Saya dan Soe Hok Gie



Sesuai judulnya, saya ingin bilang kalau tidak ada apa-apa antara saya dan Soe Hok Gie (iyalah). Dia lahir tahun 1942 dan meninggal tahun 1969 sementara saya lahir 46 tahun setelah dia lahir atau 19 tahun setelah dia meninggal. Dia tinggal di Jakarta, saya tinggal di Luwuk. Dia suka demo, saya tidak. Dia suka naik gunung, saya…iya, saya suka dengan alam. Dia cina, saya..iya…ada campurannya dikit dan masih mendapat jatah sepasang mata sipit. Halah.

Saya suka orang seperti dia. Di buku Catatan Seorang Demonstran miliknya dia banyak mengobservasi sifat-sifat dan karakter teman-temannya dan membandingkan dengan dirinya sendiri. Dia pernah menulis, kalau dia adalah orang yang berpikiran liar, tidak monoton, tidak suka dengan sesuatu yang safe, tidak suka menjadi orang yang hidup di bawah naungan kemunafikan. Saya suka caranya yang terang-terangan menentang kebusukan-kebusukan yang ada, caranya mengkritik, buku-buku yang dibacanya, sikapnya yang berani, caranya memandang cinta dan kekasih, caranya menilai wanita, dan caranya menghormati mereka.


Dari tulisan hariannya saya berpikir, orang seperti dia pastilah hidup dengan dinamis. Selalu ada hal yang dia lakukan dan itu menyenangkan hatinya. Hanya saja dia selalu merasa tidak ada orang yang mau mengerti dirinya. Saya rasa itu tidak seratus persen benar. Lihatlah teman-temannya yang selalu ada dengannya. Herman, Maria, Rina, Jopie, Tides, mereka semua itu mungkin saja ingin mengerti dirinya tapi dia tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengerti. Gie berlari di dunianya sendiri dan tak mengajak orang lain entah dia sengaja atau tidak. Sejak awal dia telah membentengi dirinya sendiri dengan prinsip-prinsip yang dia anut dan itu menyulitkan orang lain yang mau memahami dia. Meski dia juga kadang berpikir untuk mengubah paham yang dia anut jika ada orang lain yang mampu mematahkan paham-pahamnya itu.

Ah, saya tidak ingin membahas karakter Gie disini. Selain saya tidak pernah mengenalnya secara langsung, saya hanya menemukan informasi tentangnya di buku Catatan Seorang Demonstran dan film Gie yang tentu saja tidak akan mampu membuat saya memahaminya. Saya hanya ingin membahas sedikit bagian saja yang juga hanya dia bahas sedikit dalam catatatn hariannya. Tentang Maria, Rina dan Sunarti.

Maria adalah wanita yang dicintai Gie. Bahkan sampai di akhir catatannya tanggal 8 Desember 1969 dia masih terus menulis tentang wanita itu. Tentang betapa dia senang dapat berbincang-bincang lagi dengan Maria setelah lama tak pernah lagi bicara berdua saja – sejak mereka putus. Meskipun Gie selalu berusaha mengelak melalui catatan hariannya, tapi dia juga mengakui lewat tulisan-tulisannya kalau dia masih memikirkan Maria.

Sunarti atau Kartini Sjahrir adalah teman Gie yang lain. Gie suka dengan sikap kanak-kanaknya dan rambutnya yang panjang. Dia menyebut Sunarti gadis yang manis. Di akhir hidupnya, Gie makin dekat dengan Sunarti dan ingin membuat acara khusus dengan gadis itu. Tapi menurut saya itu lebih karena dia merasa Sunarti memang menyukainya dan tidak baik jika dia meninggalkan Sunarti begitu saja. Tidak bermoral. Gie sendiri mulai menyukai Sunarti, tapi tetap saja, selalu ada nama Maria dan Rina di sana.

Dan Rina, saya rasa Gie punya tempat khusus untuk sahabatnya ini. Secara tidak sadar, Gie telah mengagumi Rina. Dia suka dengan karakter gadis itu yang cuek, rasional, dan dingin. Dia dan Rina sama-sama saling tahu kalau mereka saling menyukai satu sama lain. Tapi Gie tidak pernah terlalu berani untuk mulai menjalin hubungan dengan gadis itu dan Rina – dari yang saya baca, sesuai dengan karakternya, dia dingin dan cuek. Hanya karena dia sahabat Gie maka dia bersikap lebih perhatian pada Gie.

Saya hanya merasa sayang bahwa kesempatan Maria untuk keluar di dunianya yang saya anggap hipokrit telah berakhir. Richard anak yang manis tapi ia bukan benda liar. Hidup dengan dia amat monoton. Tapi saya juga menyadari bahwa hidup dengan saya bukan soal yang mudah.” (Hal. 391)

Ini salah satu paragraf yang saya suka di buku CDS. Menurut Gie, hidup dengannya bukan hal yang mudah. That’s why I love him with my way.

Maria adalah manusia yang primitif. Dia wanita yang benar-benar, posesif, sensitif dan cemburu tapi atensi. Saya merasa menjadi manusia yang primitif bersama dia. Merasa memiliki dan dimiliki. Sebaliknya Rina seorang yang dingin, rasional, dan acuh tak acuh. Saya merasa menghadapi teka-teki silang kalau menghadapinya. Ia memuaskan, memuji intelektualitas saya. Padanya berjalan persoalan-persoalan, soal manusia yang tetap berdiri di tengah-tengah penderitaan. Saya ingat kembali kata-kata Sjahrir bahwa dari seorang wanita kita memerlukan kepuasan seksual dan intelektual. Maria memberikan pada saya physical and emotional love that make me feel like a man. Pada Rina itu menjadi platonic love – sense of responsibility.” (Hal. 396-397)

Dia memandang Maria dan Rina sebagai dua pribadi yang berbeda dan jelas sekali kalau dia merasa lebih condong ke Rina. Tapi dia tidak melakukannya. Rina adalah platonic  love baginya. Cintanya yang tidak harus dia miliki. Dan Sunarti, Gie menulis kalau mereka berdua adalah pasangan yang absurd. Tapi dia tidak mau mempunyai hubungan yang lebih dengan gadis yang manis itu. Mendekati bagian akhir hidupnya, dia mulai berpikir untuk dekat dengan Sunarti.

Dari Gie saya belajar beberapa hal. Dia seperti menjelaskan secara gamblang kepada saya apa yang ingin saya jelaskan kepada diri saya sendiri. Satu dua pertanyaan hidup saya terjawab di sini. Benarlah jika perintah pertama dari Allah adalah ‘iqra!’. Bacalah. Karena membaca membuat kita menemukan potongan-potongan mosaik hidup kita. Selain berkelana tentu saja.

Akhir kata, kesimpulan saya pribadi, Rina adalah love of Gie’s life. Platonic love.

UPS Soho
18 Januari 2012
2.25 p.m
Cerah!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor