Sore Milik Pantai
Todd memandangi punggung gadis
berkerudung itu. Kain kerudung berwarna hijau pudar milik gadis itu
berkibar-kibar tersapu angin pantai. Dia duduk dengan diamnya di atas sebatang
pohon tumbang yang daunnya masih juga belum rontok semua. Hijau kecoklatan dipermainkan
ombak pantai yang sesekali mencapai pohon itu. Seperti biasa selama sebulan
terakhir di senja seperti ini Todd akan menemukan gadis itu di pantai. Mereka
memanggilnya Pantai.
Dia baru saja kehilangan
segalanya. Segala-galanya. Keluarganya yang entah beranggotakan berapa orang,
harta bendanya, bahkan suara dan ingatannya. Yang tersisa darinya hanyalah
bulir-bulir air mata yang selalu mengalir setiap kali senja tiba entah karena
apa. Dan hanya dengan duduk di pantai memandangi lautan biru luas yang telah
merampas segala darinya itu yang bisa membuat Pantai berhenti menangis. Dia
akan duduk di sana sejak selepas ashar dan akan kembali ke rumah sakit saat
waktu maghrib tiba. Dua jam dia hanya akan memandang kosong batas horizon
seolah sedang menanti sesuatu dari ujung batas pandang manusia itu. Hanya dengan
itu air mata Pantai dapat berhenti mengalir.
Todd menemukannya tiga bulan yang
lalu, di tepian pantai, terlilit akar banar, bertumpuk-tumpuk dengan
mayat-mayat dan patahan-patahan kayu tajam. Hanya dia seorang yang dapat
diselamatkan dalam radius pencarian kelompok Todd. Terbaring pucat dengan tubuh
lebam terbentur-bentur nyaris seperti mayat. Sebuah gerakan kecil dari sudut
bibirnya yang membuat Todd langsung berteriak memanggil teman-temannya agar
mengirimkan tandu. Karena sesungguhnya saat Todd meraba nadi gadis itu sama
sekali tidak ada denyutan di sana. Pun hembusan nafas lemah di ujung hidungnya
tak bisa dirasakan Todd. Tentara muda ini menganggapnya sebuah keajaiban saat
dia hendak meninggalkan Pantai dan bibir gadis itu tiba-tiba bergerak. Gerakan
kecil saja. dan Todd langsung menghubungi teman-temannya yang lain. Dia
diangkut ke atas kendaraan penyelamat, dibawa langsung ke RS darurat dan tidak
sadarkan diri selama tiga hari.
Todd yang menjaganya selama dia
tidak sadarkan diri. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang entah mengapa membuatnya
tak bisa pergi menjauh. Dia menyukai wajah tirus indah itu, juga alis mata
tebal yang nyaris bertaut. Dan dia selalu datang mengunjunginya ketika gadis
itu telah siuman dan tak bisa mengingat apapun setelah tsunami menyapu
daerahnya. Tak sedikit pun ingatan dan secuil pun petunjuk yang bisa didapat
darinya. Dia hanya menggeleng dan menggeleng setiap kali ditanyai. Matanya yang
bulat selalu terlihat sayu. Dia hanya berbaring diam di atas rumah sakit selama
seminggu pertama setelah dia siuman. Ketika adzan ashar terdengar, dia akan
menangis terisak tanpa diketahui sebabnya.
“Dia kehilangan memorinya,
mungkin karena benturan atau trauma saat terbawa arus tsunami, atau mungkin
juga dia memang tidak menginginkan memori itu lagi. Dan dia tidak bisu, hanya
saja dia enggan untuk bicara apapun tentang dirinya.” Jelas seorang perawat
ketika Todd menanyakan kondisi Pantai. “Dan dia selalu menangis setiap sore.
Kami tidak tahu kenapa. Seorang dokter berinisiatif membawanya jalan-jalan jika
sore tiba dan ajaibnya air matanya selalu berhenti ketika dia melihat pantai.
Aneh sebenarnya, karena traumanya sendiri disebabkan oleh air laut. Jadi sejak
saat itu kami memanggilnya Pantai. Kalau kau ingin menemuinya, carilah dia di
Pantai dekat sini”
Seminggu sebelumnya Todd bertugas
membantu teman-temannya di daerah lain yang juga terkena dampak tsunami dan
ketika dia kembali ke tempat gadis itu, dia tak menemukannya berbaring di atas tempat
tidur rumah sakit darurat seperti biasa.
