Embun



Close your eyes and I’ll kiss you, tomorrow I’ll miss you
Remember I’ll always be true
And then while I’m away, I’ll write home everyday
And I’ll send all my loving to you
-The Beatles , “All My Loving”-

Aku tidak suka dengan bandara, karena dia adalah tempat yang melegalkan perasaan kehilangan setelah perpisahan. Aku benci dengan deretan dinding kaca panjang di ruang tunggu, seorang petugas kebersihan yang setiap jam menyemprotkan cairan pembersih kaca dan melap kaca itu sehingga orang tidak akan sadar kalau ada dinding kaca di sana. Aku juga benci dengan suara seorang wanita di interkom, mengabarkan jadwal keberangkatan berulang-ulang dengan dua bahasa, seolah para penumpang peduli dengan apa yang dia katakan. Menunggu dan kehilangan adalah dua hal yang sangat aku benci – dua hal yang disediakan dengan tak terbatas oleh bandara, oleh deretan kursi tunggu yang penuh dengan calon penumpang. Oleh sapaan datar para petugas check-in, oleh bujukan setengah memaksa para gadis-gadis asuransi, oleh pandangan tidak peduli para pebisnis yang hanya memelototi arloji di tangan mereka saja.

Aku benci dengan bandara.
Terutama jika aku hanya bisa memandangi punggungnya berjalan menyeret travel bag berwarna coklat tua usang miliknya. Kepergiannya yang kesekian kali dan rasa kehilangan yang ke sekian kalinya juga.


Aku berwajah muram di depan Kak Lembayung. Selalu begitu. Setiap kali dia harus kembali ke kota tempatnya bekerja, maka aku akan cemberut saat mengantarkannya ke bandara. Kak Lembayung sudah hafal tabiatku itu dan seperti biasa untuk menghapus wajah muramku, dia akan mengajakku makan di salah satu kedai bandara, menceritakan hal lucu sampai aku tertawa dan lupa kalau dia akan pergi. Tapi setelah tawa-tawa yang singkat itu, aku akan kembali muram ketika mengantarnya di depan pintu masuk bandara.

Dan Kak Lembayung akan menepuk pundakku berkata kalau aku harus menjaga diriku selama dia pergi, rajin belajar, dan mulailah berpikir dewasa. Aku semakin muram. Dia masih tetap saja memperlakukan aku seperti seorang anak kecil meski sekarang usiaku sudah dua puluh satu tahun, semester akhir fakultas Ilmu Budaya, dan aku sudah pandai memasak.

Begitu sosok Kak Lembayung lenyap di antara mesin sensor, ban berjalan, petugas keamanan bandara dan para calon penumpang lainnya, air mataku akan menetes – untuk kesekian kalinya juga. Dia akan pergi untuk waktu yang lama.

Kak Lembayung, tiga puluh enam tahun, seorang insinyur pertambangan yang bekerja di lepas pantai di Kalimantan sana, anak angkat di keluarga kami sejak aku baru lahir. Dua puluh satu tahun silam, Kak Lembayung remaja ditampung di rumah. Menjadi seperti keluarga sendiri bagi ayah, menjadi seperti kakak sendiri bagiku – dulu.

Kak Lembayung menyukai mesin, sama seperti sebagian besar laki-laki lainnya. Dia menjadi pegawai di bengkel ayah sejak masih duduk di bangku SMA. Belajar otodidak, kena marah pelanggan, belajar lagi, kadang dipuji satu dua pemilik kendaraan yang diperbaikinya, tapi lebih banyak mendapat didikan keras dari ayah. Sampai Kak Lembayung kuliah dan menyelesaikan master tekhnik mesinnya, ayah masih tetap mendidiknya soal masalah ini itu di bengkel. Dan ketika Kak Lembayung diterima bekerja pada perusahaan tempatnya bekerja sekarang, ayah hanya bisa memandangnya sedih. Remaja bengal yang dididiknya dengan keras dahulu kini telah menjadi kebanggaan keluarga.

Tapi kak Lembayung rela menukarnya dengan apa saja asal dia tak meninggalkan ayah, orang yang dihormatinya itu.

Aku selalu mengekor di belakang kak Lembayung. Sebagai anak tunggal di keluarga, maka dia adalah seluruh rotasi hidupku. Bukan ayah yang lebih sering pulang di malam hari ataupun ibu yang telah lama pergi meninggalkan ayah. Kak Lembayung adalah teman, pengawal, guru bahkan juru masak buatku. Kenakalan-kenakalan kecil seperti menyembunyikan dasi favorit ayah, mengerjai salah satu karyawan bengkel ayah yang pelupa, sampai pernah membuat banjir bengkel karena kami main air di dalamnya selalu kami lakukan bersama-sama. Meski saat itu usia Kak Lembayung sudah terbilang cukup dewasa, tapi dia rela bersikap seperti anak kecil seusiaku agar aku nyaman bermain dengannya. Tapi tidak jarang aku melihat sosok Kak Lembayung yang dewasa, yang keningnya berkerut, yang membawa buku-buku kuliah super tebal kemana-mana. Kak Lembayung yang menjadi teman diskusi ayah adalah sosok favoritku. Jika mereka sedang bercakap-cakap di ruang tengah, aku akan duduk di atas meja di antara mereka dan memandangi ekspresi wajah mereka bergantian. Kadang aku tertawa meski tak mengerti apa yang mereka katakan, kadang aku lari bersembunyi ketika diskusi mereka mulai tegang.

Sampai kemudian Kak Lembayung harus pergi, bandara kini menjadi tempat yang menyeramkan buatku. Tujuh tahun yang lalu, aku yang empat belas tahun berlari-lari menangis dan berusaha menembus petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk, mereka bertanya galak dimana tiket pesawatku. Aku yang pucat, ketakutan, banjir air mata hanya bisa menggeleng, hanya ingin masuk ke dalam sebentar memastikan Kak Lembayung naik ke pesawat. Petugas itu menggeleng galak, menyuruhku pergi. Tergopoh-gopoh ayah berlari datang menyusulku, minta maaf kepada si petugas, menarik tanganku kembali masuk ke dalam mobil dan sepanjang jalan menuju rumah ayah memberiku ceramah soal perpisahan dan pertemuan, soal kepastian dan takdir. Aku hanya memandangi jalanan tol yang panjang dan tak berkesudahan itu sementara air mataku tak berhenti mengalir.

Saat itu adalah perpisahan pertama buatku.

Bukan, bukan perpisahan dengan ibuku jadi yang pertama. Karena aku bahkan tak ingat bagaimana rupa wanita itu ketika berlari meninggalkan ayah pada suatu malam setelah pertengkaran hebat. Yang aku ingat hanyalah pertengkaran itu, tidak lebih. Sosok ibu seperti telah terhapus dari memori yang ada di kepalaku.

Embun, ayah tahu ini berat buatmu. Tapi jika Lembayung tidak pergi, dia tidak akan pernah bisa mencapai cita-citanya. Ayah terkekeh dengan kalimatnya sendiri. Terdengar klise memang. Mengejar cita-cita? Pasti kau bertanya-tanya, mengapa cita-cita harus selalu membuat kita meninggalkan orang-orang yang tidak ingin kita tinggalkan? Ayah pun tak mengerti dengan makna cita-cita itu sendiri. Ibumu pun pergi meninggalkan kita karena cita-citanya itu. Dan Lembayung, kau harus belajar menerima kenyataan kalau dia tidak akan selamanya bersama dengan kita. Kau dan ayah, hanya kita berdua.

Tangisku masih belum berhenti, tapi sedikit ada rasa hangat yang menyusup masuk ke dalam diriku. Aku memeluk lengan kiri ayah yang bebas-setir. Kalau begitu, aku tidak ingin punya cita-cita. Aku tidak ingin meninggalkan ayah.

Kembali ayah terkekeh. Janggutnya yang lebat dan kelabu bergetar. Ayah juga punya cita-cita, tapi ayah tidak pernah meninggalkanmu, Embun. Tidak punya cita-cita pun tidak baik. Kita tidak akan punya tujuan hidup yang membuat kita mau berlelah-lelah untuk menjalaninya. Kau hanya perlu sedikit lebih bijak dan selektif dalam memilih cita-cita. Pilihlah cita-cita yang tak akan membuatmu melupakan siapa dirimu atau melupakan siapa orang-orang yang menyayangimu.

Jadi cita-cita Kak Lembayung itu salah, yah? Tanyaku, melepas pelukanku dari lengan kurus ayah karena dia harus memindah persneling mobil.

Ayah mengangkat bahu. Kita tidak berhak memvonis pilihan hidup seseorang, sayang. Hanya Lembayung sendiri yang tahu jawabannya. Tapi asal kau tahu, dia rela menukar cita-citanya dengan apapun asal dia tak meninggalkan kita berdua. Hanya sayangnya, saat ini dia belum memiliki pilihan itu. Mungkin nanti.

Aku kembali memandangi jalan tol yang tak berkesudahan di depan sana. Mobil ayah berjalan semakin cepat, saling susul menyusul dengan kendaraan lain yang juga ada di jalan tol. Apa cita-cita ayah? Tanyaku tanpa berpaling sedikit pun dari pemandangan membosankan di luar sana.

Membahagiakanmu, Embun. Jawab ayah singkat.

***

Kepergian ayah adalah kehilangan kedua dalam hidupku, dan lagi-lagi terjadi di bandara.

Kecelakaan pesawat yang mengerikan, menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat.

Kak Lembayung langsung mengambil cuti dan pulang ke rumah, menemaniku sepanjang hari selama seminggu, memasakkan aku makanan yang lezat tapi tak aku sentuh sedikit pun. Saat itu usiaku baru delapan belas tahun, semester pertama perkuliahan.

Bagaimana kalau kau ikut saja denganku? Tawar Kak Lembayung kau tidak mungkin tinggal sendirian di rumah ini kan, Embun?

Aku menggeleng. Aku telah berusaha keras agar bisa berkuliah di tempatku yang sekarang ini, jadi bagaimana mungkin aku akan meninggalkannya?

Kak Lembayung tak berhasil membujukku. Masa cutinya habis dan dia harus pulang membawa sejuta kecemasan karena aku akan ditinggal sendirian.

Aku mengantarnya ke bandara dan tersenyum menenangkan. Semua akan baik-baik saja, kak.

Itulah satu-satunya momen ketika aku mengantar kak Lambayung ke bandara dengan tersenyum. Sat-satunya, karena setelah-setelahnya itu aku kembali muram.

Travel bag punya kakak tidak mau diganti? Tanyaku saat membantu Kak Lembayung memasukkan baju-bajunya ke dalam travel bag coklat yang sudah bulukan. Besok Kak Lembayung harus kembali ke Kalimantan, cutinya habis – lagi-lagi.

Kak Lembayung menggeleng, dia sedang memeriksa laporan keuangan dan operasional bengkel yang kini kepengurusannya diserahkan kepadaku secara penuh. Aku menjadi seorang bos bengkel. Begitu canda Kak Lembayung. Tapi dia tetap memantau bengkel ayah dari jauh, memintaku mengirim laporan setiap bulan via surel, memastikan tidak ada karyawan yang sedang berusaha mencurangiku.

Kak Lembayung kok curigaan amat sih? Protesku suatu hari karyawan ayah kan orang baik semua. Mereka sudah kerja sama-sama dengan ayah sejak aku kecil. Masa sih mereka tega mencurangi aku?

Dia menjawil ujung rambutku. Bukan curiga, Em, hanya waspada. Bengkel itu telah dibangun oleh ayahmu dengan susah payah dan menjadi sumber utama penghasilan ayahmu, yang membuat aku dapat berkuliah dan kini kau. Aku tidak ingin bengkel itu hancur hanya karena satu dua orang yang tamak – itupun kalau ada… buru-buru dia menambahkan. Aku hanya tidak ingin kebanggaan ayahmu hancur bersamaan dengan perginya ia dari dunia ini.

Setelah itu aku tidak pernah protes lagi. Aku baru tahu, cita-cita ayah bukan hanya satu, tapi dua. Salah satunya telah dia sampaikan kepadaku dulu ketika pulang dari bandara mengantar kak Lembayung. Cita-cita yang satunya lagi disampaikan oleh Kak Lembayung, bengkel adalah cinta pertama ayah.

Itu tas pemberian ayahmu, hadiah pertamanya ketika aku berhasil membetulkan sebuah mobil. Saat itu aku tidak mengerti apa maksud ayahmu memberikan aku tas untuk bepergian ini. Sempat terbersit olehku kalau dia meminta aku pergi dari rumah. Ternyata aku salah. Dia memang ingin aku bepergian. Karena menurutnya orang yang hebat adalah orang yang banyak bepergian dan melihat banyak tempat.

***

Aku dan Kak Lembayung naik ke atas karosel yang beberapa saat kemudian berputar pelan. Pasar malam langganan di kota ini, masih dengan karosel yang sama – tua dan karatan. Hanya saja cat berwarna-warni telah menutupi seluruh kesan tua dan membosankannya itu. Karosel pertama yang aku naiki dan satu-satunya.

Aku menyukai seseorang. Bisikku kepada Kak Lembayung, di antara suara musik karosel yang berdentang-dentang di telingaku.

Oh,ya? Reaksinya. Siapa? Apa aku kenal orangnya?

Aku mengangguk sambil menahan tawa. Akan aku kenalkan pada kakak, tapi ajari aku naik kuda besok. Kita ke peternakan. Bagaimana?

Kak Lembayung berpikir sejenak.

Ayolah kak. Batinku.

Putaran karosel berhenti. Kak Lembayung menarik lenganku agar segera turun. Aku menolak. Satu putaran lagi!

Kak Lembayung tertawa, mengangguk – untuk dua-duanya. Peternakan dan satu putaran karosel lagi.

***

Jadi aku masih ketakutan naik kuda sendirian. Jangankan menungganginya, membelainya pun aku merasa geli. Tubuhnya yang gemuk dan kokoh, surainya yang berkibar-kibar. Kak Lembayung menertawakan aku yang sok memaksa ingin diajari naik kuda. Dia akhirnya mengalah ketika tak bisa membujukku memberanikan diri menunggang kuda seorang diri dan membonceng aku di atas kuda miliknya, mengelilingi perkebunan luas yang ada di sisi barat peternakan kuda.

Jadi siapa orang yang kau sukai itu? todong Kak Lembayung saat kami melintasi kebun kol yang berembun.

Jangan sekarang kak. Nanti aja kalau sudah sampai di atas bukit sana! Aku menunjuk bukit yang memeluk kokoh perkebunan.

Baiklah! Kak Lembayung menarik tali kekang, membuat si kuda meringkik, mengangkat kepala dan dua kaki depannya. Kemudian kuda itu berlari kencang melintasi perkebunan menuju bukit. Aku berpegangan erat pada jaket Kak Lembayung.

Dia tampan? Tanyanya.

Iya. Sangat tampan. Aku mengangkat jempol.

Si kuda ditambat Kak Lembayung pada sebatang pohon. Dia asyik merumput, melahap apa saja yang berwarna hijau yang ada di dekatnya. Sementara kami berdua duduk di lembah, menatap langsung hamparan hijau di bawah sana yang sesekali menyembul warna coklat atap bangunan.

Dia cerdas? Berapa usianya? Bagaimana sifatnya?

Sangat cerdas. Usianya? Hmm…yang jelas dia dewasa. Sifatnya ramah, pendiam, kadang suka jahil, jago masak, dan sangat jago mate-matika…

Kau seperti sedang menceritakan aku saja. Kak Lembayung tergelak.

Aku tidak.

Orangnya memang kakak. Kataku polos. Aku memeluk lututku dan membenamkan wajahku di antaranya. Aku tidak menyangka aku kelepasan bicara padanya. Kak Lembayung tak lagi tertawa, raut wajahnya berubah.

Embun…kau? Kalimatnya menggantung.

Lalu kami berdua hanya diam.

Kau menyukaiku? Tanyanya. Kemudian aku mendengar dia tertawa. Kau memang gadis kecil yang menarik. Kau suka denganku, Em? Aku ini urakan, jahil – seperti yang kau bilang. Jadi bagaimana mungkin kau jadikan aku sosok panutanmu? Sosok yang kau sukai?

