Es Jeruk Dan Kualitas Diri


"Menurutmu, menyukai seorang laki-laki soleh itu kutukan atau anugerah?" tanya Keni tiba-tiba.

"Hah? Apa maksudmu?" aku buru-buru menghentikan aktivitasku menyeruput es jeruk di hadapanku.

"Yaa...maksudku, dengan kualitas diri seperti aku" dia menunjuk dirinya "apa pantas menyukai seorang pria yang kualitasnya jauh melebihi aku?"

"Kenapa tidak?" kembali aku menyeruput es jeruk.

"Tapi katamu kita akan mendapat jodoh yang kualitasnya sama dengan kita" Keni masih bersikeras.

"Ken, dengar ya. Biarkan Allah yang menilai kualitas diri kita. Jika kita mendapat jodoh yang menurut kita kualitasnya jauh di atas kita, itu artinya kualitas kita memang sudah setara dengannya. Itu urusan Allah. Terus saja memperbaiki diri" aku menepuk-nepuk bahu Keni.
Perempuan itu manggut-manggut.

"Jadi, siapa laki-laki soleh yang kurang beruntung itu?" tanyaku.

Wajah Keni berubah cemberut. Aku terkekeh, mencomot tahu isi di depan kami.

"Aku minder, Ta" ucap Keni sambil menunduk "jilbabku masih seadanya. Pengetahuan agamaku apa lagi. Aku belum bisa seperti kamu. Belum bisa berjilbab sepanjang kamu..."

Aku menarik nafas panjang. Keni tidak tahu kalau aku pun sedang merasa minder. Aku pun entah kenapa sedang memikirkan satu nama. Seorang laki-laki yang kualitas dirinya benar-benar jauh di atasku. Tanpa sadar pandanganku tergiring ke arah jilbab tipis yang dikenakan Keni kemudian ke arah jilbab sedada milikku. Meski menurut Keni aku masih lebih baik dari dirinya, tapi aku juga masih merasa banyak perempuan lain yang jauh lebih baik dari diriku. Perempuan-perempuan yang jilbabnya selutut dan perempuan-perempuan yang bercadar itu.

"Jangan seperti itu Ken" ucapku buru-buru "jangan langsung menyerah begitu saja. Itu bukan kutukan. Menyukai seorang laki-laki soleh adalah anugerah. Karena dia memotivasi kita untuk menjadi lebih baik lagi. Untuk menuntut ilmu lebih banyak lagi." Aku menyemangati Keni
.
"Tapi katamu lagi" Keni memuntir-muntir ujung sedotannya "jika niat kita untuk berubah menjadi lebih baik hanya karena seseorang, kita cuma dapat orang itu tapi tidak dapat pahalanya. Aku harus gimana dong? Urusan niat ini rasanya suliiiiiit sekali. Iya, aku juga ingin memperbaiki diri, ingin menuntut ilmu agama lebih banyak lagi karena Allah. Tapi tetap saja, ada saja niat yang lain meski ukurannya kecil." Wajah Keni tampak memelas. Urusan niat memang masih menjadi hal yang sulit baginya.

Aku tercekat, sedikit senang Keni menyimpan semua nasihatku dengan baik di memorinya, tapi aku juga kehabisan kata-kata untuk menyemangatinya.

"Niat itu..." kataku pelan "biarkan menjadi urusan Allah dan makhluknya. Lakukan saja yang terbaik. Siapa yang tau Allah meluruskan niatmu di tengah perjalanan? Yang penting jangan berhenti berdoa, minta sama Allah untuk memperbaiki niat kita. Bukankah Allah yang maha membolak-balikkan hati?" Aku mengakhiri kalimatku dengan senyum sedikit lega.

Keni ikut tersenyum, "aku rasa kamu benar, Ta. Baiklah, aku akan melakukan yang terbaik." Wajah Keni tidak terlihat kusut lagi. "Dan kamu? Tidak punya seseorang yang kamu sukai? Cerita dong. Tenang saja, aku tidak akan bilang siapa-siapa."