Pantai. Todd berpikir.
Pantai.
Ya, betul. Pantai. Gadis itu
tampak seperti pantai baginya. Hembusan angin yang lembut, suara debur ombak,
buih-buih yang lenyap satu persatu di ujung garis air, pasir, kerang-kerang
mungil… gadis itu adalah sebuah personifikasi dari pantai. Lembut dan
misterius.
“In Bahasa, we called her Pantai.
Beach” begitu kata perawat yang tadi bicara dengannya. Terbata-bata Todd
melafalkan kata ‘pantai’.
“Pantai…?” sapa Todd sedikit ragu. Dia duduk
di atas batang pohon tumbang yang lain. Gadis itu hanya menoleh sebentar dan
kemudian kembali membuang pandangannya lagi ke arah garis batas pandang
manusia.
“Saya Todd, tentara yang bertugas
membantu di sini.” Todd memandangi Pantai, merasa tak yakin apa dia harus
mengajak gadis itu mengobrol atau tidak. Tapi Pantai diam saja jadi Todd
memutuskan terus berceloteh dengan bahasa Inggrisnya kepada Pantai.
“Ini bencana terbesar yang pernah
aku lihat” lanjut Todd. Dia mengambil ranting yang tergeletak tak jauh darinya
kemudian mulai mencoret-coret di atas pasir. “Saat kami diperintahkan untuk
kemari, kami mendapat kabar sudah 15.000 orang yang tercatat menjadi korban.
Dadaku bergetar, mencoba bertanya pada Tuhan, bencana seperti apa yang telah
Dia timpakan kepada negaramu. 15.000 orang hanya dalam waktu 3 hari setelah
tsunami menyapu? Kau bisa bayangkan bagaimana reaksi kami mendengarnya? Kapten
Archie – komandan kami – langsung masuk ke ruangannya dan tak keluar sepanjang
sisa hari itu. Esoknya, pagi-pagi sekali dia sudah siap memimpin misi ini.
Dengan sisa-sisa air mata di wajahnya. Aku tahu semalaman dia menangis dan
berdoa, tak sengaja aku dengar saat melewati ruangannya. Kami berangkat dengan
kekuatan penuh, bertekad menyelamatkan sebanyak mungkin orang…”
Pantai masih membisu.
“Kau orang pertama yang berhasil
kami selamatkan. Kau membuat kami semakin bersemangat untuk mencari lebih
banyak lagi korban yang selamat…” Todd menarik nafas panjang “tapi ternyata
kami tak menemukan seorang pun setelah kau yang masih hidup. Kau orang terakhir
yang selamat di kampung ini”. Suara Todd mulai sengau. Dia menahan air matanya agar
tidak keluar. Hanya sesekali dia menggosok hidungnya yang mulai memerah.
Suara adzan maghrib terdengar
lamat-lamat dari pengeras suara pinjaman. Pantai langsung berdiri pulang dan
meninggalkan Todd begitu saja.
***
“Tadi malam aku bicara dengan
dokter yang menanganimu” ujar Todd. Hari kedua, dengan posisi duduk yang tidak
berubah. Sebatang pohon roboh untuk masing-masing orang. Todd dengan ranting di
tangannya, dan Pantai dengan pandangan kosong ke horizonnya. “katanya kau sudah
sehat dan boleh keluar dari RS. Kalau kau mau, aku akan menemanimu mencari
keluargamu di pos-pos pengungsian yang lain. Tapi kau masih tetap bisa tinggal
di RS atau pindah ke tenda pengungsian terdekat.”
Coretan-coretan Todd di atas
pasir terhapus oleh buih-buih ombak.
Pantai menatap Todd, hanya
sebentar saja.
“Kau hanya sedikit… trauma dan
mungkin depresi… entahlah. Aku juga tak paham bagaimana mereka memandang kasus
sepertimu. Aku hanya berusaha memahamimu dari sudut yang aku tempati. Aku tahu
kau pasti sangat kesepian, dan pantai ini pasti mengingatkanmu kepada sesuatu.”
Pantai merampas ranting yang
sedang dipegang Todd. Dia mengacak-acak butiran pasir di depannya dengan
ranting itu hingga berhamburan ke segala arah. Setelah itu dia mematahkan
ranting milik Todd menjadi dua bagian.
Todd menarik nafas panjang. Tidak
mudah memang menghadapi seorang wanita – dalam kondisi apapun.
***
“Mereka sudah menyebarkan fotomu
ke tenda-tenda pengungsian yang lain. Siapa tahu ada yang mengenalmu di sana.
Bagaimana pun kita harus menemukan keluargamu atau paling tidak orang yang
mengenalmu. Aku tidak ingin meninggalkanmu di sini sendirian. Minggu depan aku
harus kembali ke markas”
Dahi Pantai berkerut. Kali ini
dia memandangi Todd lamat-lamat sampai pria itu merasa aneh.
“Eh, ada yang salah dengan
wajahku? Atau ada sesuatu dengan wajahku?”
Pantai masih memandanginya.
“Pantai, ayolah. Kau membuatku
menjadi tidak keren. Apa ada sesuatu di wajahku?” Todd menyeka kedua pipinya
dan menyentuh dahinya juga dagunya yang licin hasil bercukur setiap pagi bahkan
dalam keadaan seperti saat ini. Tapi dia tak menemukan sesuatu yang aneh di
wajahnya.
Pantai tergelak. Untuk pertama
kalinya sejak Todd menemukan Pantai tergeletak tak berdaya nyaris meninggal,
dia tergelak. Bukan hanya tersenyum atau tertawa kecil. Dia tergelak.
Todd ikut tertawa, kembali dia
menyentuh seluruh wajahnya hingga Pantai terus tergelak. Ternyata dia lebih suka pantomim. Batin Todd. Kemudian dia membuat
berbagai ekspresi wajah yang aneh hingga Pantai lupa akan garis horizon di
depannya. Mereka berdua melewatkan sore itu dengan tertawa bersama.
***
“Aku berasal dari negara bagian
Florida. Jacksonville tepatnya. Kami juga punya banyak pantai, seperti pantaimu
ini. Yah, aku menyebutnya pantai-mu
karena kau sudah seperti penguasa pantai ini saja” Todd tersenyum. “Rumahku
terletak di tepi pantai. Tempatnya hangat. Apalagi saat musim panas. Banyak
sepupu-sepupuku yang datang berkunjung selama liburan, menghabiskan waktu
bermain di pantai, berenang dan membangun istana pasir. Aku merasa sangat beruntung
terlahir di Jacksonville. Ahya, aku juga suka salju. Tapi salju jarang turun di
kotaku. Jadi kalau aku ingin melihat salju berlimpah pada musim dingin, aku
akan pergi ke rumah sepupuku di Juneau, Alaska. Haha…” dia tergelak dengan
leluconnya sendiri.
Pantai tidak tertawa. Kembali bisu
seperti kemarin-kemarin. Wajahnya terlihat bosan mendengar celoteh Todd.
Mungkin karena dia tak mengerti sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria
itu.
“Ah, baiklah…” Todd merenggangkan
otot-otot wajahnya. Kemudian dia kembali berpantomim di depan Pantai. Gadis itu
tergelak. Dia bertepuk tangan senang. Kembali lupa pada horizon di depannya.
***
“Kau mungkin mau bertemu dengan
ibu itu. Aku akan menerjemahkannya untukmu. Maaf telah merepotkan. Tapi
menurutku kau perlu tahu berita ini dan mungkin kau bisa membantu kami untuk
menyampaikannya kepada Pantai…”
Todd mengangguk pada perawat itu.
“Tentu saja. semoga aku bisa membantu”
Perawat itu tersenyum lega.
“Baiklah. Silahkan ikut saya. Kemarin saat foto Pantai ditempelkan pada papan
pengumuman di setiap posko, ada seorang ibu yang mengaku mengenalnya – pernah
melihatnya tepatnya. Kami belum sempat bertanya lebih banyak, dan menurut
dokter Ayyash kau sebaiknya ikut kami mengunjunginya sore ini. Tempat
pengungsiannya tak jauh dari sini. Kita bisa jalan kaki. Acara duduk di
pantaimu bersama Pantai sebaiknya ditunda dulu sore ini”.
Todd tersenyum kepada perawat
gemuk yang ramah itu. “Tentu saja” jawabnya singkat.
“Sedikit sekali kau bicara. Sejak
tadi kau hanya menjawab ‘tentu saja’ padaku. Tapi kudengar kau selalu berbicara
panjang lebar dengan Pantai” goda si perawat “padahal kata teman-temanmu kau
adalah tentara yang paling pendiam di kesatuan mereka” dia tak dapat
menyembunyikan tawanya melihat wajah Todd yang menunduk salah tingkah. “Ah,
sudahlah. Aku hanya bercanda. Jangan bersikap seperti itu kepadaku.”
Rambut keriting ibu itu bergoyang
lemah. Dia menggeleng ketika si perawat bertanya siapa nama asli Pantai.
“Aku hanya mengenal wajahnya.
Seingatku dia baru beberapa hari tinggal di rumah Pak Umar” suaranya terdengar
lelah. Kantong matanya bergelayutan, sepertinya dia tidak pernah cukup tidur
sejak bencana tsunami itu.
“Mrs….?” Sapa Todd
“Ibu Nia. Call her i-b-u N-i-a”
perawat mengenalkan nama ibu itu. “Ibu Nia tidak tahu siapa nama asli Pantai”
“Ib-bu Nia?” sapa Todd lagi. “How
don’t you know her name???” kali ini nada suaranya sedikit meninggi.
“Todd, please. Let me talk with
her. You only can hear, not interrupt us”
“Iya, maafkan aku” suara Todd
terdengar kaku. Dia lalu berdiri diam di samping perawat gemuk yang kembali
bertanya hal lain pada ibu Nia.
“Pantai datang kemari bersama
suaminya. Menemui mertuanya, keluarga Bapak Umar. Karena itu ibu Nia belum
mengenal siapa namanya. Dia bukan penduduk asli di sini. Ibu Nia hanya pernah
melihatnya bersama suaminya berjalan-jalan setiap sore di pantai dekat rumah
mereka. Menurut Ibu Nia dia baru datang ke sini beberapa hari sebelum bencana
tsunami menyapu tempat ini. Mereka baru menikah dan berlibur di rumah orang tua
suaminya. Kalau ibu Nia tidak salah, dia berasal dari Surabaya”. Perawat
menjelaskan hasil percakapannya kepada Todd.
“Bagaimana mungkin dia bisa tahu
semua hal itu tapi sama sekali tidak tahu namanya?” Todd bertanya gusar.
“Mungkin Ibu Nia lupa” perawat
menenangkan Todd. “Ayo, kita pergi dari sini. Ibu Nia butuh istirahat. Dia
depresi, semua anak-anaknya meninggal”
“Hanya itu???”
“Todd, please. We're going now!”
“Sebentar, aku ingin tahu siapa
nama suaminya. Tolong tanyakan”
Perawat gemuk itu menyerah, dia
bertanya pada Ibu Nia yang langsung dijawab singkat dengan sebuah nama. “Alif”.
***
“Kau sudah menikah” Todd menulis
kata ‘married’ di atas pasir dengan rantingnya yang baru. “Bagaimana aku harus
menyebutnya dalam bahasamu? Menikah? Suamimu pastilah pria yang sangat
beruntung…”
Pantai sudah memiliki ranting
sendiri. Dia juga ikut-ikutan mencoret-coret pasir, tapi dengan gambar-gambar
yang abstrak dan hanya dia sendiri yang tahu apa artinya.
“Apa kau masih mengingat
bagaimana rupa suamimu?” Todd tertawa dengan paksa “kau bahkan tak ingat namamu
sendiri, jadi bagaimana mungkin kau mengingat wajahnya kan? Dia pria yang
beruntung sekaligus pria yang paling malang yang pernah aku kenal”
Pantai masih tak peduli, dia
masih asyik menggambar. Beberapa hari terakhir ini Pantai sudah mulai bisa
memberi respon pada orang-orang di sekitarnya, termasuk pada Todd.
“Kalian selalu berjalan-jalan di
pantai ini setiap sore. Mungkin kau menangis setiap sore karena merindukan
suamimu. Namanya Alif. Alif. Biar aku ulangi agar kau bisa mengingatnya. Alif.
A-L-I-F” Todd menulis di atas pasir. A L I F.
Pantai menggeleng kuat-kuat. Dia
melempari Todd dengan ranting yang ada di tangannya. Kemudian dia berdiri dan
mengacak-acak nama Alif yang ditulis Todd di atas pasir. Jilbab putihnya
berkibar-kibar dan Pantai mulai menangis. Setelah itu dia berlari meninggalkan
Todd.
***
“Kau marah padaku?” Todd duduk di
samping tempat tidur Pantai. Gadis itu duduk termenung di atas tempat tidur
sambil memeluk bantalnya. Pandangan matanya kosong. “Aku minta maaf…” lanjut
Todd.
“Aku hanya ingin tahu apa kau
mengingat sesuatu tentang dirimu…”
“Aku juga hanya ingin tahu siapa
namamu…”
***
Todd memandangi punggung gadis
itu. Jilbabnya berkibar-kibar dipermainkan angin. Dia masih membisu sejak saat Todd
menemukannya sampai akhirnya Todd harus kembali ke markasnya.
“Pantai…” panggil Todd.
Pantai berbalik, memandangi Todd
yang berdiri tak jauh dari darinya. Dia melambai, kemudian menunjuk pohon
tumbang yang menjadi tempat duduk Todd selama ini.
Todd tersenyum dan menggeleng.
“Aku tidak akan duduk lagi di sana, Pantai. Aku harus kembali ke markas dua
hari lagi. Besok aku harus ke ibu kota, pesawat kami menunggu di sana”
Eskpresi wajah Pantai berubah
kaku. Todd berjalan mendekatinya.
“Aku harus pulang…” tarikan nafas
Todd terdengar berat “sebenarnya aku khawatir meninggalkanmu sendirian di sini.
Kalau kau mau… aku ingin kau ikut denganku”
Pantai masih berdiri kaku di
depannya.
“Aku tahu, itu tidak mungkin”
Todd berjalan mundur “aku harus pergi. Ada pertemuan terakhir sebelum kami
pulang. Maaf, sore ini aku tidak bisa menemanimu di sini…”
Satu, dua, Todd menghitung
langkahnya sendiri. Terasa berat. Sepuluh, dua puluh… ah, dia mengaku kalah.
Todd segera berbalik dan setengah berlari mendekati Pantai. “Ahya, kita belum
berkenalan. Namaku Todd, Todd Brown. Senang mengenalmu… Pantai… atau siapapun
namamu…”
Setelah itu Todd berlari pergi.
Benar-benar pergi.
***
“Kau tak ingin pamit pada gadis
itu?” tawar Kapten Archie pada Todd saat mereka hendak naik ke atas truk yang
akan mengantar mereka ke ibu kota propinsi.
Todd menggeleng. Dia hanya
tersenyum sambil mengancingkan ransel miliknya. “Tidak perlu. Dia tidak akan paham
dengan yang aku katakan”
“Tapi kau telah menjadi temannya
selama di sini. Tidak adil buatnya jika kau pergi begitu saja tanpa mengucapkan
sesuatu padanya. Aku tahu, meskipun dia tidak akan mengerti sepatah kata pun,
dia pasti akan kehilangan teman yang selalu duduk dengannya setiap sore di
pantai. Ayolah Todd, seorang prajurit tidak akan diam saja jika dia bisa
melakukannya…”
“Tidak perlu” ulang Todd sekali
lagi. Dia memanjat naik ke atas bak truk kemudian menjulurkan tangannya kepada
sang Kapten untuk membantunya naik.
“Todd Brown… kau… jatuh cinta
padanya?” tanya Kapten Archie setelah dia berhasil naik ke atas bak truk.
Todd hanya tersenyum menanggapi
pertanyaan Kaptennya itu. Roda truk perlahan mulai berguling di atas jalanan
berdebu, menyisakan asap pembuangan truk dan debu yang beterbangan di belakang
sana.
“Kurasa gadis itu menganggapmu
istimewa” Kapten Archie menepuk pundah Todd dan tangannya menunjuk ke arah
jalanan di belakang mereka yang bertebaran debu. Di balik debu yang mulai
menipis itu, Todd bisa melihat kibaran kerudung putih seorang gadis yang tengah
berdiri di pinggir jalan, menatap truk yang terus berjalan menjauh.
Todd berlari sekuat tenaga,
secepat mungkin agar bisa sampai di depan Pantai. Kapten Archie meminta truk
itu untuk menunggu sebentar. Perpisahan dua orang teman yang tidak bisa
dilewatkan begitu saja.
“A…nnisa…” kata Pantai
terbata-bata. Bibirnya bergetar mengucap sebuah kata itu. “Annisa…” ulangnya
lagi. Kali ini lebih jelas dan lancar. “Namaku… Annisa…” dia menunjuk ke arah
dada sebelah kanan seragam Todd. Nama Todd tersulam di atas seragam itu.
“Todd…” ucap Pantai lirih. Setelah itu dia menunjuk dirinya sendiri. “Annisa…”.
11 Maret 2012
4.39 PM
Rumah, ahad sore yang gerimis.
Comments
Post a Comment