Bukan seperti itu! sentakku. Aku benci orang yang berpura-pura bodoh di hadapanku. Apalagi Kak Lembayung. Aku tahu, jika dia mulai bersikap seperti itu, itu berarti dia menghindar, tak ingin membahasnya atau merasa aku tak cukup kompeten untuk membahas hal itu dengannya.

Baiklah kalau bukan seperti itu. Tapi aku mendefiniskannya seperti itu. Tak masalah bukan? Setiap orang punya persepsi yang berbeda. Ingatkah kau soal pelajaran dasar tentang hidup yang diberikan oleh ayahmu dulu? Kita harus saling menghargai pendapat orang lain karena tak ada di dunia ini dua orang yang memiliki pemahaman yang sama persis.

Aku tak menjawab. Membuang pandanganku dari wajahnya adalah satu-satunya cara menyembunyikan kebodohanku barusan. Kenapa aku ini? Kenapa aku berani berterus terang padanya? Apa karena di usianya yang sudah menyentuh tiga puluh enam tahun ini tak sedetik pun dia berbicara padaku tentang seorang wanita? Tak sedetik pun dia memikirkan tentang pernikahan? Tidakkah dia sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang aku pahami?

Kakak tidak pernah menyukai seorang wanita? Aku masih tak memandanginya.

Tidak…belum akan. Aku tidak akan menyukai seorang wanita, tapi mencintainya. Menyukai tidak lebih dari seseorang yang suka gonta-ganti gadget atau seseorang yang suka pindah-pindah jurusan. Aku tidak ingin seperti itu. Menyukai hanya membuat kita terjebak pada perasaan yang sesaat. Aku hanya akan mencintai seorang wanita, bukan menyukainya. Wanita tidak pantas hanya mendapat rasa suka dari seorang pria karena dia bukanlah gadget terbaru atau jurusan perkuliahan.

Apa itu berarti seorang wanita pun tidak pantas menyukai seseorang? Hanya boleh mencintai? Aku memandanginya, dengan binar mata mendesak.

Tentu saja tidak. untuk wanita, kalian memiliki keistimewaan sendiri. Menyukai dan mencintai adalah pilihan, dan kalian akan lebih banyak memilih mencintai. Tapi toh pada akhirnya, cinta dan suka, dua-duanya sama bagi kalian. Pria itu tetaplah pria yang beruntung.

Lagi-lagi kami berdua diam.

Angin lembah menelusup masuk di antara rajutan longgar jaket wolku, mendesak masuk di antara lilitan syal panjang berwarna toska di leherku. Aku menggigil. Awan semakin rapat memayungi langit, menghapus sejengkal demi sejengkal warna birunya di atas sana.

Si kuda meringkik, mungkin dia kedinginan – aku tidak tahu apa kuda bisa merasakan dinginnya lembah saat ini. Tapi mungkin juga dia bosan mendengar pembicaraan kami yang hanya beberapa kalimat saja dan sisanya dipenuhi oleh diam. Kak Lembayung yang pendiam jadi lebih pendiam.

Ringkikan kuda membuatnya tersadar. Dia mengajakku segera pulang ke peternakan, tanpa kata. Kak Lembayung menarik tanganku, menyuruhku naik ke atas kuda lebih dulu lalu dia naik, menarik tali kekang kuda, menuruni bukit yang sedetik kemudian diguyur oleh air hujan.

***

Bandara – lagi.

Aku rindu ayah. Bisikku pada kak Lembayung di depan pintu masuk bandara. Jika sebelum-sebelumnya aku mengantarnya dengan wajah muram, kini aku seperti ingin menangis. Setelah pembicaraan di bukit kemarin, aku dan Kak Lembayung tidak saling bicara lagi.

Kak Lembayung menjawil ujung rambutku.

Aku merasa kesepian, karena itulah aku merindukan ayah.

Ekspresi jenaka Kak Lembayung saat menjawil rambutku tadi tiba-tiba berubah. Mungkin dia tidak pernah melihatku menangis saat mengantarnya di bandara dan sekarang aku telah menangis di hadapannya.

Em, jangan menangis. Katanya sedikit panik.

Air mataku terus mengalir, sementara Kak Lembayung bingung antara harus buru-buru masuk untuk check-in atau tetap menemaniku yang mulai tak terbendung.

Dan Kak Lembayung memilih yang keduanya. Jadi bagaimana mungkin aku tak menyukai laki-laki ini? Dia menuntunku kembali ke mobil, menjalankan mobil dan membawaku entah kemana. Aku hanya bersandar di kursi, memandang tanpa minat ke arah luar. Setidaknya air mataku telah berhenti, karena Kak Lembayung tak jadi pulang hari ini.

Satu jam berlalu, aku mulai mengenal jalanan yang akan kami lalui di depan. Aku selalu melewatinya di setiap akhir pekan, dua bulan sekali kalau sempat tapi kadang hanya sebulan sekali. Jalan menuju ke tanah pemakaman, tempat ayah dimakamkan.

Kak Lembayung memarkir mobil di luar pagar. Dia mendorong pintu gerbang besi tinggi yang karatan dan berderit nyaring saat dibuka. Pemakaman sepi, hanya terdengar suara-suara hewan dan gemerisik daun yang tertiup angin. Embun masih juga belum menguap pagi ini, menyisakan tetes-tetesnya di antara dedaunan bougenville dan rumpun putri malu. Aku melangkah gontai menuju makam ayah.

Kami berdua duduk di sisi makam.

Kenapa kita kesini? Kerinduanku pada ayah tidak akan terobati hanya dengan duduk di sisi makam dan memandangi nisannya!

Aku hanya ingin meminta ijin pada ayahmu…

Untuk apa?

Aku ingin membawamu ikut denganku, Em…

Kak Lembayung adalah pusat rotasi hidupku. Dia menyukai mesin sama seperti menyukai bangun tepat di pagi hari dan meneguk susu hangat buatanku. Baginya kebahagiaan itu datang dari hal-hal sederhana seperti bengkel yang ramai pelanggan, masakan yang tidak gosong, diskusi seru dengan ayah. Kak Lembayung mengajarkan aku cara mencari kebahagiaan itu dari dalam diriku sendiri dan sejak saat itu aku selalu bahagia hanya dengan menghidu bau hujan, melihat bintang pada saat langit cerah di malam hari, atau menikmati perjalanan menuju ke makam ayah berkilo-kilo jauhnya di luar kota.

Hanya saja menyukainya bukan kebahagiaan sederhana bagiku.

Embun, aku ingin membawamu. Aku ingin kebahagiaan-kebahagiaan sederhana itu memenuhi rumahku seperti dulu, saat ada kau dan ayahmu di dalamnya. Bau oli, wajah yang belepotan gemuk, baju bengkel, karosel, pasar malam, diskusi seru, kejahilan terorganisir, nonton sepak bola – kau selalu kalah. Siapa suruh menjadi suporter Sheffield United. Rasanya aku tidak bisa berhenti tertawa saat melihat kau yang dihukum ayahmu mencuci piring selama satu pekan, mengganti tugas Bibi, setelah kita membuat banjir bengkelnya bertahun-tahun yang lalu. Atau saat kau menangis karena nilai rapormu merah dan kau takut ayahmu melihatnya. Kejadian-kejadian kecil seperti itu saja yang aku inginkan saat ini.

Aku memeluk lengan Kak Lembayung dan berkata pelan, Ayah bilang cita-cita selalu membuat orang melupakan orang-orang yang tidak seharusnya dilupakan. Ayah ingin aku bijak dan selektif dalam memilih cita-cita, jadi aku putuskan untuk bercita-cita sama seperti cita-citanya, membahagiakan orang-orang yang telah membuat aku bahagia. Apa cita-cita Kakak?

Kak Lembayung tersenyum dan mengacak puncak kepalaku. Aku ingin menandingi keberhasilan ayahmu. Itu cita-cita pertamaku. Dia terkekeh. Dan tentu saja, membahagiakanmu dengan semua hal-hal sederhana seperti yang diajarkan ayahmu.

UPS Soho
12.11 PM
Rabu hujan.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an