Aku tersenyum, mengalihkan pandanganku pada piring gorengan di depan kami. "Aku makan dulu ya. Laper nih."

"Ish...jangan menghindar!"

Aku terkikik geli.

"Jadi siapa laki-laki yang kurang beruntung itu?" Keni mengulang pertanyaanku tadi.

Aku menggeleng "tidak ada"

"Ah...masa seorang Thahirah tidak punya niat untuk menikah sih?" desak Keni.

"Niat pasti adalah. Tapi tidak harus menyukai seseorang dulu sebelumnya kan?"

"Iya sih. Tapi tidak gitu juga dong, Ta. Rasa suka itu kan wajar. Kamu pernah bilang loh. Pasti adaa lah, minimal kita merasa tidak keberatan kalau dialah orang yang akan jadi suami kita."

"Pintar sekali kamu memilih kata-kata, Ken" aku tertawa "minimal kita tidak merasa keberatan?" ulangku.

Keni mengangguk bersemangat. "Iya. Pasti ada orang yang membuat kita tidak keberatan untuk menerimanya."

"Hmm..." aku pura-pura berpikir. Keni benar. Ada satu orang yang bisa membuatku merasa tidak keberatan. Tapi aku merasa tidak pantas.

"Siapa?" desak Keni.

"Orang itu...dia terlalu baik buatku. Aku hanya bisa memandangi dia dari jauh, dari tempatku yang gelap. Sementara dia, berdiri di bawah sinar, membuat dirinya nampak pada semua mata. Tempatku gelap, dia tidak akan bisa melihat aku yang sedang berdiri memerhatikannya."

"Kamu kan bisa meminjam sedikit cahaya dari yang lain biar dia bisa melihat kamu, Ta."

Aku menggeleng "tidak ada, semua cahaya itu hanya bersinar di sekelilingnya."

"Kalau begitu berjalanlah ke arahnya, biarkan dirimu ikut mendapat cahaya itu agar dia bisa melihatmu."

"Itu yang sedang aku lakukan sekarang. Berjalan ke arahnya. Memperbaiki kualitas diri agar bisa setara dengannya. Agar aku tampak di matanya."

Keni terdiam. Dia tampak takjub sekaligus prihatin mendengar apa yang baru aku ucapkan.

"Kita sedang berjalan bersama-sama, Ta. Saling mendoakan ya" ucapnya.

Aku mengangguk dan mengacungkan jempolku. "Pasti" kataku pelan namun bersemangat.


***

Keni menarik lenganku. "Jalannya cepat dikit dong, Ta. Kajiannya sudah mau mulai nih."

"Kita mau kemana? Kajian apa?" tanyaku bingung.

"Ke masjid kampus lah. Kemana lagi? Kita harus menuntut ilmu dimana pun kan katamu? Jadi tidak apa-apa kan kalau selain mengaji sama kamu, aku ikut juga ke kajian anak-anak pasca sarjana itu?"

"Err...iya sih tidak apa-apa. Tapi..."

"Laki-laki yang aku cerita beberapa hari yang lalu itu, dia mau ngisi kajian di masjid kampus."

Belum juga aku menanggapi, Keni sudah kembali berlari sambil menarik lenganku.

Kami sampai di masjid saat kajian baru saja dimulai. Kami ikut bergabung bersama beberapa perempuan berjilbab lebar dan beberapa di antara mereka bercadar. Mereka menyalami kami berdua.

Samar-samar dari balik tirai pembatas peserta kajian laki-laki dan perempuan aku bisa mendengar suara yang amat aku kenal. Suara dari orang yang membuatku tidak akan merasa keberatan untuk menerimanya. Ah, masa aku juga harus memasukkan Keni di daftar sainganku?


00.46 AM

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor