Maryam
Usianya 5 tahun ketika pertama
kali aku mengenalnya. Aku menjadi sahabat abangnya saat aku duduk di
bangku kelas 5 SD – saat itu usiaku sepuluh tahun – dan aku sering datang
bermain ke rumahnya. Abangnya amat menyayangi adik satu-satunya ini sehingga
dia selalu dibawa-bawa kemanapun kami bermain. Main sepak bola di lapangan
ujung kampung – dia dibonceng naik sepeda oleh abangnya, main layangan, main
kelereng, main PS, main di sungai, menyusun puzzle di rumahku, pokoknya
kemanapun kami pergi dia selalu ikut, duduk manis di boncengan sepeda abangnya.
Beranjak kuliah, aku masih tetap
bersahabat dengan abangnya, masih sering datang ke rumahnya tapi tak berani
lagi menggodanya seperti dulu-dulu. Tak berani lagi menggelitiki pinggangnya seperti
saat dia masih suka ngompol di sofa ketika menemani kami belajar. Aku bahkan
kini tak berani lagi memandangi raut wajahnya terang-terangan. Dia selalu
menunduk setiap kali lewat di depan kami, seolah-olah khawatir tali sepatunya
akan lepas setiap saat. Usianya sudah 15 tahun, kelas 1 SMA. Dia sudah menjadi
gadis dewasa yang tak lagi terlalu sering ikut berkumpul bersama aku dan
abangnya. Satu lagi, dia kini telah berjilbab. Jilbab lebar yang membuatku sedikit
gentar menghadapinya.
Namanya Maryam – tak kurang dari
nama salah seorang wanita yang paling utama di dunia. Bersanding dengan nama
Khadijah, Fatimah dan Asiyah. Dia tetap masih pemalu dan kekanak-kanakan
seperti dulu. Hanya kini selera humornya sedikit berkurang. Tak lagi tertawa
dengan lelucon-lelucon kami berdua. Meski kini dia berubah menjadi sedikit
serius, tapi dia tetap si kecil Maryam yang masih suka merajuk minta dibelikan
es krim, jadi lebih sering menceramahi kami yang kadang masih seenaknya, dan
pernah bertengkar hebat dengan abangnya hanya karena abangnya membawa pacarnya
ke rumah dan ikut nongkrong bersama kami. Maryam tidak menyukai pacaran.
Termasuk dia pernah mogok bicara padaku selama sebulan hanya karena dia
memergoki aku sedang gandengan tangan dengan pacarku di toko buku. Entah kenapa
sejak saat itu aku pun jadi enggan untuk berpacaran dan lebih memilih tidak
pacaran daripada didiamkan begitu saja oleh si kecil Maryam.
“Kak, nih!” Maryam menyodorkan
sebuah buku padaku “baca ya!” katanya lebih bernada memerintah dan mengancam.
Aku mengerinyit, membaca judul buku bersampul putih yang diberikan Maryam. Sifat Shalat Rasulullah.
“Kalau buku kaya gini aku udah
punya” kataku menolak. Skripsiku masih memanggil-manggil untuk diselesaikan karena
targetku bulan depan aku sudah harus selesai dari belenggu skripsi sialan itu.
“Aku sudah punya kunci ibadah di rumah. Sudah khatam dari kelas 5 SD”
Maryam cemberut – seperti biasa.
“Yang ini beda kak! Biar kita ibadah wajibnya lebih bagus, biar sama dengan
sahalatnya Rasulullah”
“Lah, apa bedanya dengan kunci
ibadah sih? Sama-sama tentang sholat juga kan?” elakku.
“Pokoknya baca!” dia memberikan
buku itu kepadaku dan langsung berlari masuk ke kamarnya. Buku kesekian yang
dia paksa agar aku membacanya.
