Koh Acong
Dari balik kaca jendela toko yang
berdebu, aku bisa melihat bapak itu. rambutnya yang kelabu, tubuhnya yang
sedikit bungkuk, keriput yang saling tumpang tindih di wajahnya, juga tumpukan
segala rupa macam barang yang dijual – khas toko orang tionghoa yang
ada di kotaku. Tubuhnya terkepung oleh etalase toko berkaca kusam yang isinya
obat-obatan dari cina dengan segala bentuk dan rupa – tapi lebih banyak bentuk
pilnya. Juga lemari-lemari kayu tinggi dengan banyak rak tempat memajang segala
sesuatu yang sudah tua, sama persis dengan si pemilik toko. Kau akan takjub
jika melihat barang-barang yang dijualnya, sama sekali tidak berkaitan satu
sama lain. Obat-obatan cina, bola tenis, bola pingpong, paku, palu, roda sepeda
yang digantung, macam-macam ukuran dan jenis pipa dan selang, kaleng-kaleng
cat, bahkan jika aku tidak salah lihat, ada tumpukan karung beras di bagian
belakang toko. Sebuah Toko bangunan yang merangkap toko kelontong.
Aku tidak segera masuk ke dalam
toko itu. Kubiarkan diriku larut dalam segala hal kuno yang tampak pada toko
ini. Aku membayangkan suasana toko dua puluh tahun yang lalu, ketika toko ini
masih berjaya dan menjadi satu-satunya toko yang didatangi penduduk kota – kota
kecil saja. Nama tokonya masih mengkilap gagah, tertulis dengan rapi di atas
sebuah papan yang digantung di depan pintu masuk toko. Toko Matahari Terbit, segala rupa ada di sini. Dulu, masa
kanak-kanakku aku habiskan di sekitar toko ini, memikul barang belanjaan
ibu-ibu yang tinggal di pulau seberang hingga sampai ke pelabuhan, bermain
bersama teman-teman lain kala pengunjung toko sepi dan tak ada barang belanjaan
yang bisa kami angkut, juga kadang bertukar cerita dengan Koh Acong, si pemilik
toko, si bapak tua setengah bungkuk di dalam sana. Tanpa aku sadari, air mataku
meleleh. Betapa aku merindukan masa kanak-kanakku dua puluh tahun yang silam
itu, juga pria yang ada di dalam sana.
Sepulang sekolah, aku sudah
mengenakan baju ‘dinas’ dan menjadi kuli di depan toko Koh Acong. Bersama
beberapa anak kecil lain kami ikut bantu-bantu di toko orang paling kaya di
kota kami ini. Wajah Koh Acong bulat dan jenaka, sangat ramah tapi kadang
galak. Bahasa derahnya lancar sehingga banyak pembeli dari daerah yang tidak
segan berbelanja di tokonya. Biasanya Koh Acong menghadiahi kami permen jika
tokonya ramai pembeli. Jadi kalau ada rumor yang bilang orang tioghoa itu
pelit, berarti rumor itu salah. Koh Acong sangat dermawan kepada kami, kepada
pelanggannya, dan kepada semua karyawannya. Semua orang di kota menyukai Koh
Acong. Aku juga suka pada pria ramah yang baik hati tapi kadang galak ini.
“Umar!” panggil koh Acong padaku,
dua puluh tahun silam ketika aku baru saja lulus SMP dan kebingungan apa harus
melanjutkan sekolah atau bekerja saja. Aku adalah salah satu dari sekian banyak
anak miskin penduduk Indonesia yang kebingungan apa harus tetap sekolah atau bekerja
membantu keluarga. Apalagi saat itu seorang anak lulusan SMP sudah dianggap
berpendidikan tinggi dan tidak perlu lagi sekolah sampai SMA yang letaknya di
kota seberang.
Sesungguhnya ini adalah kisah
tentang pria tua di dalam toko itu, bukan tentang aku.
“Umar, kesini kau!” teriak Koh
Acong kepadaku yang sedang asyik berebutan kelereng dengan anak-anak lain.
“Iya koh?” tanyaku, sudah berdiri
di hadapannya yang sedang berkacak pinggang di depan pintu masuk toko. Hari ini
pelanggan sedang sepi dan yang Koh Acong lakukan hanyalah menonton kami bermain
di depan tokonya.
