Drama Anak Kost
Rumah Kost Bethesda tampak depan :D |
Akhirnya, setelah tiga tahun
hidup di rumah sendiri, saya akhirnya mendapat restu sang bunda untuk belajar
mandiri dengan hidup di kost. Tentu saja pilihan kost-an pertama saya adalah
kost-an Dewi karena dulu dia sudah pernah menawarkan untuk tinggal dengannya
setelah kakaknya pindah ke Palu.
Kost-an Dewi lumayan besar. Ada
dua kamar tidur, ruang tamu, ruang nonton, dapur dan kamar mandi. Tempatnya
juga cukup strategis, tidak jauh dari kantor saya dan tidak terlalu dekat
dengan jalan raya sehingga suasana kost-annya nyaman dan tenang. Dan seperti
yang sudah-sudah, jadi anak kost – apalagi beramai-ramai itu sangat seru!
Waktu saya baru pindah, kebetulan
di kost ada teman Dewi yang datang dan tinggal selama tiga hari. Namanya
Lastri. Pintar masak dan rajin masak. Jadilah asupan gizi kami sebagai anak
kost sedikit terangkat derajatnya dengan hadirnya seorang Lastri yang
memasakkan berbagai macam makanan untuk kami. Apalagi Lastri tidak bisa
nganggur sedikit saja karena dia akan langsung ke dapur dan tak berapa lama
kemudian, voila! Telah ada berbagai macam makanan yang siap kami santap.
Sayangnya hari ahad kemarin dia sudah pulang dan kami harus kembali makan
makanan ala anak kost. Tumis kangkung, tempe dan perkedel tahu (tapi tetap enak
kok).
Dewi itu bisa segala. Mulai dari
urusan masak-memasak sampai urusan otomotif dia paham (haha). Kalau mau tanya resep
masakan, tanyalah padanya. Mau tanya cara memperbaiki keran air, juga tanyalah
pada dia. Atau kalau mau tanya kenapa motor bisa sampai begini begitu, tanya
juga sama dia. Pokoknya dia serba bisa, makanya saya betah kost di tempatnya. Dia
jadi semacam guru buat saya. Selain itu karakter kami yang berbeda membuat
momen bertukar pikiran menjadi seru dan menyenangkan.
Meskipun hidup mandiri sudah jadi
cita-cita saya sejak dulu, tapi rasanya tetap aneh saat harus tinggal di
kost-an yang sepi karena rata-rata penghuni kost-nya pergi kerja. Apalagi saya
Cuma berdua dengan Dewi (kalau ada dia sih tidak sepi. Cerita-cerita terus sih
:p). Jadilah saya yang biasanya hidup di rumah yang ramai dengan empat orang
adik laki-laki merasa sangat kesepian hidup berdua saja, ditambah televisi yang
entah kenapa rusak dengan tiba-tiba. Lengkaplah sudah kesepian hidup sebagai
anak kost.
Saya jadi ingat masa-masa
perjuangan selama setahun sebagai anak kost dengan uang bulanan pas-pasan di
Manado empat tahun silam. Rasanya seperti kembali ke masa-masa itu. Cuci baju
sendiri, menyetrika, cari makanan ramai-ramai…. Masa-masa itu selalu membuat
saya rindu serindu-rindunya. Ditambah kegiatan talking-talking sebelum tidur,
saling berbagi, cucusapi (curhat-curhat sampe pingsan, meminjam istilah Fitri
Tropica), membahas pelajaran bersama-sama, kadang bertengkar, marahan, tapi
setelah itu tertawa bersama-sama. Setidaknya saya mendapat segudang pelajaran
berharga dalam memperlakukan sesama teman, orang lain, memahami karakter
mereka, pola pikir mereka, semuanya membuat saya seperti sedang melakukan
penelitian tentang berbagai karakter dan sifat orang lain. Semuanya seru meski
kadang mengesalkan. Semuanya menyenangkan meski kadang menyedihkan.