***
“Jadi Alfi mau lanjut ke Prancis
ya?” tanya Tante Ira, ibu dari Maryam dan Yusuf – abang Maryam. Saat itu dua
hari setelah wisuda. Aku datang ke rumah mereka untuk pamit karena akan segera
ke Prancis melanjutkan studi. Maryam terlihat agak pucat dan lesu hari itu. Dia
hanya duduk diam bersandar di sofa, di samping Yusuf sambil memandang kosong
televisi di depannya.
“Iya tante. Kebetulan ada adik
papa yang tinggal di Prancis” jawabku sambil meraih gelas berisi minuman yang
dihidangkan tante Ira.
“Yusuf tuh, mau langsung cari
kerja trus nikah” tante Ira melirik anak sulungnya.
“Lah, kan Umi sendiri yang bilang
gitu ke Yusuf. Nikahnya disegerakan kalau udah siap. Jadi Yusuf nyari kerja
dulu, trus nikah sesuai saran umi” kilah Yusuf demi melihat lirikan mataku yang
sedang menertawainya habis-habisan.
Tante Ira tertawa pelan. Wanita
berkerudung itu memang amat lembut dan selama sebelas tahun aku menjadi sahabat
Yusuf, tak pernah sekalipun aku melihatnya tertawa terbahak-bahak. Keluarga
mereka sangat religius. Karena itu aku heran kenapa Yusuf sama sekali tak
mewarisi sifat religius kedua orang tuanya dan adiknya, Maryam.
“Kalau Maryam gimana tante?”
tanyaku sambil melirik gadis itu. Maryam cuek dan pura-pura tak mendengar. “Mau
lanjut kuliah apa langsung nikah?”
Mata Maryam yang kecil melirik
tajam kepadaku. Aku tertawa, senang melihat dia mendelik seperti itu.
“Terserah Maryam sih. Tapi
sebaiknya Maryam kuliah saja dulu, biar pinter, biar bisa jadi ibu yang hebat
buat anak-anaknya nanti”
“Setuju Tante” sahutku sambil
menghabiskan minuman. Maryam berdiri dari sofa dan meninggalkan kami diiringi
oleh tawa aku dan Yusuf. Tante Ira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat
tingkah kami.
***
“Semester berapa sekarang?”
tanyaku pada Maryam. Kunjungan pertamaku ke rumah mereka lagi setelah dua
tahun. Dia sudah lebih dewasa sekarang. Bayang kekanak-kanakannya semakin
memudar.
“Baru semester awal kak” jawabnya
pelan. Dia menunduk.
Yusuf nyengir di antara kami
berdua. Setelah dua tahun ternyata dia belum juga berhasil mendapatkan seorang
istri. Kini dia telah bekerja sambil meneruskan kuliahnya. Hidup Yusuf terlihat
jauh lebih terarah sekarang.
“Biasa aja deh ngobrolnya” sahut
Yusuf “kamu gimana Al? Sudah ketemu calon istri tidak di sana? Aku dengar
cewek-cewek Paris itu cantik-cantik”
Aku menggeleng dan tersenyum “aku
tidak punya waktu untuk itu, Suf” jawabku singkat.
“Maryam nih, adik kita ini,
sepertinya akan mendahului kedua abangnya. Minggu kemarin dia sudah ta’aruf
sama Ustadz muda yang pengusaha itu. Bisa-bisa dia nikah duluan daripada kita,
Al. makanya kita harus cepat-cepat cari calon istri”
Wajah Yusuf disambit Maryam
dengan bantal.
“Aku kan sudah bilang kalau aku
belum mau nikah!” kata Maryam ketus. Dia kemudian meninggalkan kami berdua. Aku
melongo, Yusuf tertawa-tawa.
“Anak itu belakangan ini jadi
mudah marah” lapor Yusuf setelah Maryam berlalu. “kau tahu? Dia sudah menolak 2
orang yang mau melamarnya! Bayangkan! Dua orang yang kualitasnya beda-beda
tipis sama Sandiaga Uno.”
“Mungkin dia masih ingin kuliah,
Suf. Usianya juga baru delapan belas kan? Kenapa harus buru-buru?”
“Tapi kan dia bisa tetap kuliah
setelah menikah. Lebih bagus lagi kalau dia nikah, biar ada yang jagain kalau
kemana-mana. Kampusnya itu jauh dari rumah, aku tidak bisa ngantar dia setiap
hari ke kampus. Umi dan Abi apalagi. Kadang dia pulangnya malam, kadang malah
tidak pulang. Kemalaman dan terpaksa nginap di kost temannya yang dekat kampus.
Umi khawatir, makanya nama Maryam masuk bursa ta’aruf sejak tiga bulan yang lalu.
Haha…”
Aku geleng-geleng kepala. “Kenapa
dia tidak pindah ke kampus yang lebih dekat rumah saja?”
“Mana mau dia. Maryam tuh standarnya
tinggi banget. Maunya di kampus terbaik, jurusan terbaik. Mana mau dia di
kampus abal-abal yang dekat rumah.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu,
tak tahu harus memberi saran apa lagi. Mungkin solusi tante Ira benar, Maryam
sebaiknya menikah. Tidak masalah dia menikah dan tetap kuliah. Tapi mungkin
Maryam punya pilihannya sendiri. Aku pun sebenarnya tidak mengenal Maryam lebih
dalam. Jadi aku diam saja.
***
Hari pernikahan Yusuf akhirnya
datang juga. Butuh waktu enam tahun baginya setelah dia mengikrarkan diri untuk
menikah untuk dapat berjumpa dengan seorang wanita yang sekarang tengah berdiri
anggun di sampingnya. Usia kami kini 27 tahun. Aku sedikit cemas jika mengingat
Yusuf yang butuh waktu 6 tahun untuk menikah sementara aku sama sekali belum
terpikir tentang pernikahan. Selepas kuliah aku langsung ditawari bekerja di
ujung timur Indonesia, menghabiskan tahun-tahunku di sana dengan pekerjaan, travelling dan fotografi. Saat menerima
undangan pernikahan yang dikirim Yusuf ke tempat aku kerja, aku terhenyak. Usia
kami sudah tidak muda lagi.
Maryam telah lulus kuliah
beberapa bulan yang lalu. Dia belum juga menikah. Entah sudah berapa orang yang
dia tolak selama 4 tahun terakhir. Yusuf masih sering mengirimiku email atau
meneleponku, menggerutu soal Maryam yang tetap keras kepala, entah apa yang
ditunggu oleh gadis itu. Jawabanku sigkat saja. Mungkin dia masih menunggu ijazah
sarjana ada digenggamannya.
Aku dan Maryam berpapasan di
koridor yang menuju kamar Yusuf. Aku sengaja datang beberapa hari sebelum
pernikahan kakaknya. Nyaris aku tak mengenalinya karena kini dia jadi lebih
tinggi daripada terakhir yang aku lihat. Seingatku dulu dia hanya setinggi
daguku. Tapi kini dia hampir setinggi hidungku. Kami nyaris bertabrakan di
koridor karena dia berjalan cepat-cepat membawa bungkusan di kedua tangannya.
“Maryam” sapaku sedikit terkejut
“sini, biar aku bantu” aku meraih salah satu bungkusan di tangannya.
“Oh, kakak. Kapan datang?” tanya
Maryam sambil berjalan menuju bagian belakang rumah. Aku ikut berjalan di
sampingnya.
“Barusan. Landing jam 9 tadi. Yusuf mana? Akhirnya anak itu menikah juga”
Maryam tersenyum “Kak Yusuf lagi fitting baju sama umi sekalian belanja.
Mungkin nanti sore baru pulang” jawabnya. “Kakak kapan nyusul Kak Yusuf?”
Aku tertawa “secepatnya” jawabku
asal. “Kalau sudah ketemu yang pas – seperti potongan puzzle terakhir yang akan
menyempurnakan puzzle yang sedang aku susun – maka aku akan langsung
menikahinya” jawabanku yang kedua sedikit lebih serius. Pernikahan Yusuf memang
sedikit mengubah pandangan hidupku. Sekilas aku melihat raut wajah Maryam
berubah.
“Eh, aku punya buku yang bagus
kak” Maryam mengalihkan pembicaraan.
“Hmm…?”
“Kakak mau pinjam? Kebetulan aku
sudah selesai baca” tawarnya bersemangat.
Aku menggeleng “nanti saja.
Sekarang aku bantu-bantu di sini dulu.”
Wajah Maryam berubah kecewa.
“Eh, iya. Nanti aku pinjam ya”
kataku buru-buru.
***
“Maryam dapat pekerjaan” kata
Yusuf di telepon. Setahun setelah pernikahannya. “Adikku itu…aku benar-benar
mencemaskannya. Sekarang aku paham kenapa umi ingin segera menikahkan Maryam.
Menjaga seorang anak gadis memang tidak mudah. Setiap malam aku cemas kalau
Maryam terlambat pulang, atau dia pergi entah kemana. Sekarang aku yang jadi
lebih over protektif daripada Umi. Setiap jam aku meneleponnya. Dan sekarang
saat dia sudah seharusnya menikah, dia malah mendapat pekerjaan di tempat yang
jauh dan bersikeras mau pergi”
Kudengar tarikan nafas Yusuf yang
berat. Sepertinya Maryam benar-benar menyita perhatiannya.
“Dan dia masih menolak untuk
menikah. Semua alasan basi dia kemukakan. Kami kehabisan ide untuk membujuknya
agar segera menikah.”
Aku tertawa di seberang “dia baru
22 tahun, Suf” kataku “para gadis sekarang tidak menikah di usia itu.
setidaknya begitu yang aku baca di internet. Mereka baru akan memikirkan
pernikahan di usia 25 tahun”
“Umi menikah di usia 19 tahun”
potong Yusuf “usia tidak bisa dijadikan tameng, Al”
“Iya..iya… aku tahu. Tapi mungkin
Maryam masih ingin bersenang-senang dengan kesendiriannya…”
“Tidak juga” potong Yusuf lagi
“aku tahu dia tidak benar-benar senang menjadi sendiri. Aku tahu dia juga
menginginkan pernikahan. Tapi aku masih tidak paham apa yang membuatnya masih
terus menunda-nunda keinginannya itu”
“Sebaiknya kau tanyakan langsung
pada Maryam. Hanya dia yang tahu alasannya kenapa” saranku “dan…ahya… aku rasa
aku akan menikah juga”.
Yusuf tersedak di ujung telepon.
“Apa??? Kapan? Siapa gadis itu? Kenapa tidak cerita kepadaku?” tanya Yusuf
bersemangat. Dia tertawa.
Aku juga tertawa. “Ini baru mau
aku cerita. Aku bertemu dengan gadis ini dua bulan lalu di lapangan. Ternyata
dia salah seorang staf lapanganku, baru saja diterima. Bayangkan, aku tak
menyadari keberadaannya… gadis semenarik itu… halo? Halo? Yusuf? Kau tak mau
dengar ceritaku?”
Genggaman telepon dari tangan
Yusuf terlepas. Rupanya sejak tadi speaker
telepon dia aktifkan dan Maryam tanpa sengaja mendengar semua pembicaraan kami.
“Maryam terjatuh” kata Yusuf
buru-buru. Dia langsung mematikan telepon.
***
Aku tidak pernah tahu di mana
potongan puzzle terakhir milikku berada atau ada di tangan siapa. Saat
mengucapkan kalimat itu setahun yang lalu aku tidak begitu peduli pada akibatnya.
Bagiku puzzle milikku akan selesai dengan sendirinya, tanpa perlu campur tangan
dariku. Menurutku semuanya akan terjadi begitu saja, seperti air sungai yang
pasti mengalir ke hilir atau matahari yang pasti terbenam di timur. Aku lupa
kalau air sungai pun memerlukan upaya untuk mencapai lautan. Bumi pun
memerlukan rotasi untuk diselimuti malam. Semua itu memerlukan upaya. Puzzleku
tidak akan selesai jika aku hanya memandanginya saja. Seharusnya aku sudah
mencari potongan puzzle terakhirku sejak dulu atau paling tidak menyadari kalau
potongan puzzle terakhirku telah berada dalam genggaman tangan seseorang. Dia
telah menggenggam potongan puzzle terakhirku, sejak dahulu dengan sangat erat.
Maryam masih berusia 5 tahun
ketika pertama kali aku melihatnya. Rambutnya masih dikuncir satu di atas
kepala persis tanduk unicorn. Tubuhnya yang gempal masih suka berlari-lari di
sela-sela kaki kami saat kami sedang belajar di rumahnya. Kadang aku
menggendongnya untuk meraih buah kersen, atau memboncengnya di sepeda jika Yusuf
beralasan sedang sakit kaki dan tak mampu memboncengnya. Dia sangat suka
menyusun puzzle bersamaku. Tapi tak pernah terlintas sedikit pun dia yang
menggenggam potongan puzzle terakhir milikku.
“Aku tidak menemukan potongan
puzzle kakak begitu saja” katanya “aku mencari, bukan mendapatkan. Dan setelah
aku dapat, aku menggenggamnya dengan erat, tak akan aku berikan kepada
siapapun. Kakak tak menyadari kalau selama ini puzzle itulah yang membuat aku
menunda segalanya. Aku tak mau membuang sesuatu yang dengan susah payah aku
dapatkan meski demi apapun. Bahkan demi kebahagiaanku sendiri. Aku berharap aku
tidak menggenggam puzzle yang salah. Tapi hanya kakak yang bisa tahu apa puzzle
ini benar atau salah”
Aku tak dapat membendungnya. Air
mata itu mengalir begitu saja, seperti air sungai yang berjuang menuju hilir.
Ingin sekali aku mengangguk, mengiyakan kalau dia telah menemukan potongan
puzzle yang tepat, milikku. Tapi semuanya sudah terlambat. Ada seorang gadis
lain yang telah menemukannya lebih dulu – potongan puzzle yang lain. Aku baru
saja melamarnya satu jam sebelum Maryam mengatakan semua hal itu. Satu jam yang
menghentakkan segalanya.
“Aku…” lidahku kelu. Aku sama
sekali tak sanggup melanjutkan kalimat yang akan aku sampaikan padanya. “Aku
rasa… itu puzzle yang salah” kataku pada akhirnya.
Maryam terdiam di seberang
telepon, selama beberapa detik. Kemudian dia menarik nafas panjang dan –
mungkin – tersenyum. “Yah…mungkin ini memang puzzle yang salah. Maafkan Maryam
kak, telah membebani pikiran kakak”
“Tidak” kataku buru-buru “kau sama
sekali tidak membebaniku.” Setelah itu kami berdua terdiam lagi.
“Ah, maaf, aku sedang buru-buru.
Ada rapat mendadak sore ini. Maaf Maryam” sahutku setelah terdiam beberapa
saat.
“Iya, baiklah kak.
Assalamu’alaikum…” suara Maryam parau.
“Wa’alaikumsalam”. Aku menutup
telepon.
Aku tahu, jika aku tak segera
menutup telepon, mungkin aku akan mendengar tangisan Maryam. Tangisan yang
berbeda dengan tangisan yang sering aku dengar berbelas-belas tahun yang lalu.
Pandanganku jatuh pada kalender
di atas meja dan menyesal. Tanggal hari ini berwarna merah mencolok. Maryam
tahu aku telah berbohong.
UPS Soho
10.52 AM
Pagi yang mendung
Comments
Post a Comment