“Koh dengar kamu sudah lulus SMP
hah?” tanya Koh sambil mengipas-ngipasi wajahnya yang bulat. Cuaca hari ini
sedang panas. Debu menguar dimana-mana.
“Iya koh, pekan lalu”
“Ckckckck” Koh Acong berdecak
panjang “lalu kenapa kamu masih main di sini hah? Tidak siap-siap masuk SMA kau
hah?” dua kali ‘hah’ dalam satu kalimat dari Koh Acong itu artinya dia sedang
gusar. Lebih dari dua kali, dia marah besar. Kalau hanya sekali, itu memang
sudah logatnya. Khas Koh Acong, begitu kata ibu.
“Saya…” aku menelan ludah, tidak
tahu harus menjawab apa kepada Koh Acong. Takut salah jawab dan dia marah.
Karena Koh Acong kalau lagi galak sama sekali tidak enak di dekati. Apalagi
dengan cuaca panas seperti saat itu. “Saya…” aku masih gagap.
“Saya…saya apa, hah? Tidak mau
sekolah lagi kau? Puas Cuma sampai SMP saja?”
Dengan berat hati aku mengangguk.
Mungkin Koh Acong benar. Sampai saat ini aku belum memutuskan apa masuk SMA
atau tidak lebih karena aku juga tidak menginginkannya. Meskipun Ibu bilang dia
bersedia menyekolahkan aku di SMA seberang, tapi aku tahu dia mengatakannya
dengan perasaan berat. Sekolah adalah barang mewah di rumah kami yang sempit
itu.
“Apa kau tidak mau ke Prancis
sana hah? Liat langsung menara Eiffel yang sering kau kagumi di kalender punya
koh itu hah? Katanya mau ke China sana, mau lihat kampung halaman Koh hah?
Sok-sok bilang mau ke Italia juga, nonton sepak bola. Hah???”
Lebih dari tiga kali ‘hah’. Berarti Koh
Acong sedang marah besar. Aku langsung kabur dari hadapannya, berlari pulang.
Tak peduli dengan teriakan memanggil-manggil dari Koh Acong.
“Uummmmaaarr….haahhhh!!!”
***
“Sudah, pokoknya kau harus
sekolah” seru Koh Acong di antara tumpukan karung beras yang mengelilinginya.
Saat itu aku yang sedang mengangkut sebuah karung beras di punggungku, langsung
jatuh terjerembab.
“Uang darimana koh?” aku balas
berseru. Semalam aku sudah bicara dengan ibu. Tidak ada sekolah SMA. Tidak ada
Eiffel, tidak ada kampung halaman Koh Acong, juga tidak ada sepak bola. Yang
ada hanyalah tumpukan barang belanjaan yang harus aku angkut. Titik.
Koh Acong tidak menjawab. Aku
nyengir. Koh pasti tidak bisa menjawab sumber masalahku yang satu itu.
Sore menjelang maghrib, aku pamit pulang pada Koh Acong. Wajah bulatnya tampak lelah, seharian mengurusi pelanggan yang tiba-tiba membanjiri tokonya. Dua orang karyawan yang membantu tidak juga cukup untuk melayani mereka semua sehingga Koh harus turun tangan.
“Saya pulang Koh…” kataku saat
melewati depan meja kebesarannya. Di atas meja itu bertumpuk-tumpuk kertas bon,
tagihan, pelunasan, tanda terima, segala macam brosur-brosur yang aku tidak
mengerti apa maksudnya, sebuah kalkulator super besar yang sudah bulukan, juga
sebuah buku tebal tempat Koh Acong mencatat segala akivitas tokonya. Istri Koh
Acong yang sedang memijat-mijat bahu suaminya tersenyum mengangguk. “Saya
pulang Cih…” pamitku pada wanita lembut itu.
“Umar, tunggu…” tahan Koh Acong
“kau mau sekolah kan?”
Aku tidak langsung menjawab.
Semangatku untuk sekolah telah terbang bersamaan dengan selesainya SMP-ku.
“Pendaftaran di SMA seberang
masih seminggu lagi. Kalau kau mau Koh bisa kirim kau ke sana besok, mendaftar.
Bagaimana?”
“Tapi Koh… saya kan tidak punya
uang untuk sekolah. Sudahlah Koh, jangan membuat saya kecewa dengan
keinginan-keinginan saya yang berlebihan itu” kataku tidak sopan. “Semalam saya
sudah berpikir panjang, saya memang tidak pantas sekolah tinggi-tinggi koh.
Tidak pantas.”
Tiba-tiba koh Acong menggebrak
meja kebesarannya, membuat kertas-kertas berhamburan dan istrinya menjauh
kaget.
“Siapa yang ajar kau bilang
begitu, hah? Siapa bilang kau tidak pantas sekolah hah? Kuli mana yang bilang
begitu sama kau? Orang lulusan SD mana yang larang kau sekolah, haahhh??” Koh
Acong mengomel, ‘hah’-nya yang terakhir sedikit lebih panjang dari yang
biasanya.
“Tidak ada koh…saya sendiri
yang…”
“Hah!” potong Koh Acong “orang
kecil memang selalu berpikiran kecil! Dangkal! Hah!”
“Tapi Koh…”
“Tidak ada tapi-tapi! Pokoknya
besok kau harus ke SMA seberang. Mendaftar kau! Biar Koh yang tanggung semua
biaya sekolahmu. Bilang sama ibumu malam ini. Bilang kau ingin jadi orang
besar, yang punya cita-cita besar!”
Aku tak tahu harus bilang apa
lagi. Hanya anggukan pasrah yang aku tunjukkan pada Koh Acong. Dia benar-benar
sudah menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di hidupku sejak Ibu menitipkan aku
untuk menjadi kuli di tokonya. Ibu pasti tak bisa berkutik lagi kalau Koh Acong
sudah bilang seperti itu kepadaku.
Sekolah.
Kata itu terus terngiang di
kepalaku dalam perjalanan pulang. Yah, sekolah!
***
Koh Acong dan istrinya, juga ibu,
mengantarkan aku ke pelabuhan keesokan harinya. Aku berpakaian amat rapi dan
menyandang sebuah ransel jelek berisi beberapa potong pakaian. Tak lupa aku
mengirimkan salam perpisahan untuk teman-temanku sesama kuli kepada Koh Acong.
“Hah! Mereka semua itu sudah koh
tawari untuk sekolah tapi tidak ada yang mau, hah!” jawab Koh Acong saat aku
bertanya kenapa Deni, Mius, Bandi dan Yono tidak ditawari juga untuk sekolah ke
SMA seberang. “Sudah aku bujuk seminggu penuh, malas mengulang-ulangnya lagi,
giliran kau yang koh tawari. Beruntung kau langsung mau. Coba kalau tidak, koh
pecat kalian semua jadi kuli di depan toko Koh!”
Aku tertawa. Kepergianku bisa
jadi penyelamat untuk teman-temanku yang lain. Aku tahu Koh tidak pernah tidak
serius dengan kalimatnya. Koh adalah seseorang yang memegang teguh apa yang
diucapkannya. Pantang baginya menjilat ludah sendiri. Tapi selalu ada
dispensasi untuk sebuah kebaikan. Paling Koh hanya akan memecat kami selama dua
hari, dan kemudian setelah dua hari dia akan menyuruh karyawannya untuk memanggil
kami di rumah masing-masing agar kembali bekerja.
Aku memeluk Koh Acong dengan
erat. Pria ini sungguh berhati emas, sama persis dengan istrinya. Meski tak
dikarunai seorang anak pun, Koh dan istrinya tak pernah hilang syukur. Kami
sudah dianggap anak-anaknya sendiri.
“Umar, dengarkan koh baik-baik.
Jangan kembali sebelum kau menjadi orang sukses. Jangan temui Koh kalau kau
belum liat Eiffel”
“Koh ada-ada saja. Mana mungkin…”
Pletakk… kepalaku dijitak Koh
Acong.
“Koh sudah bilang, hah! Hanya
orang kecil yang punya pikiran dangkal seperti kau ini. Pokoknya Koh tidak mau
tahu! Kalau kau pulang liburan kesini, jangan pernah temui Koh…”
Sekali lagi aku memeluk erat pria
berwajah bulat itu.
***
Aku menepati janjiku – janji
untuk tidak menemui Koh setiap pulang liburan. Aku hanya mengirimkannya
berbagai oleh-oleh dari seberang. Meski tidak pernah bertemu langsung
dengannya, aku tahu Koh Acong senang dengan oleh-oleh yang aku berikan. Selain
itu juga agar uang bulanan Koh Acong yang dikirimkan untukku tak berhenti. Hehe
Sampai kemudian tibalah masa-masa
kelam itu. kota kecil kami mengalami kemajuan pesat. Pemimpin daerah kami yang
saat berorasi sebelum pemilihan lalu berjanji akan memajukan kota kecil kami
ini menepati janjinya – tumben. Maka diundanglah berbagai investor ke kota
kami. Geliat penduduk kota kecilku semakin terasa dengan banyaknya pendatang
yang membuka usaha di sini. Toko-toko baru bermunculan bak cendawan di musim
penghujan paling basah. Toko Koh Acong yang dahulu hanya seorang diri kini
diapit dengan berbagai macam toko yang entah kenapa seperti punya spesialisasi
masing-masing. Tidak seperti Koh yang menjual berbagai macam barang kebutuhan,
mereka menjual hanya satu jenis barang saja atau satu jenis keperluan saja. Misalnya
hanya menjual keperluan dapur saja, keperluan tukang bangunan saja, atau keperluan
sembako saja. Penduduk kini lebih suka datang ke toko mereka karena mereka
tidak perlu lagi berdesak-desakan dengan para tukang bangunan, penjual bahan
dapur eceran atau dengan tukang kayu yang rajin beli paku di toko Koh Acong.
Seketika penghasilan Koh Acong
menurun, tapi belum bangkrut. Masih ada beberapa pelanggan setia yang tetap
berbelanja di toko Matahari Terbit karena mereka terkesan dengan keramahan dan
kebaikan hati pria itu.
Sebuah surat dari ibu yang
menghentakku aku terima enam bulan sebelum aku lulus SMA.
Teruntuk ananda Umar,
Buah hati permata milik Ibu
Umar anakku, bukan maksud ibu hendak memberikan kabar buruk kepadamu
nun di sana. Tapi ibu rasa tak baik jika kau tak segera mengetahuinya.
Seperti kabar yang kau dengar dari para perantau kota kita di tempatmu
sekarang, mereka benar soal kemajuan kota kecil kita ini. Soal banyaknya
pendatang yang membuka usaha di sini. Tidak buruk sebenarnya, karena lapangan
kerja untuk penduduk semakin banyak. Hanya saja yang ibu sesalkan, kita menjadi
pelayan di tanah sendiri sementara orang luar yang menjadi atasannya.
Ah, bukan itu yang ingin ibu sampaikan.
Toko Koh Acong seperti yang kau tahu sangat ketinggalan jaman. Tidak
seperti toko-toko yang baru buka. Modernisasi. Begitu kata ibu-ibu istri pejabat yang kebetulan berbelanja dengan
ibu di pasar. Tokonya kini sepi, hanya ada satu dua pelanggan yang datang
setiap harinya. Koh Acong lebih banyak menghabiskan harinya di depan pintu toko
menanti pelanggan. Teriakan ‘hah’ miliknya kini sudah jarang terdengar lagi
karena dengan terpaksa dia harus memutus perjanjian kerja dengan Minah dan
Badrun yang selama ini bekerja di tokonya. Kau tahu, bahkan Cih Lisa istrinya
harus ikut bekerja jualan makanan sekarang.
Bukan maksud ibu ingin menambah bebanmu, nak. Tapi Kau bilang pada ibu
kalau di seberang sana kau sudah punya pekerjaan sampingan. Tidak
berpenghasilan besar tapi bisa memenuhi kebutuhanmu. Sekolahmu hanya tinggal
beberapa bulan lagi. Ada baiknya kau menulis kepada Koh Acong agar dia tidak
usah lagi mengirimimu uang setiap bulannya karena hanya akan menambah beban
keluarga Koh Acong. Katakan pada Koh kalau dia tidak usah risau dengan dirimu.
Ibu yakin kau pasti bisa jika kau mau berusaha sedikit lebih keras lagi. Enam
bulan bukanlah waktu yang lama untukmu berjuang.
