tidak pernah
mau dibantah kan? Jadi kau benar, aku memang tidak mencintaimu. Hanya terlalu
simpati padamu dan tidak mampu menolak lamaranmu. Kau benar. Aku heran kau baru
menyadarinya sekarang, tidak sejak awal. Dan aku lebih heran lagi kau
menyadarinya melalui perempuan itu” aku tertawa sinis – sesinis yang aku bisa.
Apa sih susahnya berakting dan
berbohong di depan laki-laki menyedihkan ini? Hhh...untunglah cintaku padanya
tidak tumbuh sedemikian cepat dan menjalar sedemikian lebat. Aku akan bisa
melupakannya, pasti. Seperti yang sudah-sudah. Aku selalu menjadi orang yang
tidak dipilih. Mereka tidak pernah memilihku hanya karena aku terlalu takut
untuk menunjukkan kepada mereka apa isi hatiku yang sebenarnya. Semacam gengsi
mungkin. Ah, sudahlah.
17.27
06 Januari 2013
Dedicated to Miss Gengsi all over this country =))
Comments
Post a Comment