Ahya, saya ingat pernah suatu
sore saya duduk melamun di depan kamar kost teman sambil memandangi dia yang
lagi menjemur cuciannya. Sambil bertopang dagu saya bilang ‘saya sudah bosan
hidup’. Teman saya yang saat itu sedang menjemur langsung menghentikan aktivitasnya
dan menoleh kepada saya. ‘Apa?’ tanyanya pada saya meminta kembali mengulang
kalimat yang baru saya katakan.
‘Saya sudah bosan hidup’
Kemudian kami berdua hening. Tapi
setelah itu kami tertawa terbahak-bahak. Hahaha…ada-ada saja pikiran remaja
saya dulu. Saking bosannya menunggui dia yang lagi menjemur pakaian, saya jadi
melontarkan pernyataan yang aneh.
Ada hal yang paling krusial di pagi
hari untuk kami berlima – anak kost Bethesda. Rebutan kamar mandi. Haha…
apalagi kalau sudah Ani (bukan nama sebenanya) yang lebih dulu masuk kamar
mandi. Pasti lama. Sama halnya kalau sampai Kak Kiko (masih bukan nama yang
sebenarnya) yang duluan menjajah kamar mandi. Alamat telat masuk kuliah meski
letak balai diklat hanya berada sepelemparan batu di depan kost. Jadi jangan
heran, meski kuliahnya masuk jam 8, tapi saya sudah siap dengan peralatan mandi
jam setengah 6 atau paling lambat jam 6 pagi. Saya paling tidak suka menunggu
lama di depan kamar mandi soalnya.
Pernah Kak Kiko marah-marah
gara-gara dia harus menunggu lama di depan kamar mandi. Yang lagi pakai kamar
mandi saat itu adalah Ani dan kami sudah tau kalau Ani mandi selalu lama.
Jadilah saya dan Ramla menahan ketawa melihat kejadian itu. antara geli dan tak
tega. Ingin sekali menyarankan Kak Kiko agar memakai kamar mandi yang ada di
belakang saja. Tapi akhirnya dengan sendirinya sambil marah-marah dia langsung
pergi ke kamar mandi yang ada di belakang. Kamar mandi yang sama sekali tidak
sudi kami jamah. Haha..
Bahkan sampai metode menjemur
pakaian kami pun kami bahas. Mulai dari metode single fighter alias konser
tunggal di tengah-tengah tali jemuran milik Ani yang sama sekali tidak berani
kami tiru, sampai metode menjemur berkoloni milik kami berempat. Tak lupa
aktivitas khusus di hari sabtu, tidur seharian. Dan hari ahad adalah hari
beres-beres kamar kost.
Setelah tiga orang anak kost
melipir ke tempat PKL masing-masing, yang berarti mereka pulang sejenak selama
sebulan ke rumah orang tua, jadilah saya dan Ani bebas mengeksploitasi kamar
mandi. Rasanya enak bisa merasakan mandi dengan santai tanpa perlu
terburu-buru. Sampai kemudian datanglah dua orang penghuni kost baru anak KPPN
yang salah satunya benar-benar metroseksual. Mampu pakai kamar mandi selama
sejam! Mampu menyetrika baju sampai licin mengkilap selama setengah hari meski hanya
beberapa potong baju saja! Dan mampu meninggalkan bau parfum yang dipakainya
selama seharian penuh di area kost! Saya saja sampai bengong dibuatnya. Namanya
Kak Metro (anggap saja begitu).
Fimo pernah merajuk (marah?)
gara-gara dia selalu menjadi sasaran penitipan pembelian makanan sehingga pada
akhirnya kami harus membuat jadwal membeli makanan agar semuanya dapat giliran.
Atau Ramla yang selalu kami titipi dibelikan Energen setiap dia pulkam hanya
karena harga Energen di Manado dengan di Langowan selisih 500 perak
-__________-“
Atau ketika saya dan Fika
berpanas-panasan di pinggir jalan saat baru pulang dari Bank demi melayangkan
protes kepada pihak Bank karena uang 150 ribu saya tiba-tiba terdebet di buku
tabungan. Kami diteriaki oleh seorang pengendara mobil dengan kalimat yang tidak
sopan berbau SARA. Saya dan Fika sampai bengong. Kaget saja dibilang seperti
itu hanya karena kami berdua mengenakan kerudung.
Setiap akhir pekan kami harus
merogoh kocek lebih dalam karena warung makan langganan kami yang harganya murah
meriah selalu tutup sehingga kami harus pergi membeli makanan di rumah makan
padang (taulah berapa harga sebungkus nasi padang untuk ukuran anak kost
seperti kami). Biasanya kami hanya beli nasi putihnya saja, kalau ditawarkan
untuk ditambahi kuah sayur, kami manggut-manggut saja yang artinya sangat mau.
Hitung-hitung menambah rasa di nasi putihnya. Tapi pernah sekali Fimo
disinggung pemilik warung hanya karena membeli nasi putih saja tanpa lauk.
Haha… nasib…nasib.
Dan kesejahteraan mulai
menghinggapi anak-anak kost malang seperti kami – alhamdulillah. Karena Kak
Metro dan temannya Kak Leo (nama samaran) rajin bawa camilan ke kost dan rajin
mentraktir kami yang entah kenapa mungkin selalu terlihat berwajah lapar di
mata mereka. Jadilah ruang televisi tempat kami nongkrong selepas kuliah dan
setelah mereka pulang kerja menjadi surga makanan. Jasa kalian berdua tak akan
kami lupa, kak!
Perpisahan selalu menjadi onak
dalam masa-masa bahagia, seperti ketika kami telah selesai kuliah dan
ditempatkan di kota-kota yang berbeda. Saya pulang ke Luwuk, Tya di Biromaru,
Ramla dan Fika di Gorontalo, dan Fimo di Toli-toli. Tersebar ke segala arah di
penjuru sulawesi tengah dan Gorontalo dan sekitarnya. Saya masing ingat
urut-urutan kepulangan masing-masing dari kami. Tya dan Fimo lebih dulu
berangkat pagi-pagi naik pesawat ke Palu yang masih harus transit di Makassar,
setelah itu saya dijemput teman saya yang sama-sama penempatan di Luwuk jam 9
pagi. Barulah kemudian duo Fika dan Ramla yang pergi ke Gorontalo sekitar jam 2
siang (kalo tidak salah).
Tidak ada perpisahan penuh
tangis, kami cukup kuat kok (wekkkk). Hanya lambaian tangan tanda selamat
tinggal dari Tya dan Fimo, lambaian dari Fika dan Ramla juga Kak Metro (Kak Leo
masih tidur kayanya). Tak lupa ucapan perpisahan dari bapak dan ibu kost, yang
ternyata menjadi perjumpaan terakhir saya dengan bapak kost karena beliau
meninggal beberapa bulan setelah saya pulang ke Luwuk :(
That was actually not the end
Kami berlima bertemu kembali di
pernikahan Fika bulan Juni tahun 2011 di Gorontalo. Meski hanya saling sapa dan
lebih banyak foto-foto bareng -______-“ tapi pertemuan itu seperti mengulang
kembali masa-masa penuh peluh dan keluh di rentang tahun 2006 sampai 2007 yang
lalu. Kami punya banyak kesamaan; suka bercerita, malas belajar, malas pergi
beli makanan, senang nonton Magician of Love (haha), suka menyewa DVD di Ultra
Disk dengan kartu pinjaman milik Ibu Kost, juga suka nomat di Mantos meski kami
harus rela jalan kaki dari depan lapangan olahraga menuju Mantos di jalan
sebelah.
Masa lalu itu ternyata selalu
indah kalau dikenang yah? :)
(Catatan kecil yang seharusnya sudah
saya pindahkan ke blog saat masih kost dulu. Sekarang saya sudah kembali ke
rumah sendiri karena teman kost sudah pulang kampung ke Palu)
*ketawa sendirian di kantor
Untuk Sufitri Dewi Margono –
teman kost selama sebulan saya di belakang Klinik Sayang Ibu
Teman-teman kost Bethesda,
Fika Dunggio yang sedang menunggu
kelahiran bayi pertamanya
Firmansyah Mooduto alias Fimo
yang masih setia di Toli-toli
Fitria Firdaus Botutihe – jangan
lupa Indonesia Open kita! ;)
Dan Ramlawaty Hasan – You-know-what.
Hehe….
UPS SOHO
11.48 AM
Selasa panas
Comments
Post a Comment