Sekiranya kau mau memenuhi permintaan ibu, setelah membaca surat ini, segeralah
menulis untuk Koh Acong. Jangan lupa berterima kasih atas kebaikan hatinya
kepadamu, Nak.
Dari ibumu tercinta,
Mira.
Kepalaku pening setelah membaca
surat dari ibu. Aku memang telah mendengar kabar itu, soal toko Koh Acong yang
kini sepi, dari seorang teman yang baru datang merantau. Tapi aku pikir
semuanya baik-baik saja karena Koh Acong tidak pernah memotong uang bulanan
kirimannya serupiah pun. Jumlahnya masih tetap sama seperti saat tokonya masih
berjaya dahulu, bahkan kadang lebih kalau tokonya sedang untung. Tak terasa
butiran hangat meleleh di pipiku. Tiba-tiba aku merindukan sosok Koh Acong,
pria tionghoa berwajah bulat yang amat baik hati itu.
Untuk Ananda Umar,
Hah! Jangan kau risaukan soal diriku di sini. Aku masih tetap bisa
makan sampai sekarang jadi tak akan aku hentikan uang bulananku buat kau.
Bukankah aku sudah berjanji kepadamu untuk membiayaimu sampai selesai sekolah,
hah! Pokoknya Koh tidak mau tahu! Tiap bulan Koh akan tetap mengirimimu uang.
Titik! Hah!
Tiga kali ‘hah’ dalam surat dari
Koh Acong sebagai balasan atas suratku yang meminta agar dia berhenti
mengirimiku uang. Aku sudah menjelaskan panjang lebar soal pekerjaan
sampinganku di sini, juga soal permintaan ibu. Tapi Koh Acong menolak dengan
tegas, bahkan dengan tiga kali ‘hah’. Ternyata Koh Acong masih tetap seperti
dulu. Seharian itu air mataku tak berhenti menetes. Aku berjanji dalam hati tak
akan mengecewakannya, sedikit pun, setitik pun. Aku akan membawakan gambar asli
menara Eiffel untuknya. Aku akan membawakan tanah dari kampung halamannya nun
di China sana. Aku juga akan membawakan dia jersey Inter milan, klub sepak bola
favorit kami berdua.
Aku rindu masa-masa ketika aku
dan teman-temanku beramai-ramai menonton pertandingan sepak bola hingga larut
di rumah Koh Acong. Aku rindu teriakan ‘hah’-nya setiap kali tim kesayangan
kami kalah. Aku bahkan rindu aroma kopi dari teko aluminium yang selalu
diminumnya setiap kali nonton bola.
***
Sudah dua puluh tahun aku tidak
pernah melihat Koh Acong lagi. Hanya surat-surat dari ibu yang tak pernah
berhenti mengalir memberitahukan kabar Koh Acong. Saat aku berkuliah, Koh
berhenti mengirimiku surat karena matanya semakin rabun dan tangannya selalu
kram jika menulis banyak. Sesuai janjinya dia membiayai sekolahku sampai lulus.
Tapi aku sama sekali tidak mau menerima uangnya lagi sejak aku mulai kuliah di
ibu kota negara. Aku dapat beasiswa penuh untuk kuliah dan sengaja tak aku
beritahukan alamatku di ibu kota kepada Koh Acong agar dia tidak nekat lagi
mengirim uang kepadaku. Hanya berlembar-lembar surat yang terus aku tuliskan
untuknya setiap bulan, kadang dibalas oleh Cih Lisa istrinya, kadang tidak.
Tapi aku tidak begitu peduli. Yang penting Koh Acong tahu kabarku baik-baik
saja.
Aku mengusap air mata yang jatuh
ke pipiku. Ya ampun, cengeng sekali aku ini. Aku masih berdiri di balik kaca
toko yang kusam, sama sekali tak berani melangkah masuk. Ada terlalu banyak
kesedihan di dalam sana. Kenangan masa kecilku, suara ‘hah’ Koh Acong, teriakan
teman-temanku sesama kuli, sorak-sorak ketika nonton bola, sepertinya semua
kenangan itu terperangkap di dalam toko Matahari
Terbit. Aku seperti melihat diriku yang masih berumur belasan tahun, sedang
mengangkut belanjaan pelanggan Koh Acong, berkeringat dan hitam, mengenakan
baju ‘dinas’ku.
Seorang pelanggan yang masuk ke
dalam toko Koh Acong mengagetkan aku. Dari luar aku bisa melihat wajah bulat
Koh Acong, senyumnya yang masih tak berubah sama sekali ketika melayani
pelanggannya, tapi giginya kini sudah ompong semua. Cih Lisa sudah meninggal lima
tahun yang lalu dan Koh Acong hidup sendiri selama ini. Entah bagaimana dia
bertahan melawan modernisasi di kota
kecil kami. Dari seorang kaya raya, satu-satunya pemilik toko segala rupa ada kini menjadi pemilik
sebuah toko kusam, sepi dan barang dagangannya semakin hari semakin sedikit
saja. Tak ada lagi mainan anak-anak yang dijual Koh Acong. Anak-anak sekarang
lebih suka main komputer, robot-robot mahal, persis anakku yang bungsu. Jaman
telah berubah tapi Koh Acong tidak.
Aku tergugu. Dengan tergesa-gesa
aku masuk ke dalam toko setelah pelanggan yang tadi masuk telah selesai
berbelanja kemudian langsung memeluk tubuh bungkuk itu erat tanpa ba bi bu. Aku
peluk lebih erat lagi dan menangis di bahunya.
“Saya Umar koh…” kataku terbata
setelah tangisku mulai reda dan koh Acong mulai protes dipeluk terus. “Saya
kesini mau menemui Koh, sesuai permintaan Koh yang tidak mau bertemu saya
sebelum saya berhasil”.
Koh Acong menyipitkan matanya
yang sudah sipit itu sehingga tampak hanya seperti garis datar saja. beberapa
detik dia mengamati wajahku sebelum akhirnya dia tergelak. “Umar, hah?”
Aku mengangguk kencang, bahagia
Koh Acong masih mengingatku.
“Hahaha…Umar. Sudah besar kau
sekarang. Dengan siapa kau kesini? Bagaimana dengan sekolahmu?”
“Sudah selesai Koh, tapi saya
ingin lanjut ambil doktor. Sekarang saya sudah kerja di kota propinsi.”
Koh Acong menepuk-nepuk bahuku.
“Sudah hebat kau sekarang” Koh terkekeh. Gusinya yang kelabu terlihat di
sela-sela tawanya.
“Ada yang mau aku berikan pada
Koh” kataku buru-buru. Aku kemudian membuka tas yang aku bawa sejak tadi
kemudian mengeluarkan sebuah jersey berwarna biru garis-garis hitam. “Ini
seragam inter milan koh, saya beli langsung di Milan sana beberapa bulan yang
lalu. Khusus buat Koh, ditanda tangani oleh Crespo Koh” aku mengangsurkan
baju itu ke tangan Koh Acong yang langsung membelai-belai baju itu.
“Ini asli?” selidik Koh Acong.
Aku mengangguk mantap.
“Juga foto menara Eiffel. Aku
memotretnya buat Koh. Dan tanah dari kampung halaman koh di China” ku keluarkan
dari tas selembar foto menara Eiffel yang besar juga sebuah botol kecil berisi
tanah. Koh Acong menerima kedua benda itu.
“Kau benar-benar sudah pernah
kesana Umar…?” Koh Acong bertanya gugup. Mungkin dia terlalu senang mendapat
oleh-oleh istimewa dariku.
“Iya Koh, saya sengaja ke sana
untuk Koh Acong. Saya sudah janji…”
Pletakk…
Koh Acong menjitakku, tapi kini
tak sekeras saat dia menjitakku ketika terakhir kali bertemu.
“Janji-janji apa, hah? Tidak usah
janji yang aneh-aneh. Koh Cuma mau kau sekolah, itu saja”.
Aku tersenyum. Sudah lama aku
tidak mendengar omelan Koh Acong.
UPS SOHO
1.57 PM
Selasa panas
sangat menyentuh eh,,bagi resep dong bisa menulis kyak gini... :D
ReplyDeleteResepnya mudah, sekarung durian sudah cukup. Haha
ReplyDelete